🌼Chapter 2🌼

919 30 5
                                    

🌷"Terkadang, orang yang berusaha membuat semua orang bahagia adalah orang yang paling membutuhkan sandaran."🌷

Warning : Di part ini ada perilaku yang tidak pantas dilakukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Warning : Di part ini ada perilaku yang tidak pantas dilakukan. Harap jangan ditiru, terimakasih.

***

'Cklek!

'Plak!

  "Aduh, aduh, sakit Bu ...!"

  Baru saja Gino memasuki ruang kelasnya. Bu Iis, selaku dosen di Universitas Jaya Abadi itu tidak segan-segan memukul punggung tangan mahasiswanya menggunakan penggaris besi. Otomatis, sang korban langsung mengibaskan tangan kanannya yang terasa berdenyut.

  "Kejam amat, Bu," gerutunya, sambil sesekali meniup punggung tangan. Melirik dosennya yang melayangkan tatapan elang. Siapa lagi kalau bukan untuk dirinya seorang. Para teman-temannya terlihat jelas lagi menahan tawa.

  "Kamu itu ya suka banget datang terlambat, sudah capek saya negurnya!" Bu Iis menjewer kuat kuping Gino, membuat sang empunya telinga tertarik.

  "Auw ... auw Bu, perih ini Bu!" rintihnya, sembari menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut di telinga. Bukannya melonggarkan jeweran, malahan Bu Iis makin kuat menjewer.

  "Sebagai hukumannya, sekarang juga keliling lapangan 50 putaran!" perintah Bu Iis tegas, dengan mata melotot. Lalu dilepaskannya jeweran tadi.

  "Sibigiy hikiminnyi, sikiring jigi kililing lipingin limi pilih pitirin!" celoteh Gino tanpa ada rasa takut dengan Bu dosennya. Tanpa melirik ke arah dosennya sama sekali, ia fokus mengusap-usap telinga, yang terbebas dari jeratan maut.

  Semua yang ada di ruang tersebut ingin sekali tertawa terbahak-bahak, tapi tidak mungkin juga mereka tertawa kini. Bu Iis matanya kian melotot tajam ke arah anak PA-nya sendiri. Sedangkan yang ditatap menyengir kuda seraya menggaruk tengkuknya. Seolah ini biasa saja.

  "Ngeri beut dah Bu matanya."

  Lagi-lagi mereka yang ada di ruangan tersebut dibuat hampir tertawa lepas, sampai-sampai ada yang bersusah payah menahan tawa, dengan cara menutup mulutnya pakai tangan, dimana tangannya kini penuh akan air liur. Semakin ingin ketawanya mereka, semakin senang pula Gino karena dirinya bisa melawak.

  "KAMU!" Bu Iis bersiap-siap ingin memukul lengan Gino menggunakan barang pusakanya atau penggaris besi tadi.

'Plak!

  Dengan cepat dan lincah, Gino dapat menghindar. Sehingga penggaris tersebut malah mengenai meja.

  "Hehehe nggak kena."

  Kali ini gelak tawa tak bisa ditutupi lagi, mereka semua tertawa pada akhirnya, terkecuali Bu Iis seorang. Tawa mereka menggema-gema di ruangan putih tertutup tersebut. Mereka saling bersorak mendukung satu sama lain. Layaknya lagi menonton bola. Bahkan ada yang lebih memilih makan snack di kursi belakang secara diam-diam. Ada juga lagi tiduran, dimana kepalanya diletakkan ke atas meja dengan pergelangan tangan sebagai alasnya. Lebih parahnya lagi ada saja yang duduk di bawah meja, paling belakang tengah mengisap vave, siapa lagi kalau bukan Aldo Fredy Zulfikar yang merupakan salah satu sahabat Gino.

  "Semangat bro," ucap Aldo menyemangati, dengan nada suara sangat pelan. Nyaris tak terdengar. Ia hanya bisa melihat kaki sahabatnya dan juga dosennya dari bawah. Temannya yang duduk sebangku dengannya hanya bisa geleng-geleng kepala kecil.

  "Dasar anak kurang ajar kamu ya, sini kamu. Mau diganti dosen PA-nya jadi Pak Muzin hah?!"

  "Enggak Bu, maaf!" Gino langsung berlari secepat kilat, secara sadar Bu Iis mengejarnya sampai mereka berdua saling berkejaran di lapangan. Layaknya lagi bermain sinetron india-indian.

  "Sungguh romantis," gumam Marchel Arafi Stephan yang juga salah satu sahabat dari Gino. Yang mana dirinya lagi memperhatikan sahabatnya sama dosennya lagi kejar-kejaran lewat kaca jendela kelas.

***

  "Bapak gimana kabarnya?"

  "Ah, Yina kamu tenang saja Bapak baik kok,"  jawab sang ayah dari sebrang sana. Dimana posisinya kini lagi duduk di kursi roda, karena tidak mampu lagi untuk berdiri. Disampingnya duduk, ada satu orang tetangganya tengah duduk di kursi plastik, menyimak pembicaraan anak dan orang tuanya dengan senyuman kecil yang menghiasi bibir.

  "Bapak tenang saja ya, aku janji akan nyari uang sebanyak mungkin untuk biaya pengobatan bapak."

  "Maafin bapak Nak, seharusnya kamu itu harus menjalani kuliahmu. Tapi, karena bapak, impianmu untuk kuliah harus pupus, uhuk ...!"

  "Kenapa bapak ngomong gitu? Aku sama sekali tidak sampai berfikiran sampai ke situ. Lagipula, kuliah itu bisa di susul."

  "Bapak cuma mau bilang sama kamu, jaga kesehatan di sana ya. Jangan terlalu lelah, itu tidak baik," peringat sang ayah dari sebrang.

  "Baik Pak. Bapak juga ya, jaga diri baik-baik disana. Kalau ada apa-apa bapak langsung telpon aku."

  "Iya Nak. Bapak matiin dulu ya, Assalamualaikum."

  "Walaikumsalam."

'Tuut!

  Sambungan suara sudah putus. Memang, ayah Yina tidak tinggal bersama. Sebab, Yina pergi ke jakarta untuk bekerja demi pengobatan sang ayah yang menderita penyakit leukimia. Di sana Benny Arsandy selaku ayah kandung Yina di rawat oleh tetangganya yang sangat baik. Sebut saja mbak Sumi. Sengaja, Yina tidak membawa sang ayah ke Jakarta. Karena tidak ada yang menjaga Benny di saat dirinya lagi bekerja.

  Kalau ditanya soal tempat tinggal asli Yina, yaitu di perkampungan yang terbilang jauh dari perkotaan. Ia pergi ke jakarta dan mengkost. Namun, karena hanya memiliki ijasah SMP. Maka ia sering tidak diterima untuk bekerja. Memang, Yina putus sekolah waktu sekolah SMA kelas 2 karena faktor biaya.

  Tentang ibunya sudah meninggal di saat dirinya kelas 2 SD. Sebab dulu ibunya bekerja di salah satu toko roti. Tetapi toko tersebut kebakaran dan ibunya saat itu terkunci di dalam gudang. Alhasil ibunya jadi ikut terbakar di dalam toko tersebut.

  "Ya, ampun aku lupa!" pekik Yina. Ia berlari ke luar dan mengambil beberapa lembar koran yang masih utuh di atas meja kayu di depan rumah.

  Sebelum pergi. Terlebih dulu ia mengunci pintu rumah. Lalu, berlari tergopoh-gopoh tanpa memakai alas kaki.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Not Dream [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang