EP. 43. Virus
********
Ini adalah kali kedua Biru dan Jingga terpergok melakukan hal yang kurang pantas di rumah sakit. Tidak pernah terbersit dalam pikiran Jingga akan mengalami kejadian memalukan seperti ini. Pasalnya, bukan hanya Om Rendi yang melihat, tapi ada orang lain, Giselle.
Jika dulu Om Rendi membiarkannya, tapi sekarang tidak demikian. Saat ini mereka di bawa ke ruang kerja lelaki paruh baya itu untuk siap diberi teguran.
Biru dan Jingga duduk bersebrangan dengan Om Rendi di hadapan mereka. Lelaki paruh baya itu menyoroti mereka dengan tatapan tajam seolah siap menelan mereka bulat-bulat. Demi apapun, Biru dan Jingga akan lebih suka uji nyali di ruang jenazah yang ada di rumah sakit itu, dibandingkan duduk berhadapan di ruang kerja Om Rendi yang terasa lebih mencekam.
Kini Biru dan Jingga hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil sesekali melihat ke arah Om Rendi dengan takut. Jingga memilin-milin jemari tangannya yang mulai berkeringat karena terlalu takut dengan tatapan Om Rendi.
Di samping takut, Jingga juga merasa kesal. Ingin sekali dia memukul dan meneriaki Biru yang sudah membawanya ke dalam situasi memalukan ini. Sepertinya Jingga benar-benar harus mencuci otak Biru setelah keluar dari sini.
"Tidak punya etika." Suara Om Rendi menggema di ruangannya, memecah keheningan yang terjadi beberapa saat lalu. Namun hal itu tidak mengurangi suasana mencekam di dalam sana.
Lelaki tua itu menghela napas dalam guna mencari kesabaran dalam menghadapi dua anak muda yang berbeda zaman dengannya itu. Baru saja satu minggu yang lalu dia memukuli Biru dengan tongkat golf. Tapi kali ini sang anak sudah mengulangi kesalahannya saja.
"Bagaimana bisa kalian seorang dokter melakukan hal yang kurang pantas di tempat umum?" Lanjutnya dengan sindiran keras. Jingga yang mendengarnya hanya bisa menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, dia bingung harus menjawab apa.
"Bi . . . ."
Biru mendongakkan kepalanya perlahan saat mendengar namanya dipanggil.
"Apa gelar Professor di depan nama kamu itu cuma embel-embel?" Lelaki paruh baya itu tampak menghela napas dalam, berusaha menahan kegeramannya. Masih tak habis pikir dengan anak dan calon menantunya yang dia anggap sangat lurus, tapi ternyata di luar dugaannya.
"Papa nggak nyangka kalian melupakan adat ketimuran kita. Apa ini yang kalian dapat selama bersekolah di luar negeri, iya?"
Kali ini Jingga ikut mendongakkan kepalanya, dia merasa tak terima dengan tuduhan yang dilayangkan Om Rendi. Tapi tetap saja dia tak bisa protes, Om Rendi hanya akan percaya dengan apa yang dilihatnya. Lagipula, bagaimana cara Jingga menjelaskannya? Mengingat posisi mereka saat di lift tadi, Biru dan Jingga sudah benar-benar tersudutkan sekarang.
"Bagaimana kalau orang lain yang melihatnya? Reputasi kalian jelas akan menjadi jelek."
Biru dan Jingga masih belum mampu mengeluarkan suaranya, seolah mulut mereka menjadi bisu seketika.
"Maaf, Pa. Kami nggak akan ngelakuin itu lagi." Dengan takut-takut, Biru angkat bicara.
"Kami? Cuma kamu yang ngelakuin itu, bukan aku." Jingga mendelik kesal ke arah Biru sembari menggerutu dalam hatinya.
"Jangan sampai perut Jingga sudah membuncit di hari pernikahan nanti." Celetuk Om Rendi, mengingat hari pernikahan mereka hanya kurang dari tiga bulan lagi.
"Yaa?" Sahut Biru dan Jingga bersamaan dengan mata yang membelalak sempurna. Jingga refleks memegangi perutnya. "Amit-amit."
"Pa, kami belum ngelakuin sampai sejauh itu." Sontak ucapan Biru membuat semua mata mengalihkan pandangan ke arahnya. Termasuk Giselle yang dari tadi berdiri di samping sofa di dekat Om Rendi.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILL IN LOVE [END]
Romance"Aku butuh bantuan kamu untuk ngembaliin ingatan aku." Ucap Biru tak berperasaan. Di usia yang hampir menginjak 25 tahun, Jingga dipaksa oleh orang tuanya bertunangan dengan seorang laki-laki tampan anak dari salah satu teman baiknya. Namun siapa sa...