EP. 8. We Meet Again
********
Minggu pagi beringsut siang. Akhir pekan yang cerah, padahal Jingga sangat berharap hari ini turun hujan agar rencana Bunda untuk berbelanja bulanan batal. Tapi sayang, alam tidak mendukungnya.
Hari ini Bunda menagih janji Jingga untuk menemaninya ke supermarket untuk membeli persediaan makanan di rumah.
Sebelumnya Jingga menolak, tapi Bunda tidak bisa dibantah. Wanita itu malah mengancam akan mengurangi uang jajan Jingga jika tidak ingin menemaninya. Sungguh, Jingga benar-benar malas menemani Bunda belanja bulanan, karena sudah bisa dipastikan kegiatan ini akan berlangsung selama seharian penuh, mengingat barang yang dibeli Bunda tidak sedikit.
Jingga mendorong troli, tidak tanggung-tanggung, gadis itu mendorong dua troli besar dengan belanjaan yang sudah penuh di tangannya. Dia mengekori Bunda yang sibuk mengambil daging dan beberapa jenis sayuran, serta buah segar.
Sekilas Bunda menoleh, lalu tersenyum melihat wajah bosan anak gadis satu-satunya itu. Sesekali Bunda juga melihat Jingga menghentakkan kakinya kesal.
"Ji, tolong ambilin saus yang itu, dong. Bunda nggak nyampe, nih." Pinta Bunda seraya menunjuk salah satu merk saus yang dimaksud.
Tanpa bicara, Jingga mengambil saus yang ditunjuk Bunda dan kemudian memasukannya ke dalam troli. Tubuhnya yang tinggi membuatnya mudah untuk menjangkau rak bagian atas.
"Capek, Bun. Kapan beresnya, sih? Ini belanjaan Bunda udah penuh lho, nanti nggak bakalan muat di kulkas." Oceh Jingga mengeluh. Bibirnya mengerucut dengan pandangan lelah pada dua troli yang tengah didorongnya.
"Kalau main seharian dan tiap hari kamu nggak pernah ngeluh capek. Ini nemenin orang tua sebulan sekali merenguuut aja dari tadi, nggak ikhlas banget kamu." Omel Bunda dengan sedikit dengusan kesal.
Jingga menghela napas seraya memutar bola matanya malas. "Ikhlas, kok, Bun, ikhlas." Ucapnya penuh paksaan.
"Ya udah kalau ikhlas jangan ngeluh terus, doong. Ayo buruan jalannya!" Seru Bunda seraya berjalan ke arah bagian peralatan mandi. Jingga mengikutinya dengan wajah cemberut, sesekali kembali menghentakkan kakinya kesal.
"Kamu ini kalau Bunda ajak belanja bulanan jangan ngeluh. Kan suatu saat nanti kamu juga bakal nikah, bakalan punya tugas kayak gini, nih, nanti. Hitung-hitung belajar aja." Ujar Bunda yang melihat anaknya tak bersemangat.
"Masih jauh, Bun. Aku masih 16 tahun, belum mau nikah." Sahut Jingga salah tanggap, tangannya lantas terulur meraih fasial wash yang biasa digunakannya.
"Kan Bunda bilangnya suatu saat nanti, bukan nyuruh kamu nikah sekarang. Bunda juga nggak mau kali kamu nikah muda." Sanggah Bunda. Jingga yang sadar hanya nyengir kuda, memperlihatkan deretan giginya yang bersih dan rapi.
"Kalau aku hamil duluan gimana?" Celetuk Jingga asal hingga membuat Bunda dengan cepat menoleh ke arahnya dengan mata melotot galak.
"Eeeeh, apa kamu bilang?" Tanya Bunda tak terima.
Jingga cengengesan. "Becanda, Bun, serius banget nanggepinnya."
Bunda mendengus kesal, kemudian lanjut memasukkan barang yang hendak dibelinya, tanpa ingin menanggapi ucapan Jingga lagi.
"Bun, habis ini aku boleh, ya, beli makanan ringan?" Pinta Jingga dengan pandangan penuh rayuan. Puppy eyes yang ditunjukannya membuat Bunda tidak bisa menolak.
"Boleh."
Mendengar itu, Jingga langsung berseru senang. Rasa bosan dan lelahnya menguap hanya dengan satu kata itu. Lantas dengan langkah penuh semangat, dia mendorong troli menuju bagian makanan ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILL IN LOVE [END]
Romance"Aku butuh bantuan kamu untuk ngembaliin ingatan aku." Ucap Biru tak berperasaan. Di usia yang hampir menginjak 25 tahun, Jingga dipaksa oleh orang tuanya bertunangan dengan seorang laki-laki tampan anak dari salah satu teman baiknya. Namun siapa sa...