45. Bad Morning

3.9K 246 3
                                    

EP. 45. Bad Morning

********

Sesampainya di depan gedung apartemen miliknya, Jingga bertemu dengan Langit yang menenteng kantong plastik berisi minuman bersoda di tangannya. Sepertinya Langit baru pulang dari minimarket.

"Butuh hiburan?" Pertanyaan Langit menyapa Jingga begitu mereka bertemu.

Langit yang melihat kedatangan Jingga sejak turun dari mobil dengan raut wajah sedih dan langkah gontai, tidak bisa menahan diri untuk tidak menghampiri gadis itu dan mencari tahu kenapa sahabat kesayangannya seperti itu.

"Bisa nggak, sih, kamu pura-pura nggak tahu aja?" Sahut Jingga diiringi dengusan geli. Mungkin karena mereka selalu bersama sejak kecil, membuat Langit sangat peka padanya, seberusaha apapun Jingga menyembunyikan perasaannya.

"Aku juga maunya pura-pura nggak tahu, tapi kamu muncul dengan ekspresi jelek kayak itu. Emot sedih nggak cocok buat kamu." Ledek Langit, membuat dengusan geli keluar dari bibir Jingga.

"Kalau gini-" Jingga menarik kedua sudut bibirnya ke atas, hingga membentuk senyuman yang dipaksakan. Tapi kesedihan tidak dapat dia sembunyikan dari sorot mata jernihnya. "Masih jelek, nggak?"

"Makin jelek." Balas Langit sambil mengusap penuh wajah Jingga dengan telapak tangan. "Jelek banget. Jingga jelek banget, jelek kuadrat."

"Ish." Jingga hanya mendengus sebal, kemudian dia kembali melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam gedung apartemen.

Namun baru saja beberapa langkah, Langit kembali memanggilnya, sehingga membuat gadis itu mau tidak mau harus berbalik.

"Masih jam sembilan, ayo main basket." Ajak Langit sambil mengedikkan ibu jarinya ke arah lapangan basket. "Lagian kita udah lama nggak main bareng buat senang-senang."

Tersenyum geli, Jingga tahu ini adalah bentuk penghiburan Langit untuknya.

Jingga senang memiliki teman seperti Langit. Saat dia bersedih, Langit tak akan bertanya apa yang menjadi sebab sedihannya sampai Jingga sendiri yang bercerita padanya. Cowok itu selalu memiliki cara tersendiri untuk menghibur Jingga, tanpa harus merasa dikasihani.

"Tangan kamu udah nggak sakit?" Jingga mengedikkan dagu pada tangan Langit yang tampak sudah dilepas gipsnya.

"Hmm." Langit mengangguk cepat. "Buktinya kemarin aku bisa gendong bayinya Bisma. Lagian aku bisa, kok, main basket pake satu tangan. Kamu tahu, nggak, kalau aku itu lebih baik dari Michael Jordan?" Sambungnya dengan percaya diri.

Sejenak Jingga menatap ragu tangan Langit. "Awas saja kalau kamu kalah." Cibirnya kemudian.

Keduanya lantas berbalik arah dan berjalan menuju lapangan basket sebagai salah satu sarana olahraga yang disediakan apartemen itu.

"Kalau aku kalah, kamu mau apa?" Tanya Langit yang berjalan mengekor di belakang Jingga.

"Eung, gimana kalau kamu nyanyi buat aku? Terus kalau aku yang kalah, aku akan dengerin kamu nyanyi."

Langit berdecak geli dan sebal sekaligus, tapi tidak protes. Malam ini dia akan membiarkan Jingga mendapatkan apa yang diinginkannya.

Sesampainya di lapangan basket, Jingga mengikat rambutnya terlebih dahulu, dia mencepol habis seluruh rambutnya agar tak mengganggu saat dia bermain nanti.

Bola berada di tangan Jingga, gadis itu mulai menantulkan bola basket, lalu mendribblenya rendah sehingga membuat Langit kesulitan merebut bola dari tangannya.

Langit terus mengejar Jingga yang menggiring bola. Cowok itu bukan mengalah, tapi Jingga memang pandai bermain basket.

Saat kesempatan datang, Jingga melompat tinggi melewati ring, gadis itu seperti sedang berjalan di udara. Langit bahkan terperangah melihatnya sambil geleng-geleng pelan. Usia sepertinya tidak mempengaruhi kemampuan gadis itu, masih saja hebat seperti dulu.

STILL IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang