Karena hari ini cukup panas, ia terus mengeluh kepanasan. Walaupun angin berhembus cukup kencang hingga membuat pepohonan di sekitar tebing itu menari, tetap saja teriknya matahari siang hari ini bisa membakar kulit putihnya dan membuat rambut panjangnya berbau matahari. Sesekali ia menyeka keringat sebelum jatuh dari kening. Setiap kali selesai menyeka kening, ia mengulurkan tangan kembali untuk memetik bunga mawar merah yang tumbuh di tepi tebing curam. Alisnya berkerut kala berusaha untuk meraih bunga yang sangat sulit untuk digapai.
Ia mundur selangkah saat merasa ingin menyerah. Ia berkacak pinggang. "Apakah ayah ingin membunuhku? Mengapa menanam bunga mawar di tepi tebing begini."
Benar. Entah apa maksud dari ayahnya yang menanam bunga di pinggir tebing curam. Setelah menanam bunga mawar merah ini, ayahnya menyuruhnya untuk merawat bunga mawar ini. Menyiram setiap hari dan setiap kali berbunga, maka ia harus memetiknya. Hm, ayahnya tampak seperti ingin membunuh nya.
Ia menatap bunga mawar yang paling jauh. Itulah targetnya saat ini. Jika ia tidak berhasil memetiknya, ini akan menjadi aib yang sangat memalukan. Ayahnya pasti malu memiliki anak yang lemah. Ia pun menghembuskan nafas panjang. "Aku pasti bisa."
Majulah ia selangkah lagi. Ia merasakan tanah yang ia pijak sedikit bergetar. Ketika ia maju setengah langkah, ia mendengar suara tanah yang longsor di bawah. Ia menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu di bawah kakinya, tanah sedang longsor sedikit demi sedikit. Tapi bagaimana ini? Jika ia mundur tiba-tiba, maka tanah akan longsor segera.
Keningnya berkeringat. Kali ini bukan karena panas matahari, melainkan ketakutan. Kembali ia rasakan tanah kembali bergetar, kali ini lebih terasa. Beberapa detik kemudian ia terperosok ke bawah. Ia berteriak keras, sekeras-kerasnya.
"Akh!"
Tapi tiba-tiba ia merasa ada telapak tangan besar yang menangkap pergelangan tangannya tepat waktu. Ia membuka mata, mendongak ke atas, kemudian mulutnya menganga.
Bagaikan waktu berhenti, ia merasa bisa memandangi sosok pria yang menyelamatkan nyawanya. Pria tampan dengan mata yang tertutup kain hitam, kening cantik dihiasi lukisan burung Phoenix berwarna merah, alis tebal sehingga ia merasa ingin tenggelam di sana, pahatan rahang tegas yang kini dialiri keringat, hidung mancung dengan bentuk sempurna, serta bibir atas yang tipis sedangkan yang bawah bergaris plum.
Ciptaan Tuhan yang paling indah. Oh, pangeran penyelamat.
Tapi kemudian ia tersadar dari lamunan saat pria itu menarik dirinya untuk naik ke atas. Dan oh my God! Tak hanya wajahnya saja yang rupawan, ternyata pria berpakaian serba hitam ini bisa menarik dirinya dengan mudah. Waw, pasti ototnya luar biasa.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya pria itu.
Saat pria itu mengeluarkan suara, jakunnya bergerak dan bergetar samar. Sungguh dalam dan memabukkan suaranya itu. Lagi-lagi ia terkagum-kagum.
Karena begitu terpesona, ia hanya sanggup mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Lain kali berpikirlah jernih. Anak kecil pun tahu dia bisa mati jika berdiri di tebing seperti ini," ucap pria itu dengan nada sarkastik.
Walaupun terdengar agak kasar, namun hal itu tidak cukup membuat hatinya kacau. Ia tetap mengagumi penyelamatnya.
"Mm, siapa namamu, Pria tampan?" tanyanya masih dengan tatapan penuh kagum.
"Aku masih banyak urusan. Permisi." Sepertinya pria itu tak ingin memberitahukan namanya.
Ah, pangeranku!
Dia melompat-lompat kesenangan tanpa peduli bahwa wajahnya sudah kotor oleh tanah karena terjatuh tadi.
Sedangkan di tempat lain, dedaunan kering tersapu oleh ujung gaun seorang wanita muda yang tengah melarikan diri dari kejaran beberapa orang pria berseragam dan bersenjata. Gadis itu lari pontang-panting hingga keranjang berisi dedaunan di tangannya jatuh sehingga isinya tumpah. Tanpa mempedulikan isi keranjangnya, gadis itu terus berlari tanpa lelah hingga akhirnya ia bersembunyi di semak-semak.
"Kemana larinya gadis itu?" tanya salah seorang dari pria yang mengejar gadis itu.
"Gawat, jika kita gagal menangkap gadis itu, mau ditaruh di mana wajah kita? Kita ber-enam, menangkap gadis liar itu saja tidak bisa," timpal yang lain.
Salah seorang dari mereka menghela nafas. "Mau bagaimana lagi? Dia memang sangat lincah, lebih baik kita kembali lagi."
Di balik semak belukar yang sangat rimbun, gadis tadi menghela nafas lega setelah mengetahui gerombolan pria itu sudah pergi meninggalkannya. Cepat-cepat ia keluar dari semak-semak kemudian membersihkan pakaiannya yang kotor oleh tanah dan dedaunan kering.
"Aku harus memberitahu ketua soal ini. Enak saja kawasan kekuasan kami dijajah seperti ini. Huh." Dengan setengah berlari gadis itu berlari semakin masuk ke dalam hutan. Ia akan bertemu dengan orang yang ia sebut sebagai 'ketua'.
* * * *
Di dalam goa besar yang terpencil namun bersih, duduk seorang gadis berjubah hitam di atas batu besar dengan tiga orang yang berdiri menunduk di depan gadis itu.
Paak!
"Apa!" Chandi memukul batu besar yang menjadi tempat duduknya sejak tadi.
"Benar, Ketua." Gadis berkepang dua itu mengangguk sambil menunduk. Sekarang ketua mereka sedang marah besar.
"Huaaaaa." Tiba-tiba Chandi menangis. Hal ini mengejutkan tiga anak buahnya yang sedang berkumpul di gua batu itu.
Dua pria muda langsung menghampiri dan memeriksa ketua mereka. Mereka berusaha menenangkan Chandi yang terkenal memiliki temperamen yang kurang baik.
"Tenang Ketua, kita pasti bisa menangkap perampok itu. Berani-beraninya mereka mencuri mawar hitam yang telah kita rawat dengan baik," ucap salah satu pemuda yang berada di sisi kanan yang bernama Zamon.
"Huaaaaaa ...." Chandi menangis semakin kencang.
"Cup cup cup, Ketua. Jangan menangs lagi. Masa hanya karena perampok itu Ketua menangis seperti ini. Ketua adalah orang yang tidak bisa disinggung oleh siapapun. Tidak ada satupun orang yang bisa membuat Ketua menangis," ucap pria yang berada di sisi sebelah kiri. Dia bernama Harlos.
Tuk!
Tiba-tiba Chandi mementung kepala Zamon dan Harlos yang berada di sampingnya satu-persatu. Setelah mementung, Chandi menunjukkan telapak tangannya yang memerah. "Kalian tidak lihat? Tanganku terasa panas dan perih karena memukul batu tadi terlalu kuat. Huaaa ...."
Wajah mereka langsung panik setelah melihat telapak tangan ketua mereka yang putih dan lembut seperti bunga teratai kini memerah dan bersuhu hangat. Mereka langsung memegang tangan Chandi dan melihatnya dari jarak dekat. Tak hanya itu, mereka bergantian meniup telapak tangan Chandi.
"Wah ini sangat parah, Ketua. Aliran darah Anda semuanya berkumpul di telapak tangan. Jika tidak segera diobati, semua darah akan berkumpul di sini dan menyebabkan jantung Anda tidak kebagian darah, lalu Anda bisa mati," ucap Harlos.
Chandi langsung melotot. "Kalian saja yang mati!" Dengan sekali dorong, dua pria yang menenangkan Chandi terjengkang ke belakang. "Huh! Memangnya mereka pikir mereka siapa."
Chandi menuruni batu dengan gaya yang paling angkuh. "Kita adalah pemilik wilayah ini. Datang tanpa izin, apalagi mengambil sesuatu tanpa izin, maka mereka telah bersiap untuk mati." Kemudian Chandi menyeringai. "Kita susun rencana malam ini, besok kita beri mereka pelajaran. Berani-beraninya mereka mencuri mawar hitam kita dan membuat kaki Ryuni lecet seperti ini."
Tiga orang yang merupakan anak buah Chandi itu menghampiri dari belakang. Masing-masing dari mereka tersenyum dengan wajah penasaran. "Rencana apa, Ketua?"
Chandi tertawa terbahak-bahak. "Hahahahahahahahahahahahahaha ... Hahahahahahahahahahahahahahahah uhukh! Uhukh! Uhukh!"
Tiga anak buah itu langsung menghampiri ketua mereka dan mengusap punggung ketua mereka agar meringankan batuknya. "Tenang, Ketua. Mari kita duduk dan minum dulu."
Penasaran gak nih sama apa yang bakal dilakuin ketua kelompok itu? Jangan ditinggal dulu, baca minimal 5 episode, maka kalian akan ketagihan. Yuhuuu tunggu episode selanjutnya dan sampai jumpa lagi dengan author yang paling cantik sedunia tiada tandingannya. Bye-bye.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amora Gadungan Dan Pawangnya
Romance(Bukan reinkarnasi, time travel, ataupun beda dimensi, tapi dijamin seru. Jangan cuma baca episode 1, lanjut baca sampai 10 episode. Klau tidak seru, saya relakan Anda pergi) 'Amora Gadungan' itulah julukan yang diberikan Pangeran Xiendra pada seora...