EP. 89. So Beautiful
*********
Setelah melakukan pemeriksaan pasien pasca operasi di ruang ICU, Jingga berjalan dengan langkah gontai menuju ruangannya.
Tubuhnya gemetar dan lemas, kepalanya pusing, begitupula dengan keringat dingin yang muncul di telapak tangan dan pelipisnya, menandakan bahwa gula darah di tubuhnya rendah.
Jelas saja, karena dia belum makan selama beberapa jam hingga glukosa dalam tubuhnya berada di bawah kadar normal. Jingga bahkan melewatkan makan siang karena tiba-tiba ada panggilan darurat pada pasien henti jantung.
Sesampainya di ruangan, Jingga buru-buru membuka laci meja kerja yang di dalamnya terdapat persediaan camilan seperti snack bar, coklat, dan beberapa buah kering kemasan yang cukup untuk mengganjal lapar hingga hipoglikemianya teratasi.
"Biasanya ini enak." Jingga mengeluh karena lidahnya terasa hambar, dia lalu memeriksa kemasan strawberry snack bar yang sedang dia makan untuk melihat tanggal kadaluarsanya.
"Belum expired, kok." Gumamnya seraya memperhatikan tanggal kadaluarsa yang tertera pada kemasan jajanan tinggi kalori itu.
Pada akhirnya, Jingga memilih untuk membuang snack bar yang baru dimakannya satu gigitan itu ke tempat sampah, lalu meneguk satu botol air mineral hingga tandas.
Merasa kepalanya masih pusing, Jingga lantas menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi sambil mendongakkan kepalanya menatap langit-langit ruangan. Satu tangannya terangkat memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.
Tak lama, suara ketukan pintu terdengar, membuat Jingga menyahuti dengan malas dan mempersilahkan orang yang mengetuk pintu ruangannya itu untuk masuk. Saat pintu terbuka, tampak kepala Hana menyembul dari balik pintu, lalu dia masuk diikuti Langit yang berjalan di belakangnya.
"Langit? Ngapain kamu ke sini?" Tanya Jingga begitu dia menegakkan posisi duduknya. Dahinya berkerut heran saat mendapati Langit masuk ke ruangannya.
"Kenapa? Biasanya juga aku datang ke sini." Langit mendaratkan tubuhnya di sofa.
"Maksudnya, emang kamu lagi nggak ada kerjaan?" Jingga beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri Hana dan Langit yang sudah duduk di sofa.
"Kalau nggak ada kerjaan, aku nggak bakalan main ke sini." Langit mendengus sebal karena Jingga mengajukan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
"Awalnya nggak niat ke sini, tapi tadi di lobby ketemu Hana dan dia bilang kamu lagi nggak ada kerjaan." Ujar Langit kemudian, mengingat tadi dia bertemu Hana di lobby yang terlihat kesulitan membawa beberapa kantong berisi makanan. Dia yang hendak keluar untuk makan karena bosan dengan suasana kantin, mengurungkan niatnya begitu saja dan memilih untuk membantu Hana.
"Kamu ngapain, sih, nyuruh Hana beliin makanan sebanyak ini? Kenapa nggak beli sendiri atau DO aja, coba?" Langit lantas menegur Jingga karena menyusahkan orang lain.
"Itu nggak bener, kok. Tadi emang aku yang menawarkan diri." Bela Hana, mengingat tadi sebelum pergi ke restoran Jepang, dia menawarkan dan menanyakan apakah Jingga akan menitip makanan atau tidak.
"Terus, kenapa nggak ikut ke restoran bareng Hana aja?" Langit masih tak bisa menerima pembelaan Hana.
"Aku tadi agak pusing, makanya males ke mana-mana. Mau ke kantin, tapi aku bosen sama makanannya." Jelas Jingga.
"Udah, deh, kenapa kalian malah ribut? Lagian ini nggak ngerepotin sama sekali, kok." Hana mencoba melerai pertengkaran kecil antara kedua sahabat itu.
"Tapi Jingga nitipnya keterlaluan. Lihat, nih, tonkatsu, curry rice, tempura, soba, yakitori, yakiniku, sashimi, onigiri, dan masih ada lagi." Langit membaca struk belanja yang ditempelkan pada salah satu kantong yang dibawa Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILL IN LOVE [END]
Romance"Aku butuh bantuan kamu untuk ngembaliin ingatan aku." Ucap Biru tak berperasaan. Di usia yang hampir menginjak 25 tahun, Jingga dipaksa oleh orang tuanya bertunangan dengan seorang laki-laki tampan anak dari salah satu teman baiknya. Namun siapa sa...