EP. 100. Overthinking
********
Sesampainya di kedai kopi. Jingga kemudian mengedarkan pandangannya, mencari tempat di mana Biru duduk saat ini.
Senyumnya mengembang ketika matanya menangkap sosok Biru yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Namun, itu tak berlangsung lama saat dia menangkap sosok lain yang duduk bersama Biru.
Meremas ujung dress yang dikenakannya, Jingga lantas berjalan perlahan untuk menghampiri Biru agar lebih dekat.
Tubuhnya seketika bergetar dan hatinya bergemuruh saat dengan jelas dia mendengar percakapan Biru dengan orang itu, Luna.
"Waktu kita ketemu di Surabaya, aku mau ngasih ini, tapi malah kelupaan." Luna menyerahkan sebuah kotak hadiah berwarna hitam dengan hiasan pita merah di atasnya. "Kebetulan kita ketemu di sini, jadi aku kasih sekarang aja. Tadinya mau aku titip di staff Front Office rumah sakit."
"Padahal nggak usah repot-repot ngasih hadiah segala, Lun. Lagian itu juga udah lewat." Ujar Biru.
Jingga yang menyaksikan itu hanya bisa tersenyum getir. Hatinya berdegup kencang dan napasnya memburu, tanda dia sedang menahan amarah.
Jingga benar-benar tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia harap pendengarannya bermasalah, tapi sial dia mendengarnya dengan sangat jelas.
"Kakak . . . ." Jingga tertegun dengan wajah pucat pasi begitu dia menghampiri Biru yang tengah duduk dan mengobrol bersama Luna. Orang yang sudah membuat hubungannya dan Biru sempat berjarak.
Tersenyum miring. Jadi hal yang Jingga takutkan terjadi? Mereka bertemu di Surabaya? Di saat Jingga menangis sendirian karena merindukan laki-laki itu, tapi Biru malah bertemu Luna di sana? Tck, sangat lucu.
"Jingga. . . ." Biru yang mendengar suara Jingga sontak menoleh ke arahnya. Laki-laki itu tampak terkejut, begitupula dengan Luna. Mereka seolah telah terpergok melakukan kesalahan.
"Sekarang aku harus apa? Aku capek, Kak, kalau harus lihat kamu kayak gini terus." Jingga menggeleng pelan sambil tersenyum miris.
"Ji, kamu salah pa–"
"Salah paham atau bukan. Aku tetap nggak suka." Sambar Jingga memotong ucapan Biru, kemudian memutar tubuhnya dan mengambil langkah cepat untuk pergi keluar dari tempat yang cukup menyesakkan itu.
Jingga pikir, semuanya sudah berakhir hingga dia dan Biru bisa hidup bahagia tanpa bayang-bayang Luna lagi.
Apa Biru tidak ingat betapa sulitnya Jingga memberikan kepercayaan padanya dulu? Jingga memang bisa memberikan cintanya dengan gratis, tapi tidak dengan kepercayaan.
Tidak, Jingga tidak memberikan kepercayaan pada Biru secara cuma-cuma. Tapi apa yang laki-laki itu lakukan? Menyia-nyiakannya? Lucu sekali, saking lucunya, yang bisa Jingga lakukan adalah tertawa miris dengan derai air mata yang mulai mengalir di pipinya.
Melewati kerumunan, Jingga berjalan linglung hingga sesekali dia menabrak bahu beberapa pengunjung mall.
"Dengerin aku dulu, Ji." Biru menahan tangan Jingga yang nyaris membuka pintu taksi begitu dia berhasil mengejarnya. Namun, Jingga dengan cepat menyentak tangan Biru dan kembali membuka pintu taksi.
"Ya udah kalau gitu pulang sama aku, hem?" Biru kembali meraih pergelangan tangan Jingga untuk mencegahnya masuk ke dalam taksi.
Jingga memandang lurus pada cekalan tangan itu seraya tersenyum miris dengan mata yang berkaca-kaca.
"Lepas!" Ucapnya dingin.
"Ji, jangan gini. Dengerin aku dulu, kamu salah paham."
Jingga berdecak geli. Entahlah, saat ini dia tidak ingin mendengar apapun dari Biru, dia hanya ingin pulang dan menenangkan dirinya sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILL IN LOVE [END]
Romance"Aku butuh bantuan kamu untuk ngembaliin ingatan aku." Ucap Biru tak berperasaan. Di usia yang hampir menginjak 25 tahun, Jingga dipaksa oleh orang tuanya bertunangan dengan seorang laki-laki tampan anak dari salah satu teman baiknya. Namun siapa sa...