EP. 23. Someone You Loved
********
Biru berjalan di lorong koridor rumah sakit, dia menyunggingkan senyum ramah pada beberapa pasien dan wali pasien yang menyapanya. Wajah tampan dan tubuhnya yang menjulang tinggi bak seorang model mampu membuat siapapun terpesona melihatnya.
Di usianya yang menginjak 27 tahun, dia sudah meraih gelar Professor ahli bedah saraf. Dia mendapatkan predikat guru besar itu di Sekolah Kedokteran Harvard tahun lalu. Usia yang tergolong muda, cukup jarang ada orang yang meraih gelar professor di usia muda, tapi Biru mampu membuktikannya.
Langkah kaki Biru berhenti di depan pintu kaca. Tangannya kemudian terulur mendorong handle pintu, untuk kemudian masuk ke dalam ruangan yang didesain dengan gaya modern itu. Name desk Direktur Utama dengan nama Rendi Harsa yang terletak di atas meja kerja akan menjadi pusat perhatian pertama bagi siapa saja yang masuk ke dalam ruangan itu.
"Apa mereka menerima tawaran Papa?" Tanya Biru to the point setelah berhasil mendudukkan dirinya di sofa ruang kerja atasan sekaligus ayahnya itu.
"Mereka menerimanya." Jawab Papa seraya ikut duduk di hadapan anaknya.
"Terus kapan mereka akan mulai bekerja di sini? Kita nggak bisa ngebiarin posisi itu kosong terlalu lama." Tutur Biru.
"Papa pastikan minggu depan mereka sudah bekerja." Jawab Papa yakin.
"Apa mereka bisa dipercaya? Mereka masih terlalu muda untuk posisi itu." Tanya Biru ragu.
"Papa nggak akan sembarangan milih orang, Bi. Mereka bahkan termasuk jajaran dokter terbaik di John Hopkins, dan tentu saja dengan kemampuan manajemen yang baik juga." Jelas Papa membanggakan orang yang telah dipilihnya. "Lagian kamu juga masih muda bisa, kok, sampai di posisi kamu sekarang." Sambungnya kemudian.
"Okay. Papa sendiri yang udah turun tangan untuk memberi penawaran sama mereka. Nggak seharusnya aku ragu." Ujar Biru seraya menyunggingkan senyum tipis. Benar, Papa tidak pernah sembarangan merekrut orang.
"Ohh, iya. Kosongkan jadwal kamu untuk hari Sabtu malam, kita akan malam sama keluarga Om Rendra, Jingga katanya udah datang. Kamu bisa lihat calon istri kamu." Pinta Papa dengan penuh penekanan, senyuman penuh arti ikut tersungging di kedua sudut bibirnya.
"Pa, aku udah bilang nggak setuju sama perjodohan ini." Protes Biru sambil menatap Papa dengan pandangan tak suka, raut wajahnya penuh penolakkan.
"Papa nggak butuh persetujuan kamu. Kamu hanya perlu menuruti apa kata Papa." Jawab Papa tegas, tidak ingin dibantah.
"Papa masih banyak pekerjaan. Silahkan kamu keluar dari ruangan ini." Usir Papa dengan nada dingin seraya beranjak dari duduknya untuk kemudian berjalan ke arah meja kerjanya.
"Aiish, shit." Biru meremas kepalanya dengan gusar.
"Pa. . . ." Biru memelas dengan tatapan penuh harap. Namun, ayahnya itu tidak melirik sama sekali. Beliau malah sibuk menekan interkom untuk memanggil seseorang.
"Giselle, tolong bawa berandal ini keluar dari ruangan saya." Perintah beliau tegas pada sekretarisnya, suaranya sengaja dinaikkan satu oktaf agar Biru bisa mendengarnya.
Sebelum sekretaris bernama Giselle itu masuk dan mengusirnya, Biru dengan cepat beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangan. Papa memperhatikan kepergian anaknya itu dengan senyum penuh kemenangan.
********
Siang itu, di rumah Jingga. Terlihat Bunda dan menantunya Senja sedang duduk bersantai di sofa ruang keluarga sembari mengasuh si kecil Abrielle, anak dari Bintang dan Senja. Anak laki-laki berusia empat tahun itu anteng duduk lesehan sambil bermain dengan lego minecraftnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILL IN LOVE [END]
Romance"Aku butuh bantuan kamu untuk ngembaliin ingatan aku." Ucap Biru tak berperasaan. Di usia yang hampir menginjak 25 tahun, Jingga dipaksa oleh orang tuanya bertunangan dengan seorang laki-laki tampan anak dari salah satu teman baiknya. Namun siapa sa...