EP. 66. Tell Me What To Do?
********
Sudah hampir satu minggu Jingga kembali bekerja di rumah sakit, dan selama itu pula dia mengabaikan Biru. Tapi Biru tak menyerah begitu saja. Cowok itu setiap hari selalu berusaha untuk mendekati dan menarik perhatiannya agar Jingga tidak mengabaikannya lagi.
Meminta maaf, mengucapkan kata cinta, memberikan sebuket bunga setiap pagi, bahkan Biru memberikan yoghurt strawberry disertai memo seperti yang pernah Jingga lakukan padanya dulu.
Tak lupa, setiap pagi Biru juga menjemput Jingga saat akan pergi bekerja, masuk ke ruangannya begitu saja untuk mengajak Jingga makan siang, dan menahan Jingga di pintu keluar untuk mengantar Jingga pulang.
Namun Jingga tak tersentuh sama sekali dengan usaha yang Biru lakukan. Dia selalu menolaknya, tanpa kata-kata. Gadis itu benar-benar melakukan silent treatment dalam mengekspresikan amarahnya.
Sikap Jingga yang seperti itu membuat hati Biru terasa tersayat-sayat setiap harinya. Bagaimana tidak? Jingga menghindari dan juga menganggap Biru seolah dia adalah hantu yang tak terlihat di matanya.
Jingga seolah tak mendengar, seberapa keraspun usaha Biru memanggil namanya. Jingga seolah tak melihat, walau Biru berdiri di hadapannya. Jingga benar-benar mengabaikannya dengan baik.
Contohnya seperti saat ini. Jingga sedang menunggu pintu lift terbuka untuk kembali ke ruangannya setelah dia selesai melakukan kunjungan pasien. Namun Jingga tidak langsung masuk tatkala pintu lift terbuka. Dia malah berdiri mematung di sana, tatapan matanya kini bertemu dan saling terkunci dengan mata Biru yang juga sedang menatapnya dengan tatapan sendu.
Seulas senyum Biru sunggingkan di bibirnya yang tampak mengering, berharap Jingga membalasnya. Namun seperti biasa, seolah senyuman Jingga untuknya telah membeku. Biru tak mendapatkan balasan yang sama. Gadis itu malah menghindar dari pandangannya dan berbalik, memilih untuk berjalan melewati tangga darurat.
"Aku aja yang keluar." Biru buru-buru keluar dan menahan lengan Jingga yang hendak melangkah pergi. Jingga menoleh ke arahnya, pandangannya lalu turun pada tangan Biru yang bertengger di lengannya. Seolah mengerti Jingga tak ingin dia sentuh, buru-buru Biru melepaskan tangannya. Dalam keadaan ini, Biru memang harus banyak mengalah.
"Kamu duluan. Aku bisa nunggu lift berikutnya." Lanjut Biru sembari mengulas senyum tipis. Namun tatapannya menyimpan kesedihan yang mendalam. Rasanya sakit sekali melihat Jingga terus mengabaikannya seperti ini. Apa Biru begitu menjijikan, sampai-sampai Jingga tidak mau bahkan hanya untuk satu lift dengannya?
"Kenapa harus nunggu lift berikutnya? Lift ini bisa nampung lebih dari delapan orang. Kita bisa masuk bareng-bareng." Seru Langit yang tiba-tiba membuat Biru dan Jingga otomatis menoleh ke arahnya.
"Ayo, masuk." Langit dengan gemas mendorong Biru dan Jingga yang masih berdiri di depan lift. Jingga mendengus sebal, ingin sekali dia memukul Langit saat ini juga.
"Apa?" Tanya Langit saat melihat Jingga menghunuskan tatapan tajam padanya dengan mulut yang komat-kamit menggerutu tanpa suara.
"Emang aku ngapain?" Balas Jingga jutek.
"Yeee, nggak usah sewot gitu, kali." Cibir Langit seraya mengusap penuh wajah Jingga menggunakan telapak tangannya. Namun sesaat kemudian dia memekik saat Jingga dengan sengaja menahan tangan Langit dan menggigitnya.
"Kamu kira kamu anjing?." Langit menggerutu kesal sambil menatap tangannya yang terdapat bekas gigitan Jingga.
"Ya dan kamu kelihatan kayak tulang." Sahut Jingga santai, namun dengan nada malas. Langit hanya mendengus sebal mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILL IN LOVE [END]
Romance"Aku butuh bantuan kamu untuk ngembaliin ingatan aku." Ucap Biru tak berperasaan. Di usia yang hampir menginjak 25 tahun, Jingga dipaksa oleh orang tuanya bertunangan dengan seorang laki-laki tampan anak dari salah satu teman baiknya. Namun siapa sa...