Part 36

20.8K 2.1K 295
                                    


Seorang wanita paruh baya menatap segerombolan lelaki dengan wajah sangat datar dan menyeramkan ke arah rumahnya. Dibelakangnya juga ada anak lelakinya yang di apit beberapa lelaki dengan badan kekar dan sorot mata sangat tajam. Tangannya bergetar hebat takut terjadi sesuatu dengan anaknya.

"Tuan," sapa Gusta dengan senyum miring, kepalanya menunduk pelan. Gavril menatap beberapa orang yang terlihat sudah terkapar tak berdaya didalam gudang samping pembuangan sampah.

"Gusta, sebar temanmu di sekitar sini. Jangan sampai ada penyusup, kalau sampai ada satu saja. Kamu tahu kan apa akibatnya?"

Gusta mengangguk dengan patuh, dia segera memerintahkan teman-temannya untuk berpencar mencari yang lain. Siapa tahu masih ada yang tertinggal, Gavril membuang puntung rokoknya yang tinggal sedikit. Dia menoleh menatap Braman dengan kode agar dia mengambil anaknya.

"Gue udah lama gak main-main, gue hajar dua ini boleh, kan?" Bisik Santosa pada Gavril, lelaki itu melirik dua orang yang ada di atas pohon tak jauh dari dirinya dengan senyum miring.

"Jatah kalian, gue kesini ngambil anak." Tutur Gavril mengikuti Braman menuju rumahnya.

Rumah satu lantai yang terlihat sangat sederhana, bahkan dinding yang terbuat dari kayu dan bambu nampak sangat rentan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis melihat keadaan rumah Braman.

"Maaf rumahnya seperti ini, Pak."

"Tak masalah," sahut Gavril pelan, dia menunggu seseorang dari dalam rumah membuka pintu.

Sampai, seorang lelaki paruh baya dengan kondisi kaki pincang membuka pintu membuat Gavril terkejut bukan main. Dia menatap lelaki itu dengan senyum tipis serta anggukan kepala pelan. Braman membawa Gavril masuk ruman dan menuju kamarnya untuk mengambil Devnath.

Kepala Gavril menunduk pelan saat melewati pintu kamar Braman. Pintu yang terlihat hanya setinggi lehernya, entah dia yang terlalu tinggi atau memang kusen pintu kamar Braman yang pendek. Dia juga tak tahu. Padahal saat bersama teman-temannya dia seimbang.

"Anak Daddy," gumam Gavril pelan melihat anak lelakinya memakai rok pendek berwarna pink muda serta topi berwarna pink juga. Dia memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengulur perasaannya yang ingin menangis dan tertawa.

"Maaf kalau kami pakai kan baju perempuan, Pak. Kami takut kalau ada yang curiga." Ujar Braman pelan, Gavril mengangguk. Dia juga mengerti ketakutan lelaki tersebut, mungkin karena dia tak pernah terjerat dalam masalah rumit jadi membuatnya gampang takut. Tapi kalau Gavril, hajar saja.

Gavril mengangkat anaknya dan mencium pipinya sangat pelan, mendapatkan ciuman dari Gavril. Devnath bergerak pelan merasakan geli dari kumis Gavril yang mulai tumbuh tipis. Dia belum sempat mencukur dari kemarin karena sedari hamil besar Azzura terlalu banyak tingkah dan keinginan. Jadi dia tak sempat merawat diri.

"Tuan, ada tiga orang di belakang pohon tak jauh dari mobil." Ujar Jeno berbisik.

Gavril yang tengah menggendong putranya tersenyum miring dan mengangguk, dia memegang senjata apinya di saku celana belakang untuk memastikan apakah dia membawa senjatanya atau tidak. Kalau sampai tidak, dia akan meminjam milik salah satu sahabatnya.

"Panggil Fiko, suruh dia bawa Devnath pergi. Saya tak mau dia terkejut dengan suara tembakan." Perintah Gavril yang di angguki oleh Jeno.

Salah satu pengawal Gavril berjalan cepat keluar rumah untuk memanggil Fiko yang sedang meneliti wajah orang yang sudah dihajar habis-habisan oleh anak buah Gavril yang lain. Dan ada satu lelaki yang membuatnya tersenyum sangat lebar, bukan senyum manis. Tapi menjurus senyum kepuasan.

"Lihat? Anda memang ditakdirkan untuk hancur ditangan Pak Gavril." Bisik Fiko pelan, lelaki didepannya menegang mendengar ucapan tersebut dia menatap Fiko dengan wajah mulai memucat. Fiko hanya tersenyum miring dan menepuk pundaknya pelan sebelum berdiri dari posisi jongkoknya.

Hallo, Mas Suami. (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang