20. Last Chance

3.9K 258 4
                                    

EP. 20. Last Chance

********

Satu hari setelah kepergian Biru, Jingga kembali ke sekolah untuk mengambil barangnya yang tertinggal di loker. Sekolah tampak sepi karena libur semester telah tiba.

Jingga berjalan gontai menyusuri koridor menuju ruang kelasnya. Jingga harus mengosongkan lokernya karena setelah kelas dua belas, ruang kelasnya akan pindah ke lantai atas.

Jingga membuka loker, tampak beberapa buku milik Jingga dan barang-barang lain masih tersimpan di sana. Sudut bibir Jingga tertarik membentuk senyum simpul melihat yogurt strawberry pemberian Biru yang belum dia ambil kemarin pagi.

Dia sentuh minuman tersebut, tatapannya berubah sedih, senyumnya menyurut, sekarang tidak ada yang akan melakukan hal ini lagi untuknya.

Menelan ludahnya susah payah, Jingga sedih karena kini harus mulai membiasakan diri lagi menjalankan aktivitasnya tanpa kehadiran Biru di sisinya.

Jingga mengambil yogurt strawberrynya, lalu memerosotkan tubuhnya, terduduk lemas di lantai dengan punggung bersandarkan loker-loker. Dia lantas mulai menyesap minuman tersebut, mendadak ingatannya berputar pada waktu pertama kali dia bertemu dengan Biru.

Matanya mulai berkaca-kaca, dia mulai kesulitan menelan minuman yang masuk ke dalam mulutnya.

"Hiks....."

Ingatannya terus berputar, dari mulai pertemuan pertama, pada saat mereka mulai berpacaran dan melakukan berbagai hal bersama, hingga akhirnya mereka harus berpisah karena Biru harus melanjutkan pendidikannya.

Dia menjatuhkan minumannya, tidak bisa menahan isak tangisnya lagi. Jingga menutup wajah dengan kedua telapak tangan untuk meredam tangisannya.

Terdengar menyakitkan hingga Langit yang sejak tadi memperhatikannya di balik pintu ruang kelas merasa iba. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Langit melihat Jingga menangis untuk seseorang seperti itu.

Langit segera menghampiri Jingga. Tubuh gadis itu nampak bergetar seiring isakan kecil yang keluar dari bibirnya.

"Udah, jangan nangis." Langit menarik Jingga ke dalam pelukannya. "Berisik, tahu." Ledeknya kemudian hingga membuat Jingga mendengus kesal di sela tangisannya.

"Nanti, kan, bisa cari cowok lain." Langit terus meledek.

Jingga memukul punggung Langit keras-keras, kesal karena terus meledeknya.

Cowok itu terkekeh. "Becanda, kok. Udah, dong. Kan dia cuma pergi buat belajar, lagian beberapa bulan lagi dia juga pasti balik pas liburan musim panas. Dia sendiri, kan, yang bilang kayak gitu ke kamu?"

"Iya, sih, tapi, kan, tetap aja aku sedih." Balas Jingga, lalu semakin meraung hingga membuat jaket Langit basah terkena air mata.

Langit menghela napas berat, menepuk-nepuk pelan punggung Jingga, menunggu sampai tangis gadis itu mereda.

"Udah, ya. Aku traktir gelato sepuasnya mau, nggak?"

Mendengar tawaran itu, refleks Jingga menghentikan tangisnya. Dia menarik diri untuk menjangkau pandangannya dengan Langit.

"Aku mau ayam juga." Ucap Jingga dengan wajah menggemaskan dan berlinang air mata.

"Iya-iya boleh, asal kamu berhenti nangisnya. Bete, tahu, nunggu kamu berhenti nangis." Sahut Langit.

"Aku juga mau beli jajan di street food." Tambah Jingga sambil menghapus air mata menggunakan punggung tangannya.

Langit mendengus, merasa Jingga malah mengambil kesempatan untuk memerasnya.

STILL IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang