34. Like a Magnet

3.6K 274 2
                                    

EP. 34. Like a Magnet

********

Jingga saat ini duduk berhadapan di sofa ruang kerja Biru, setelah tadi cowok yang menjadi atasannya itu meminta untuk ikut ke ruangannya.

Jingga menghembuskan napas kasar. Pikirnya Biru pasti akan meminta bantuannya untuk mengoperasi jantung orang penting. Seperti halnya beberapa hari yang lalu, dia diminta untuk mengoperasi jantung salah satu Dewan Direksi rumah sakit ini, alasannya tentu saja karena Jingga adalah dokter spesialis jantung terbaik di sana.

Jingga sebenarnya tidak suka dimintai seperti itu, dia seperti pilih-pilih pasien jadinya. Padahal, tujuan Jingga menjadi dokter sepenuhnya adalah untuk kemanusiaan. Tidak memandang pasien dari statusnya, di mata Jingga semua pasien adalah sama. Ck, otak Biru memang politik sekali.

"Siapa sekarang? Pejabat Pemerintah? Artis? Presiden? Jadwal operasi aku cukup padat. Coba minta dokter lain aja." Ucap Jingga setelah beberapa saat terdiam.

Biru bergeming. Sejak mereka datang ke ruangan itu, Biru hanya sibuk menatap Jingga dengan tatapan tajam yang serasa menghunus jauh ke dalam diri Jingga.

"Kalau cuma mau minta bantuan kayak gitu lagi, maaf kali ini aku nggak bisa. Permisi, Prof. Biru." Ucap Jingga kemudian, penuh penekanan. Dia lalu beranjak dari duduknya dan segera melangkahkan kaki untuk keluar dari ruangan Biru.

"Apa kamu nggak bisa jaga sikap?" Suara dingin Biru menggema di ruangan kedap suara itu, membuat tangan Jingga yang baru saja menyentuh handle pintu tertarik kembali, memilih berbalik dan menatap Biru dengan bingung.

"Jaga sikap kamu sama Langit. Aku bilang di sini nggak boleh pacaran! Kalau kalian mau pacaran jangan di sini." Tukas Biru.

Jingga tercengang mendengar tudingan tersebut dengan rahang sedikit menganga.

"Pacar?" Tanya Jingga dengan raut wajah tak terima. Sorot matanya menatap Biru tak kalah tajam.

"Ke mana-mana bareng, makan bareng, sering berduaan di ruang kerja, dan apa tadi? Kamu kelihatan panik banget denger dia kecelakaan. Semua orang lihat, siapa yang nggak nyangka kalau kalian pacaran?" Sindir Biru sinis.

Jingga tersenyum kecut mendengarnya. Apa Biru tidak merasa jika dia sedang membicarakan dirinya sendiri? Bukankah Biru juga seperti itu dengan Luna?

Lalu kenapa Biru kesal padanya seperti itu? Cemburu? Jingga tidak mempercayainya.

"Bukannya itu kamu sama Luna, ya? Bisa-bisanya ngomong kayak gitu ke aku sementara kamu pun nggak beda jauh." Balas Jingga tersenyum sarkas.

Biru bergeming, untuk sementara tak mendapat kalimat perlawanan atas ucapan Jingga barusan. Tapi tetap saja, hatinya kesal dan Jingga salah di matanya.

Tak ingin berlama-lama di sana, Jingga lantas membalikkan tubuh dengan gerakan cepat, lalu menghembuskan napasnya seolah membuang seluruh emosi yang sejak tadi dia tahan.

Melihat Jingga yang bergerak pergi, Biru dengan cepat menghampiri gadis itu dan mencengkram pergelangan tangannya. Biru menariknya sekuat tenaga dan menyudutkannya hingga punggung Jingga membentur dinding.

Jingga meronta. Dengan tenaga yang tak sebanding dengan Biru, dia berusaha melepaskan diri dari Biru yang kini mengunci tubuhnya dengan kedua tangan bertumpu pada dinding. Demi apapun, Jingga tak pernah melihat sosok Biru yang tampak tak terkendali dan liar seperti ini.

"Kak . . . ." Jingga berusaha mendorong tubuh Biru, namun sia-sia. Tenaga Biru jauh lebih besar dibanding dia. Cowok itu bergeming, menghunuskan tatapan tajam seolah ingin menguliti dirinya.

STILL IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang