53. Fear

4.8K 261 4
                                    

EP. 53. Fear

********

Pagi harinya. Biru yang masih berada di rumah orang tuanya keluar dari kamar, untuk kemudian turun menemui mereka di ruang makan.

Sesampainya di sana, Biru langsung mendudukan dirinya di kursi yang berhadapan dengan sang ibu. Terlihat orang tuanya sudah sarapan lebih dulu.

Atmosfer ruangan terasa mencekam, dingin, seolah mampu membekukan siapa saja yang ada di sana. Tidak ada sapaan selamat pagi, apalagi perbincangan hangat seperti biasanya.

"Papa selesai." Ucap Papa seraya meletakkan sendok dan garpunya di piring, menandakan dia menyudahi acara sarapan paginya.

"Papa udah mau berangkat? Ya udah tunggu sebentar, Mama ambil tasnya dulu." Sahut Mama dan siap beranjak untuk mengambil tas kerja suaminya yang masih ada di kamar.

"Ma, Pa . . . ." Biru yang sejak tadi seolah tak dianggap keberadaannya kini angkat bicara, menghentikan orang tuanya yang hendak beranjak dari duduk. Lantas dia memberanikan diri untuk menatap mereka dengan tegas, karena dia sama sekali tidak merasa bersalah dan memang tidak melakukan kesalahan.

"Aku bener-bener nggak ngelakuin apapun sama Luna. Kenapa kalian nggak percaya?" Biru membela diri. Nada sudaranya terdengar putus asa.

"Percaya? Tck, lucu. Dua orang dewasa dalam satu ruangan, terus Luna pake baju kayak gitu, dan Mama sama Papa harus tutup mata?" Seru Mama sambil tersenyum kecut.

"Ma . . ." Protes Biru meninggikan suaranya, dia keberatan dengan tuduhan yang dilayangkan Mama padanya.

"Biru jangan pernah meninggikan suara kamu sama Mama!" Bentak Papa.

"Maaf, Pa, Ma. Tapi aku bener-bener nggak ngelakuin apapun. Tadi malam Luna nggak sengaja numpahin kopi ke bajunya, habis itu aku keluar beli baju buat dia." Biru berusaha menjelaskan seadanya, berharap orang tuanya percaya.

"Luna ngapain ke apartemen kamu? Atau kalian emang sering berduaan di sana? Jadi karena ini kamu lebih memilih tinggal di apartemen daripada di rumah, iya, Bi?" Cecar Papa kemudian.

"Enggak, Pa. Papa jangan nuduh aku macam-macam gitu, dong. Aku bukan orang seperti itu." Sahut Biru frustrasi. Ternyata, seperti ini rasanya dituding dan disudutkan. Benar-benar tidak enak dan menyebalkan.

"Aku anak kalian, kan? Mama sama Papa tahu aku gimana." Biru terdegar putus asa.

Sejenak Mama dan Papa terdiam, suasana hening kembali mengambil alih, hanya suara desahan napas berhembus yang terdengar. Keluarga kecil itu seolah tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

"Sekalipun Mama dan Papa mempercayai apa yang kamu katakan. Tapi gimana sama Jingga? Orang biasanya akan lebih mempercayai apa yang mereka lihat, Bi. Mama nggak tahu bagaimana harus menghadapi Jingga setelah ini." Ujar Mama.

"Aku akan berusaha memperbaikinya, Ma, sampai Jingga percaya lagi sama aku." Ucap Biru yakin.

"Oke. Tapi sebelumya Mama minta kamu buat jauhin Luna. Dia nggak baik." Titah Mama tegas. Meski Mama sudah mengenal Luna dari kecil, namun pandangannya terhadap gadis itu sudah berbeda sekarang.

"Ma, kok Mama ngomongnya kayak gitu? Mama, kan, tahu Luna teman aku." Biru protes.

"Kalau gitu terserah kamu. Mama udah ngingetin." Seru Mama terdengar kecewa.

"Mama kamu benar, Bi. Orang tua itu lebih berpengalaman menilai kepribadian seseorang." Timpal Papa kemudian. Tak ingin berdebat, Biru mengiyakannya dengan ragu.

********

Sesampainya di rumah sakit, Biru mengambil langkah besar menuju bagian penyakit dalam, tempat di mana Luna bekerja. Dia harus meminta penjelasan kenapa Luna bisa memakai pakaiannya tadi malam.

STILL IN LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang