🌼Chapter 32🌼

465 12 0
                                    

🌷"Kehidupan adalah seperti roda yang berputar. Kadang-kadang kita berada di puncak, tapi pada akhirnya kita juga akan jatuh."🌷

  Sehabis berbincang dengan Bi Lusi, Yina pergi ke dapur untuk mengambil air putih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  Sehabis berbincang dengan Bi Lusi, Yina pergi ke dapur untuk mengambil air putih. Tiba-tiba saja Gino menarik pergelangan tangannya saat ingin mengambil cangkir. Spontan saja Yina terkejut dibuatnya, Gino celinguk ke sekeliling ruangan, mengamati keadaan kalau hanya ada ia dan Yina saja disitu. Sudah dipastikan tak ada orang lain, Gino menutup pintu ruangan dapur sebentar,  lalu menyeret Yina ke pojok, supaya mewanti-wanti barang kali saja ada yang ingin menguping pembicaraannya di depan pintu tersebut. 

  Yina hanya diam dengan raut wajah yang menggambarkan keheranan, sesudah merasa aman, Gino menatap Yina begitu intens dan sorotan yang tajam. Yina tak bisa balik menatap mata dari cowok itu, kini tiap melihatnya ia terus mengingat adegan ranjang bersama Gino. Sampai kapanpun bagi Yina, ia tidak bisa memaafkan Gino yang seenak jidat menyetubuhinya dan malah menyalahkan dirinya tanpa intropeksi diri. Semisal minta maaf saja pun juga tidak bisa mengembalikan keperawanannya, Yina merasa seperti perempuan murahan. 

  "Lo hamil, tapi kenapa nuduh gue sebagai biang keroknya? Lo mau bales dendam sama gue dengan mencoreng nama baik gue di hadapan Bi Lusi, keterlaluan banget ya lo. Tidak ada kata terimakasihnya karena sudah diberi tempat untuk berteduh dan kuliah, tapi lo malah melibatkan gue dalam kehamilan lo yang diluar nikah itu." Gino geleng-geleng kepala, tak bisa mentoleransi masalah besar yang melibatkan dirinya. 

  Apa yang dikatakan Gino barusan sukses membuat dada Yina sesak, ia tidak menyangka bahwa Gino berkata demikian, seolah-olah ia adalah orang yang paling tersakiti. Tentu saja Yina tidak akan tinggal diam saja ketika harga dirinya direndahkan seperti itu. Padahal kenyataannya dialah yang paling rugi disini.

  "Darimana kamu tau itu?"

  Gino terkekeh pelan sebentar. "Lo nggak perlu tau gue dapat info darimana, tapi yang pasti lo nggak ada urat malunya ya menuduh gue sembarangan." 

  "Kamu memang benar-benar keterlaluan Gino, kamu malah menyalahkanku, kamu yang salah! Aku hamil itu gara-gara kamu, tidak ada laki-laki lain yang menyetubuhiku selain kamu Gino, kenapa kamu terus merasa menjadi seseorang yang paling disakiti disini? Apa kamu tidak bisa lihat kesalahan diri sendiri?" 

  "Nggak, lo itu mengada-ada, anak itu bukan anak gue!" sangkalnya mentah-mentahan. Ia tetap berserikeras bahwa anak yang tengah dikandung Yina itu bukan darah dagingnya. 

  "Tapi ini anak kamu Gino, buat apa aku bohong, kamu harus bertanggung jawab apa yang sudah kamu lakukan terhadapku. Aku benar-benar bersumpah kalau ini anak kamu!" Kedua mata Yina nampak berkaca-kaca menahan tangis, sambil menunjuk ke arah perutnya. 

  "Ah sialan, kalau misal pun itu benar-benar anak gue, gugurkan kandungannya sekarang!" bentaknya tak main-main. Yina lekas menggelengkan kepala tanda tidak setuju, hatinya sebagai calon seorang ibu luluh seketika tatkala anak yang tidak bersalah ingin dihilangkan nyawanya karena keegoisan belaka. 

  "Tidak! Aku akan tetap mempertahankan kandungan ini sampai dia lahir." kekeuhnya pada pendirian. Ia harus bersikap tegas kali ini tanpa harus diam saja sambil menangis seperti dulu. 

  Gino yang terbakar emosi mencengkram pergelangan Yina, membuat gadis itu merasa kesakitan. Dan berusaha melepaskan dari cengkraman cowok tersebut, namun kekuatannya jauh lebih besar ketimbang dirinya. Tercetak jelas Gino melotot tajam, deru nafasnya pun menjadi terdengar jelas dengan dada yang kembang-kempis. Cukup jelas menandakan bahwa dirinya sudah terpancing amarah. 

  "Gue bilang gugurkan kandungan itu, gue nggak mau hidup gue hancur hanya karena itu. Apa susahnya hah menggugurkannya? Apa perlu gue bantuin?!" murkanya. 

  Yina menatap Gino dengan tatapan yang tak biasanya. "Kamu bilang hidupmu hancur? Apa kamu pikir hidupku tidak hancur hah?! Aku menyesal harus bertemu denganmu di dunia ini dan aku menyesal pernah mempunyai rasa kepadamu, ini mimpi burukku harus bertemu denganmu!"

  "Jangan terlalu keras sialan, kalau ada yang datang gimana?!" Gino mengatup mulut Yina paksa, Yina sekuat mungkin melepaskan diri. Beberapa kali ia bisa lolos, tapi Gino tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Cowok itu menyergap tubuh gadis itu supaya tidak bisa melakukan perlawanan, Yina sudah menjerit histeris karena tubuhnya terasa sangat sakit jadinya. 

  Ketidakberuntungan bagi Yina saat ini, karena hanya ada mereka berdua di rumah ini. Sedangkan Bi Lusi masih berada di supermarket terdekat untuk membeli detergen pakaian yang habis dan lainnya. Sementara Sofie lagi shooping bersama Debbi ke mall dan belum pulang juga, kalau pun mereka sudah pulang, tidak mungkin membela Yina ataupun bersimpati kepadanya tapi malah sebaliknya. Mereka selalu memperlakukan Yina layaknya seorang budak.

  "Lepasin!"

  "Gue tidak akan lepasin kalau lo tidak mau menggugurkan anak itu!" 

  Tidak ada cara lain, Yina menggigit tangan Gino sehingga mengakibatkan cowok itu langsung melepaskan sergapannya secara refleks. Tak mau kehilangan kesempatan, Yina secepat mungkin kabur dari situ lewat pintu belakang. Gino mendesis marah, ia mengejar Yina sebelum kehilangan jejak. Gadis itu berlari secepat yang ia bisa, sesekali ia melirik ke belakang, dimana Gino masih mengejarnya. Dan makin lama semakin dekat dengan dirinya, Yina menangis di sepanjang jalan sambil berteriak minta tolong. Namun sayangnya tempat yang ia lalui itu terbilang sunyi, bahkan sekarang pun tidak ada orang yang lewat. Baik samping kiri atau kanannya, rata-rata ditumbuhi oleh pepohonan dan semak-semak. 

  "YINA BERHENTI GUE BILANG!" teriak Gino lantang, yang tidak ditanggapi oleh Yina. Gadis itu tetap berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. 

'Pluk!

  "Argh!"

  Tanpa sadar, ada seseorang yang melempar batu berukuran sedang ke arah Gino, dan berhasil mengenai dahinya. Dalam hitungan detik dahinya keluar darah segar, sontak saja Gino memberhentikan lariannya dengan mata yang tertutup, karena darah itu mengalir ke area matanya. Suara jeritan itu membuat Yina menoleh ke belakang, dimana ia melihat Gino yang wajahnya dilumuri darah. Tentu saja hal itu membuat Yina menghentikan langkahnya dan ingin menuju Gino, namun itu tidak terjadi karena seseorang yang telah melempar batu itu menarik pergelangan tangan Yina dan membawanya menjauh. Meninggalkan Gino yang matanya terbuka sedikit, dan ia kehilangan jejak Yina. 

  "Bangsat, siapa yang berani-beraninya melempar batu ini?!"

  "Bangsat, siapa yang berani-beraninya melempar batu ini?!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Not Dream [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang