EP. 97. Starla
********
Hari ini Biru dan Jingga mengunjungi rumah Papa Rendi dan Mama Lisa. Mereka akan bermalam di sana sekaligus memberitahu kabar kehamilan Jingga.
Mereka juga sudah memberitahu orang tua Jingga sebelum datang ke rumah orang tua Biru. Ayah dan Bunda sangat senang mendengar kabar baik ini, begitupula Bintang dan Senja yang ikut berbahagia karena adik kecilnya sudah menjadi wanita dewasa sekarang.
Baik Papa maupun Mama, mereka benar-benar terkejut dan bahagia sekaligus saat Jingga menunjukkan foto hasil USG yang dia dapat saat memeriksakan kandungannya di Dokter Obgyn kemarin.
Mereka tak henti-hentinya mengucap syukur, akhirnya mereka akan kembali mendengar suara tangisan bayi yang akan meramaikan rumah setelah sekitar dua puluh tujuh tahun terasa sepi. Harapan memiliki cucu sebentar lagi terkabul.
"Mimpi Papa jadi kenyataan, Ma." Ujar Papa senang, matanya tak lepas memandangi foto hasil USG milik Jingga.
Walaupun Mama dan Papa tidak terlalu paham karena foto itu belum jelas memperlihatkan bentuk sang calon cucunya, tapi perasaan bahagia menjalar begitu saja di hati mereka. Terutama Papa, lelaki paruh baya itu bahkan tak sadar meneteskan air matanya saat melihat foto janin calon cucu mereka saking bahagianya.
"Itu takhayul, Pa. Ini cuma kebetulan aja." Mama protes karena suaminya itu percaya pada mimpi.
"Iya, Pa. Aku juga setuju sama Mama. Mimpi itu bunga tidur, mana ada jadi kenyataan. Nggak baik lho, Pa, percaya sama yang kayak gituan." Biru menimpali.
"Itu Papa juga kata orang tua zaman dulu. Papa nggak ada maksud mempercayainya, kok." Seru Papa membela diri, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada foto USG.
Biru mendengus tak menyahutinya, lalu menggerutu dalam di dalam hati. "Orang tua zaman dulu dipercaya."
"Cucunya Nenek . . . ." Gumam Mama penuh haru sambil menyentuh foto hasil USG itu menggunakan jari telunjuknya.
"Cucu kakek juga, Ma." Timpal Papa tak mau kalah. Namun, Mama tak mengindahkannya.
"Berapa usianya, Ji?" Tanya Mama tanpa mengalihkan perhatiannya dari foto USG tersebut.
"Kata dokter, udah tiga mingguan, Ma." Jawab Jingga seadanya.
Mama mengangguk, lalu beranjak dan berpindah untuk duduk di sebelah Jingga hingga membuat Biru otomatis menggeser tubuhnya.
"Makasih, ya, Ji, udah ngasih Mama sama Papa cucu." Mama memeluk Jingga penuh haru.
Biru mendengus, kenapa dia tidak mendapatkan ucapan terima kasih juga? Kalau tidak ada dirinya, bayi di dalam perut Jingga juga tidak akan ada. Dia yang membuatnya bersama Jingga.
"Mama seneng banget. Kamu sehat-sehat, ya, Ji. Ya ampuun, ini kayak mimpi. Rasanya baru kemarin Mama gantiin popok Biru, ehh sebentar lagi udah mau gantiin popok anaknya aja." Ujar Mama diiringi dengan mata yang berkaca-kaca penuh haru.
Jingga hanya mengangguk dalam pelukan Mama seraya memberi usapan lembut di punggung wanita itu.
"Ohh, iya. Apa ada keluhan?" Tanya Mama kemudian sesaat setelah dia melepaskan pelukannya.
"Cuma morning sickness sama nggak tahan lihat dan nyium bau daging dan ikan mentah, Ma." Jawab Jingga yang memang selalu merasa mual saat berhadapan dengan kedua bahan makanan itu.
"Kalau gitu mulai sekarang kamu harus jauh-jauh dari dapur, Ji." Ujar Papa. Namun, Jingga mengatakan tidak apa-apa karena hanya tidak bisa melihat dan nyium bau daging dan ikan mentah, sementara dengan bahan makanan lain dia baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILL IN LOVE [END]
Romance"Aku butuh bantuan kamu untuk ngembaliin ingatan aku." Ucap Biru tak berperasaan. Di usia yang hampir menginjak 25 tahun, Jingga dipaksa oleh orang tuanya bertunangan dengan seorang laki-laki tampan anak dari salah satu teman baiknya. Namun siapa sa...