🌷"Kadang-kadang kehidupan terasa begitu berat, dan dalam kegelapan itulah kita belajar untuk menghargai cahaya."🌷
Dua bulan kemudian ...
Selama itu pula Yina di maki, di siksa oleh Gino, Debbi maupun Sofie. Sedangkan Yoga lagi bepergian ke luar negri, karena suatu urusan pekerjaan. Itulah kesempatan mereka untuk menyiksa Yina tanpa ampun, tapi yang mengherankan bagi mereka karena Yina masih saja bisa bertahan di rumah itu dengan dikelilingi kumpulan orang-orang yang tak punya hati.
Kini Yina sedang berada di kamar mandi, akhir-akhir ini ia merasakan mual dan juga pusing, terlebih lagi ia juga telat datang bulan. Maka dari itu, dirinya berinisiatif membeli testpack dan memakainya. Berharap agar kecurigaannya tidak terjadi.
"Semoga saja tidak, semoga!" Yina berjalan mondar-mandir sambil memegang testpack tersebut sehabis keluar dari kamar mandi. Jantungnya berpacu lebih cepat, takut jika dirinya benar-benar hamil karena gejala yang dialaminya itu persis seperti orang yang lagi hamil. Mengingat juga ia pernah melakukan hubungan intim dengan seseorang yang beda jenis dengannya.
Garis yang awalnya satu itu bertambah lagi, yang artinya ia positif hamil. Saking kagetnya, testpack tersebut langsung dilempar kasar ke atas kasur. Sungguh, ini bencana baginya. Jantungnya seakan meloncat dari tempat kediamannya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, cairan bening meluruh begitu saja. Betapa kotor dan hina dirinya.
"Nggak, nggak mungkin!" Yina menggeleng-gelengkan kepala, tak percaya dengan kenyataan. Beberapa kali memukul-mukul dadanya, tak terima dengan keadaan. Hatinya bagaikan teriris sejuta pisau.
'Cklek!
Pintu kamar terbuka lebar, di mana Bi Lusi membawakan obat pereda mual untuk Yina, dibelinya di apotek tadi. Secepat kilat Yina mengambil testpack tadi, lalu menyembunyikannya di belakang badan. Cucuran keringat mengucur pelipisnya.
"Yina, kamu minum dulu ya obatnya, biar mualnya kurang." Bi Lusi meletakan nampan itu di atas meja kecil, sembari melemparkan senyum simpul.
"I-iya, ntar aku mi-num kok." ucapnya terbata-bata. Seluruh telapak tangannya benar-benar mendingin total. Bi Lusi yang menyadari gelagat tak biasa itu membuat dahinya mengernyit.
"Kamu kenapa Yina? Muka kamu pucat banget lho, kamu demam atau pusing?" tanyanya khawatir.
"Ng-nggak kok, aku sehat aja hehe." Tawa paksa barusan bukannya berhasil menjadikan Bi Lusi mempercayainya. Namun, malah sebaliknya.
Bi Lusi mendekati Yina, dan menepuk bahu gadis itu pelan dengan tatapan intens. "Kamu itu nggak pandai bohong. Jujur saja ke bibi, ada apa Yina?" tanyanya lagi, seraya curi-curi pandang ke belakang tubuh Yina. Ia curiga, bahwa ada sesuatu yang tengah disembunyikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Fiksi RemajaStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...