Part 65

22.4K 2.5K 484
                                    


Sebuah rumah bangunan tiga lantai berwarna putih gading di lantai pertama, hijau muda dilantai kedua dan pink muda dilantai ketiga. Memang sedikit rancu tapi itu semua bukan tanpa sebab. Ibunya sangat menyukai warna hijau muda, jadi lantai dua dikhususkan untuk Lalita. Dan lantai satu warna putih untuk mereka bertiga. Rumah dengan halaman sangat luas dan pohon bonsai memenuhi halaman rumah membuat Lalita tersenyum sangat lembut.

"Nanti kalau aku bangun rumah sendiri, mau aku banyakin pohon bonsai. Mama suka pohon bonsai, kan? Terus disampingnya bunga mawar sama Melati yang banyak. Zura suka bunga."

"Nak, kita sudah punya rumah. Uangmu tabung aja buat masa depan. Gak usah mikir Mama sama adikmu, Zura tanggung jawab Mama sama Papa." Sahut Lalita pelan. Matanya masih fokus pada layar tablet yang menampilkan jumlah penjualan dari semua toko bulan ini.

"Kita gak ada yang tahu kedepannya kayak apa, Ma. Kita jaga-jaga aja siapa tahu suatu saat Papa udah mulai gila sama perempuan itu dan ngusir kita."

"Ken, Papamu gak mungkin setega itu sama kita. Walaupun dia punya istri lagi, dia gak berubah kan sama kita. Gak usah mikir buruk sama Papa sendiri."  Tutur Lalita berusaha menangkan anaknya pasca Ervi lebih sering kerumah istri keduanya. Kalaupun pulang kerja mampir juga pulang tengah malam saat anak istrinya sudah tidur.

"Ma, kata Kak Kenzo bener. Siapa tahu nanti Papa khilaf. Kita siap-siap aja, ya."

Lalita memikirkan ucapan Alvi dengan tatapan mata kosong. Apakah benar suaminya akan setega itu? Atau itu hanya pikiran buruk anak-anaknya saja?

"Terserah kalian, udah pada besar, kan? Bisa tahu apa yang harus dilakukan dan gak harus dilakukan. Mama cuma bisa doain."

Kembali tersadar dari kenangannya dulu saat bersama ketiga anaknya mengenai obrolan sebuah rumah. Dia tak pernah terbayang ketakutan itu benar-benar terjadi, padahal dulu Lalita selalu berpikir positif tentang suaminya. Mengingat dulu Ervi lelaki terbaik yang pernah Lalita temui. Bisa menjadi apa saja untuk Lalita. Masih ada rasa tak menyangka Ervi bisa berubah demikian karena perempuan gila semacam Novi.

"Mbak, ketiga anakmu membangun rumah ini untuk membuat ibunya bahagia. Jangan nangis, Mbak Lita." Melati menarik Lalita kedalam pelukannya. Mengusap punggung besannya sangat lembut dan penuh perasaan.

"Mereka bilang mau buat rumah untuk ditinggali bareng, Mbak. Kalau Zura udah nikah dan ikut suami waktu lebaran ada momen dia mudik walaupun bukan ketanah kelahirannya, walaupun bukan rumah dimana dia dibesarkan. Tapi kenapa mereka ninggalin aku sama Zura sendiri, Mbak? Kenapa? Sebesar apa dosaku sampai Tuhan mempermainkanku seperti ini. Apa dosaku dulu." Tangisan Lalita semakin pecah.

Ervi yang berdiri dibelakang tubuh mantan istrinya bersama Gilbert hanya bisa menatap punggung Lalita bergetar cukup kuat. Helaan napasnya sangat panjang membuat Gilbert menoleh sekejap, melihat raut wajah penuh penyesalan Ervi Gilbert tersenyum miring.

"Mas, gak ada kesalahan yang gak bisa di maafkan. Tergantung kitanya mau berubah atau enggak, apalagi masih sama-sama saling cinta. Kalau mau memaafkan dan kembali lagi. Saya harap Mas Ervi gak melakukan kesalahan yang sama, tapi kalau Lalita gak mau rujuk. Mas Ervi akan dirawat Azzura, entah Mas mau rumah sendiri atau satu tempat tinggal dengan Azzura juga bukan masalah."

"Saya malu, Mas. Dulu ninggalin anak istri demi orang lain sekarang saya beban buat mereka. Saya juga belum sembuh betul." Sahut Ervi sangat pelan. Gavril yang mendengar ucapan mertuanya merangkul pundak Ervi dan menepuknya pelan.

"Gak ada kata beban untuk seorang anak yang merawat orang tuanya. Bagaimanapun sifat Papa, sikap Papa sama Zura dan Mama. Tapi dibalik itu semua Papa berhasil membesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang sampai Azzura bisa menjadi istri saya. Kita juga akan merawat Papa sampai Papa sembuh betul, dan siap kembali ke perusahaan. Kalau butuh bantuan, Gavril siap membantu dari belakang, bukan blak-blakan didepan umum atau kamera. Tapi kalau Papa udah niat pensiun dan tak mau aktif di kantor, saya punya banyak kenalan yang bisa dipercaya untuk memegang jabatan CEO."

Hallo, Mas Suami. (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang