Pelukan itu menjadi pelukan pertama bagi keduanya setelah mereka melewati masalah yang cukup berat. Mungkin benar Andin sudah memaafkan Aldebaran, namun keinginannya untuk kembali ke rumah belum sepenuhnya ada.
Sebenarnya Aldebaran juga cukup terkejut dengan keinginan sang istri, namun dirinya harus memahami semua itu. Ia tak ingin Andin kembali berubah pikiran.
***
Rintihan Andin sudah memenuhi seisi ruangan, pagi ini Andin terbangun lantaran merasakan kram yang begitu hebat pada perutnya. Dengan sekuat tenaga ia pun memanggil bi Sari. Dengan raut wajah yang penuh khawatir bi Sari langsung menghampiri Andin.
"Astaghfirullah non, non Andin kenapa? Kok pucet gini."
"Ssstt... Perutku sakit banget bi, nggak kayak biasanya."
"Ya udah sekarang kita langsung ke rumah sakit aja ya non."Bi Sari menuntun Andin dengan sangat hati-hati. Awalnya Andin menolak untuk menggunakan kursi roda, namun ia takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada kandungannya itu.
Selepas kepergian Andin, Aldebaran mencoba untuk menghampiri kamar itu. Beberapa kali ia sudah menekan bel, namun tidak ada balasan dari dalam sana.
Memang setelah memesan salah satu unit di apartemen yang sama dengan Andin, Al lebih sering untuk tinggal di tempat itu. Ia juga sudah memberitahukan mama dan adik perempuannya itu. Namun, Aldebaran tidak memberitahukan dimana ia berada.
"Permisi pak, kamar ini kosong ya?" tanya Aldebaran kepada petugas kebersihan yang sedang bertugas di area tersebut.
"Setau saya sih ini ada penghuninya pak, tapi memang sejak pagi masih sepi. Biasanya ada ibu-ibu yang setiap pagi udah keluar kamar buat belanja."
"Oh gitu ya pak, makasih ya."Perlahan Aldebaran pun meninggalkan kamar Andin. Dirinya berpikir kemana perginya sang istri itu. Ia kembali ke kamarnya dengan rasa penasarannya.
Disisi lain, Andin yang sudah diperiksa dokter kini sedang berada diruang VVIP nya bersama bi Sari.
"Bi..." panggil Andin lirih.
"Iya non? Kenapa? Non Andin mau apa? Biar bibi ambilin ya.""Enggak kok bi, aku cuma mau minta tolong sama bibi, jangan bilangan ke siapapun ya kalo aku ada disini."
"Em... iya non..."Sebenarnya bibi tidak tega melihat Andin harus berjuang sendiri dalam proses persalinannya ini. Namun ia juga harus menuruti keinginan Andin.
Dua jam berlalu dan Andin masih berjuang dengan kontraksi yang terkadang masih ia rasakan. Wanita itu benar-benar berjuang sendiri melawan rasa sakitnya.
"Non Andin, bibi izin ke kantin dulu ya."
"Oh iya bi, maaf ya daritadi bi Sari sampai belum sempet makan.""Sebentar ya non, nggak apa-apa kan bibi tinggal?"
"Nggak apa-apa bi."
"Kalo ada apa-apa langsung telpon bibi ya non."
"Iya bi."Bi Sari meninggalkan Andin sendiri. Sekitar lima belas menit berlalu, pintu ruangan Andin kembali terbuka.
Andin yang sedari tadi sedang berusaha memejamkan matanya itupun menyadari seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya.
"Udah selesai makannya bi?" tanyanya tanpa menengok ke sumber suara.
"Bi..." ucap Andin kembali sambil menengok.
Terlihat seorang dengan raut wajah yang cukup khawatir didepan Andin. Nafasnya berat, di matanya terlihat jelas air mata yang hampir menetes."Kok kamu bisa ada disini?" tanya Andin dengan ekspresi datarnya.
"Saya udah kehilangan banyak kesempatan buat bareng sama kamu, saya mohon jangan hilangkan kesempatan saya untuk temenin kamu kali ini.""Nggak perlu mas, aku bisa sendiri kok."
"Ndin, kasih saya kesempatan ya, saya mohon..." ucap pria itu.Saat hendak menyuruh Aldebaran untuk pergi, tiba-tiba Andin kembali merasakan nyeri pada perutnya. Melihat tingkah istrinya yang tiba-tiba berubah itu, Aldebaran kembali khawatir dengan keadaan sang istri. Dengan sigap pria itu langsung meraih tombol guna memanggil dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beside Me -Aldebaran & Andin-
General Fiction"Terlepas dari bagaimana cara kita bertemu. Senang bisa mengenalmu." - Aldebaran Galendra *** Aldebaran Galendra, seorang businessman yang memiliki wajah tampan dan namanya terkenal di kalangan pembisnis sukses lainnya. Sifatnya yang cuek, dingin...