163. MASA LALU INDAH

109 4 0
                                    

Kali ini Emily dan juga Liam telah sampai di sebuah tempat yang bahkan menurut Emily sangatlah indah, hanya saja hari ini tak terlalu banyak pengunjung yang datang ke tempat itu.

"Apakah kita sudah sampai? Atau ingin beristirahat sejenak di sini?" tanya Emily kemudian dan terlihat Liam yang menatapnya dengan senyuman yang begitu semringah sekali.

"Kita sudah sampai, sayang. Untung saja tak terlalu ramai. Tapi, cukup panas jika kita berjalan terus-terusan di sana. Apakah kau tak keberatan jika kita duduk di dekat pohon itu? Aku juga telah membawa beberapa perlengkapan untuk kita berdua," tanya Liam sejenak dan tentu saja Emily mengangguk.

Liam tersenyum senang. Seketika itu juga mereka pun bangkit dari dalam sana dan bergegas menelusuri jalanan yang tengah di beri tahu oleh Liam. Rupanya jalan menuju ke dalam taman itu sangat diketahui dengan betul oleh Liam.

Sebenarnya Emily mengetahui dan tak merasa asing dengan taman yang satu ini. Hanya saja ia jarang sekali mengunjunginya. Bahkan, bisa di hitung dengan menggunakan jari kalau di ingat-ingat secara detailnya lagi.

Sesampainya di tempat yang telah di tentukan oleh Liam, terlihat pria itu yang tengah mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang memang telah ia bawa sejak mereka hendak pergi ke tempat tujuan ini. Beberapa di antaranya adalah sebuah alas untuk duduk, makanan, dan juga minuman yang memang di khususkan untuk Emily. Liam bahkan benar-benar telaten sekali saat menyiapkan semuanya mengenai Emily dan juga calon anak mereka itu.

"Wow, aku bahkan tak menyangka jika kau rupanya telah menyiapkan semua ini untuk kita berdua," ujar Emily dan ia pun memilih untuk duduk di sisi kanan Liam kali ini.

"Bukan aku, asisten rumah tangga kita yang menyiapkan semuanya. Hanya saja aku yang meminta semua ini disiapkan setelah sarapan kita usai," jawab Liam kemudian. Ia tak peduli, pada intinya Liam memang benar-benar telaten dalam menyiapkan sesuatu hal, apa pun itu.

Emily cukup penasaran terkait dengan lokasi tujuan mereka pagi hari ini. Ia pun menatap ke arah pria itu yang rupanya sejak tadi memang terlihat begitu semringah sekali, apa lagi ketika mereka berdua telah sampai di tempat tujuan tersebut.

"Liam, kenapa kau memilih tempat ini sebagai tujuan kita di pagi hari?" tanya Emily tanpa berbasa basi lagi. Terlihat Liam yang saat ini tengah menatapnya dengan perasaan yang terlihat berbeda.

"Apakah kau tak menyukainya? Jika iya, kita bisa pindah saja sekarang," jawab Liam namun Emily menggeleng. Bukan itu yang ia maksudkan tentu saja.

"Tidak, bukan seperti itu maksudku. Aku hanya ingin bertanya saja. Kau bahkan terlihat begitu senang sekali saat kita sampai di tempat tujuan ini," gumam Emily kemudian dan tentu saja Liam tersenyum saat mendengarnya.

Liam lantas tersenyum kembali saat mendengar hal tersebut, "Kau bisa merasakannya juga rupanya. Jadi, ada beberapa momen yang membuatku merasa begitu senang sekali saat mengunjungi taman ini, lebih tepatnya berkaitan dengan masa kecilku. Mungkin tak seberapa bagi semua orang, hanya saja aku tak akan melupakan momen ini sampai kapan pun."

"Sungguh? Apa itu? Bahkan semua momen masa kecil begitu berarti bagi seorang anak," jawab Emily kemudian.

Liam lantas terlihat menatap kembali ke arah depannya saat ini dan menghela napas panjang sebelum ia mulai untuk menceritakan semuanya kepada Emily. Mungkin hanya sepenggal saja.

***

Liam terlihat mengatur semua mainannya untuk pagi ini. Keberangkatan Ayahnya menuju je New York akan tiba sebentar lagi. Rupanya ia benar-benar tak sabar sekali untuk melakukan perjalanan yang akan memakan waktu kurang lebih satu jam lamanya itu.

"Ayah, Ayah," panggil Liam kemudian dan tentu saja Jeremy menatapnya dengan pandangan yang begitu semringah sekali.

"Ada apa, jagoan Ayah? Apakah kau sudah siap dengan semua mainanmu itu?" tanya Jeremy saat ini dan tentu saja Liam mengangguk semangat saat mendengarnya.

"Aku bahkan telah membawa pesawat terbangku juga," jawab Liam kemudian dan terlihat Jeremy yang menyahutinya sambil mengambil ponselnya itu yang berada di dalam saku celananya. Tentu saja ia terlihat begitu sibuk pagi ini.

"Sayang, ayo. Kita harus sarapan terlebih dahulu jika kau ingin ikut hari ini," ujar Lucy kemudian namun Liam menggeleng.

"Tidak mau. Aku tidak lapar, Ibu," jawab seorang bocah laki-laki berusia 5 tahun itu dan tentu saja Jeremy yang mendengarnya lantas menutup panggilan itu sejenak, kebetulan mereka telah menyelesaikan panggilan pagi ini.

"Tak masalah, biarkan Liam menyantap sarapannya di taman itu. Aku akan mengadakan meeting di perusahaan seperti biasanya," tukas Jeremy kemudian dan tentu saja mau tak mau Lucy menuruti perkataan suaminya itu. Liam pun juga terlihat sangat senang sekali. Jujur saja, ia sangat membenci sarapan itu.

"Asyik, kita akan pergi jalan-jalan," ujar Liam seketika. Tentu saja bocah laki-laki itu masih belun mengetahui tujuan orang tuanya pergi ke New York pagi ini. Namun untungnya Jeremy begitu sabar sekali dengan sifat anak semata wayangnya ini.

Setelah menyiapkan semuanya, mereka pun berangkat dengan di antar oleh Nick, seorang supir pribadi keluarga mereka tentu saja. Bahkan kedekatan Liam dengannya sudah tak bisa di katakan lagi. Ia menganggap Nick sebagai pamannya. Bahkan usia Nick masih menginjak 21 tahun untuk saat ini.

"Apakah taman itu akan bisa membuat pesawat terbangku menjadi luar biasa, Ayah?" tanya Liam seketika saat mereka hampir saja tiba di tempat tujuan.

Sambil membaca beberapa berkas yang ia pegang saat ini, Jeremy nampak tersenyum ke arah Liam dan mrmgangguk, "Tentu saja. Taman itu adalah satu-satunya tempat yang sangat luar biasa untuk pesawat terbangmu. Kau bisa pergi ke sana jika Ayah sedang sibuk, Nick atau Ibu akan menemanimu."

Liam terlihat berbinar, rupanya ia membayangkan apa yang telah di katakan oleh Ayahnya itu saat ini, "Wow, hebat sekali kekuatan taman itu sampai bisa membuat pesawatku menjadi luar biasa."

"Tentu saja, luar biasa seperti Ayahmu ini," tukas Jeremy kemudian dan tentu saja Liam begitu mengidolakan Ayahnya ini.

Ia bekerja, bermain dengan Liam, bahkan mengantarkan Liam untuk pergi berjalan-jalan sekali pun. Beberapa hal juga membuat Liam begitu takjub adalah ketika Jeremy mulai menceritakan banyak hal tentang super hero kepada Liam dan membuat anak semata wayangnya itu benar-benar mengidolakan Ayahnya sendiri.

"Aku benar-benar mengidolakan Ayah, kau sangat hebat," gumam Liam seketika yang kembali berbinar dan tentu saja Jeremy yang mendengarnya lantas tersenyum. Ia mengusap kepala Liam dengan perlahan dan setelah itu kembali dengan berkas-berkas yang harus ia tanda tangani di pagi hari ini.

***

"Setelah semua kejadian yang membuat keluarga kecil kami hancur berkeping-keping, aku bahkan sama sekali tak mengidolakan Ayahku kembali. Aku memilih untuk tak mengingat semua hal yang sudah ia lakukan untukku semasa hidupnya. Jahat sekali memang, hanya saja aku sudah terlanjur sakit hati saat itu. Apa lagi, Ayah sempat menampar Ibu ketika mereka tengah beradu argumen di hari itu. Sial, kenapa aku bisa mengidolakan pria sepertinya?" gumam Liam seketika setelah ia benar-benar menyelesaikan cerita di masa kecilnya itu. Tentu saja Emily benar-benar terkejut. Namun, ia tahu persis apa yang telah dirasakan oleh Liam sampai detik ini.

Tanpa aba-aba dari siapa pun, Emily pun memeluk pria itu dan membuat Liam menerimanya. Emily bisa merasakan apa saja yang saat ini ada di pikiran pria tersebut, "Kau tak boleh seperti itu, pada intinya beliau adalah Ayahmu dan tetap akan menjadi Ayahmu sampai kapan pun. Ia juga telah memberikan banyak kenangan manis kepadamu, bukan? Salah satunya adalah tempat ini. Begitu luar biasa sampai mampu membuat pesawat terbangmu itu ikut menjadi luar biasa juga. Kau bahkan nampak senang sekali saat mengunjungi taman ini."

Liam merasa jika ia bersalah. Namun tak ada kata-kata lain yang bisa ia ucapkan untuk saat ini, "Terima kasih."

"Aku yang seharusnya berterima kasih," ujar Emily kemudian.

***

Beautiful SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang