EP. 7. A Good Person
********
"Emang kalau cewek sama cowok deketan dan barengan terus, itu berarti mereka pacaran, ya?" Tanya Jingga. Biru bergeming, mencoba menyusun jawaban.
"Biasanya emang kayak gitu, kan?" Biru melemparkan pertanyaan konfirmasi.
Jingga mengernyit, mencoba berpikir. "I don't think so."
"Terus?" Tanya Biru lagi seolah meminta kepastian siapa Langit bagi Jingga.
"F-R-I-E-N-D." Jingga mengeja dengan penuh penekanan di setiap hurufnya. "We're nothing more than friend, more like a brother."
Biru tersenyum sinis dan penuh cibiran.
"Cowok sama cewe itu nggak bisa berteman baik. Secara general nggak bisa, karena selalu ada ketertarikan emosional di antara keduanya walaupun sedikit. Kalau ujung-ujungnya nggak saling jatuh cinta, pasti tetap ada salah satu di antara mereka yang terbawa perasaan."
"Pendapat kamu emang bener." Jingga membenarkan kata-kata Biru. "Tapi kurang tepat, karena nggak semua orang kayak gitu. Kamu nggak tahu seberapa berartinya persahabatan kami. So, jangan asal mengambil kesimpulan karena kamu nggak tahu apa-apa. Lagian bagaimanapun hubungan kami, teman atau bukan, itu bukan urusan kamu."
Biru mengatupkan bibirnya. "Kamu tiba-tiba jadi serius banget."
Jingga menghela napas. "Sorry kalau aku merusak suasana. Aku cuma nggak setuju aja sama pendapat kamu. Mereka yang keluar dari comfort zone dari zona pertemanan adalah orang yang nggak punya sikap bijaksana dalam pengambilan sikap untuk nggak melanjutkan perasaan ketertarikan karena takut bisa menghancurkan hubungan persahabatan."
Biru terdiam untuk beberapa saat. "Apa kamu pernah tertarik sama dia?"
Jingga menggeleng. "Enggak dan nggak akan pernah."
"Tapi Langit?" Tanya Biru lagi.
"Aku juga yakin dia nggak bakal pernah melibatkan perasaan kayak gitu sama aku. Kami tumbuh kayak saudara sejak kecil. Jadi, itu nggak mungkin." Jelas Jingga yakin.
Biru mengangguk-angguk, tetapi masih terlihat sangsi. Jingga sendiri memperhatikannya, lalu menghela napas.
Setelah itu, keheningan yang canggung menyeruak di antara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Jingga terdiam dengan wajah datar, dia memang sedikit sensitif jika ada orang yang menyinggung dan meragukan persahabatannya dengan Langit. Sebagai orang yang sudah tumbuh bersama sejak kecil, Jingga benar-benar murni menyayangi Langit sebagai saudaranya.
"Maaf, kalau kamu tersinggung." Biru akhirnya mengambil inisiatif untuk bicara. Dia benar-benar tidak suka dengan suasana canggung di antara mereka. Sementara Jingga hanya menyahutinya dengan gelengan kepala dan senyuman tipis.
"Ngomong-ngomong. . . ." Biru menghela napas sejenak, otaknya berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan. "Kenapa nama teman kamu Langit?" Dan yang keluar malah pertanyaan konyol. "Apa karena dia lahir di langit?" Dia lalu nyengir kaku seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Duhh, kenapa dia jadi receh begini?
Jingga mengernyit seiring dengan senyum geli yang terbit dari sudut bibirnya.
"Ya nggak dilahirin di langit juga. Sebenernya aku juga kurang tahu pasti, sih. Tapi dari yang aku denger, waktu dilahirin panjangnya Langit di bawah rata-rata. Karena itu orang tua dia ngasih nama Langit dengan harapan biar dia tumbuh tinggi menjulang sampai ke langit." Jelasnya kemudian, lalu terkikik geli, mengingat harapan orang tua Langit kini terkabul karena cowok itu tumbuh tinggi bak seorang model sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILL IN LOVE [END]
Romance"Aku butuh bantuan kamu untuk ngembaliin ingatan aku." Ucap Biru tak berperasaan. Di usia yang hampir menginjak 25 tahun, Jingga dipaksa oleh orang tuanya bertunangan dengan seorang laki-laki tampan anak dari salah satu teman baiknya. Namun siapa sa...