87. Regret

3.3K 170 3
                                    


EP. 87. Regret

*********

Biru dan Jingga ikut bergabung di meja makan untuk sarapan bersama orang tua dan kakaknya yang sudah lebih dulu duduk di sana.

"Maaf membuat kalian nunggu." Ujar Biru tak enak hati seraya menarik kursi yang akan dia duduki.

"Nggak apa-apa, Bi, santai aja." Sahut Ayah tersenyum tak mempermasalahkannya.

"Kamu nggak usah sungkan, Bi. Anggap ini rumah sendiri, kan kamu udah jadi bagian dari keluarga ini juga" Timpal Bunda yang merasakan sikap tak nyaman menantunya itu.

"Iya, Bun." Jawab Biru mengangguk sopan.

Meski Bunda mengatakan seperti itu, tapi tetap saja Biru merasa canggung. Padahal, setiap hari dia berhadapan dengan pasien dan memimpin ratusan staff bawahannya di rumah sakit, dan dia selalu baik-baik saja. Tapi, berhadapan dengan mertua dan kakak iparnya rasanya benar-benar sangat berbeda.

"Ya udah sekarang kita mulai makan." Ujar Ayah kemudian untuk memulai sarapan mereka.

Jingga mengambilkan makanan untuk Biru walaupun hatinya masih diliputi rasa kesal. Jingga cukup telaten karena dia sudah mulai terbiasa melayani Biru makan setelah menghabiskan beberapa hari bersama laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu.

"Kamu mau nasi goreng atau smoothies?" Tanya Jingga.

"Aku mau nasi goreng aja. Tapi aku juga mau smoothiesnya." Jawab Biru yang ingin makan keduanya. Dia sangat lapar dan butuh makan nasi, tapi dia juga ingin memakan smoothies yang sepertinya terlihat enak itu.

"Oke, kamu bisa makan smoothiesnya buat penutup nanti." Jingga kemudian meminta Bi Tini untuk menyimpan kembali smoothies itu ke dalam lemari es agar tetap segar.

"Cukup, nggak?" Tanya Jingga lagi setelah mengambil satu centong penuh nasi goreng untuk dia letakkan ke dalam piring Biru. Laki-laki itu menjawab dengan anggukkan kepala diiringi senyum tipis yang tersungging di bibirnya.

"Makasih, Sayang." Ucap Biru tersenyum tulus. Jingga hanya menganggukkan kepalanya pelan. Ayah dan Bunda yang melihat pemandangan itu tampak tersenyum bahagia.

Untuk sejenak, tidak ada percakapan di meja makan itu. Semua orang fokus dengan makanannya masing-masing, tampak si kecil Biel juga makan dengan tenang di samping ibunya. Hanya suara dentingan piring dan sendok serta garpu yang saling beradu menggema di ruang makan itu.

"Eung, Ayah, Bunda . . . ." Panggil Biru tiba-tiba memecah keheningan. Semua orang refleks mengalihkan perhatian padanya.

"Iya, kenapa, Bi?" Sahut Ayah menghentikan sejenak kegiatan makannya.

"Maaf, habis ini aku mau bawa Jingga pulang ke rumah Mama-Papa." Jawab Biru memberitahukan niatnya untuk pulang setelah sarapan.

Ayah dan Bunda terdiam untuk beberapa saat, mereka tampak terkejut mendengar penuturan Biru.

"Kenapa terburu-buru, Bi?" Tanya Bunda terdengar protes. "Kalian bisa menginap dulu di sini setidaknya satu atau dua hari lagi." Serunya kemudian.

Walau bagaimanapun, Bunda masih belum bisa melepas pergi putri satu-satunya begitu saja, Bunda masih merindukannya. Terlebih setelah hari pernikahannya beberapa waktu lalu, Bunda belum bertemu lagi dengan Jingga. Tidak boleh, dia masih ingin melihat putrinya di rumah ini dan bermanja-manja dengannya.

"Maaf, Bunda." Sesal Biru yang melihat raut wajah Bunda tampak memelas.

"Tapi–"

"Bunda." Sela Ayah menghentikan ucapan istrinya. Ayah harap Bunda mengerti jika sekarang mereka tidak memiliki hak sama sekali terhadap Jingga.

STILL IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang