FATE 01

91.8K 2.4K 74
                                    

Ini menguras emosi dan rate 18+.
Baru pembukaan saja langsung konflik.


“Aku hamil.”

Jendra yang sedari tadi diam dan mengacuhkan kini melirik tajam, dengan cepat tatapannya itu turun ke perut Sera.

“Gak usah ngarang biar gak jadi diputusin!” desisnya kembali fokus ke ponselnya.

“Jen, aku gak ngarang! Aku beneran hamil dan ini anak kamu!” Sera meremat tangannya takut kalau Jendra tidak mau bertanggungjawab.

“Nggak! Itu bukan anak gue! Cewek gampangan kayak lo pasti diajak tidur siapa aja mau-mau a–”

“Bajingan!” geram Sera ingin sekali menampar wajah Jendra tetapi ia tidak punya keberanian untuk itu, hanya tangannya saja meremat roknya dengan keras.

“Lo gak lupa kan kalo kita ketemuan buat ngomongin putusnya kita?” Jendra melirik risih.

“Jen, ada yang lebih penting dari putusnya kita yaitu kehamilan aku,” lirih Sera mulai terisak, hubungannya dengan Jendra saat ini memang sedang berada di ujung tanduk.

“Ya udah tinggal gugurin apa susahnya,” kesal Jendra mengangkat wajahnya dan tatapannya seakan ingin membunuh.

“Apa susahnya kamu bilang? Kamu enteng banget kalo ngomong! Yang ngejalanin aku, yang harus terima konsekuensinya juga aku, terus setelah itu kita putus? Kamu bisa lanjutin hidup kamu tanpa ngerasa bersalah udah bunuh darah daging kamu sendiri, hah?” teriak Sera benar-benar emosi, sekujur tubuhnya ia rasakan panas menahan amarah yang meletup-letup itu.

“Aku gak bisa, Jen. Aku gak mau! Anak ini gak bersalah, dia gak tau apa-apa!” jerit Sera.

“Kalau lo mau lahirin ya lahirin sendiri, itu juga kalo lo gak malu hamil tanpa suami. Gue juga gak yakin nyokap lo yang cuma tukang gorengan dan janda itu mau nerima dan bisa nerima keadaan lo saat ini.” Jendra masih berkata dengan santai dan tanpa sedikitpun ada rasa kekhawatiran di wajahnya.

“Nggak!” balas Sera cepat. Meskipun yang dikatakan Jendra sukses membuatnya ragu.

“Jangan nambah beban nyokap lo, Ser. Pas dia tahu Lo hamil Lo udah sakitin dia dan kecewain dia, terus Lo dipukulin atau paling parahnya digantung hidup-hidup karena udah buat malu.” Jendra berbisik gemas.

“Mama gak akan kayak gitu,” suara parau Sera.

“Ngeyel banget Lo, mending-mending tu anak pas Lo lahirin gedenya nurut dan berbakti sama Lo. Nah kalo akhirnya dia malah ngecewain kayak Lo sekarang gimana, hah? Nambah beban aja sih, Ser. Udah gugurin aja, Lo gak usah takut mati karena aborsi, gue bawanya ke rumah sakit mahal.” Jendra mengacak rambutnya kesal, punya bayi yang benar saja? Memikirkannya saja itu membuatnya geli dan pasti akan sangat merepotkan.

Sera tidak membalas lagi, tapi isakannya semakin menjadi. Kalut, takut dan bimbang menjadi satu.

“Ya, aborsi aja, ya? Masa depan kita masih panjang, Ser. Mending gue udah 17 tahun, Lo masih 16 tahun, Ser.” Suara Jendra sekarang melembut demi merayu Sera.

“Harusnya dari awal kamu gak pernah coba-coba rusak aku dan paksa-paksa aku kalau tau pentingnya masa depan,” ketus Sera berdiri dan keluar dari apartemen Jendra itu.

Sera butuh sendiri saat ini, jikapun harus aborsi ia ingin menghabiskan waktunya berdua dulu dengan anaknya itu. Berjalan seorang diri dengan terus mengelus perutnya yang masih datar. Ada satu rasa yang entah ia bisa sebut apa di setiap kali menyadari ada nyawa di dalam perutnya, bergantung padanya dan dia sebagian dari dirinya.

Bagaimana mungkin bisa Sera membunuhnya? Merasakan detakan jantungnya saja ada satu titik kebahagiaan tersendiri di dalam dirinya.

“Assalamu‘alaikum.” Sera memasuki rumahnya yang sederhana itu.

Fate and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang