🌷"Kebahagiaan adalah ketika pikiran, hati, dan tindakanmu selaras. Saat itu terjadi, kamu akan merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang tiada tara." 🌷
Pada keesokan harinya, di kediaman Gino, laki-laki itu sedang bersiap-siap ingin berangkat kerja. Ia juga menenteng tas kantornya, sebentar dirinya bercermin di kaca panjang yang menampakkan keseluruhan tubuhnya. Debbi masuk ke dalam kamar setelah habis dari dapur, dimana tangannya sedang memegang teh hangat, terlihat asapnya mengepul di atas.
"Kamu mau berangkat kerja? Emang sudah merasa baikan?" tanya Debbi sekaligus, terus menaruh cangkir tersebut ke atas meja dekat lampu tidur.
"Iya," jawabnya singkat. Debbi mendatangi suaminya sembari bersedikap dada.
"Aku mau nanya sama kamu ini serius, kenapa waktu itu kamu kaget banget saat ku kasih tahu nama anaknya Yina itu Victor, memangnya dia itu siapanya kamu?" selidiknya, terus memandang Gino tanpa tersenyum sedikitpun.
Gino langsung terhenti ketika memperbaiki dasinya, ia menoleh ke samping dimana istrinta tengah menunggu-nunggu jawabannya darinya. Tetapi Gino tak bisa menjawabnya langsung, ia membuang pandang ke sembarang tempat, kemudian menghela nafas panjang. "Bukan siapa-siapa, ya aku shock aja baru tahu kalau Yina sudah nikah, kupikir tidak ada yang mau sama dia." ucapnya berbohong, padahal kenyatannya bukan seperti itu.
Kedua alis Debbi saling bertaut heran, ia rupanya tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sang suami barusan. Debbi makin mendekati Gino, sehingga jarak di antara mereka sangatlah dekat. Kedua pasangan pasutri itu saling bertukar pandang, dan bahkan hembusan nafas dapat mengenai pipi mereka masing-masing. "Apa benar yang kamu ucapkan itu? Gini lho, tidak mungkin kamu bereaksi sangat terkejut seperti itu, sampai kamu harus dilarikan ke rumah sakit Gino, cepat kasih tahu yang sejujurnya, atau aku yang mencari tahu kebenarannya." ancamnya.
Gino memalingkan muka, ia melihat jam di pergelangan tangan kirinya. "Nanti saja kita bahas masalah ini, aku sudah terlambat." Sehabis berkata demikian, ia berlalu pergi, mengabaikan panggilan Debbi yang meneriaki namanya. Wanita itu menghentakkan kakinya kesal.
"Oke, kalau itu maumu, maka aku sendiri yang akan turun tangan!"
***
Di Sekolah Dasar, tepatnya di kelas III A, guru Rina menggantikan guru wali kelas dari kelas III A untuk mengajar, dikarenakan guru perempuan itu sedang sakit. Para anak-anak di kelas tersebut nampak tenang memperhatikan guru di depan yang sedang menulis sesuatu di papan tulis. Selepas menulisnya di benda panjang itu, Bu Rina memutar badannya ke depan sembari mengembangkan senyum cerah.
"Baik anak-anak, dikarenakan besok adalah hari ayah, seperti biasa kita akan mengadakan acara dengan mengundang orang tua kalian ke sini. Nanti sehabis mau pulang tunggu dulu di kelas, ibu akan bagikan undangannya dan nanti kasih ke orang tua kalian ya. Untuk hari ini kalian ibu pinta untuk menggambar diri kalian sendiri bareng ayah, kalau bisa diwarnai ya biar lebih berwarna, kalau nggak ada warnaan nggak papa kok." jelasnya menerangkan.
Anak-anak tersebut pada bersorak girang karena besok adalah acara yang mereka tunggu-tunggu, sebab di sekolah mereka memang rutin mengadakan perayaan seperti hari pahlawan, hari ibu, hari ayah dan hari istimewa lainnya, namun saat perayaan hari ibu Debbi maupun Yina tidak pernah saling bertemu, dikarenakan juga Debbi terbilang tidak terlalu sering datang ke sekolah Davin, sebab dirinya harus bekerja sebagai seorang designer pakaian, banyak perusahaan besar yang memesan pakaian di dirinya. Oleh karena itu ia disibukkan oleh pekerjaanya, kemarin saja kalau bukan masalah yang menimpa anaknya ia tidak akan bertemu dengan Yina.
Dan biasanya tiap mengadakan acara di hari yang spesial bakalan dibuat seseru mungkin, sehingga murid-murid jadi pada suka. Di antara anak-anak yang pada senang tiap hari ayah tiba, terlihat Victor yang duduk di pojok hanya diam membisu. Davin yang tempat duduknya berada di depan Victor menoleh ke belakang dengan menunjukkan senyum sungging.
"Huuuu...kasian nggak punya ayah, pasti besok datengnya sama om lagi 'kan? Kasian ayahnya udah di tanah." ejeknya, seraya menjulurkan lidah.
Victor hanya memandang Davin tanpa ekspresi, Davin pun memalingkan wajahnya ke depan lagi, kali ini anak itu tertawa meremehkan. Kedua tangan Victor mengepal kuat, ia bangkit dari duduknya, tanpa basa-basi ia memukul Davin sampai terjatuh ke lantai. Hal itu membuat Bu Rina kaget bersama dengan yang lainnya juga, guru itu segera menghampiri Davin yang kesakitan, dan membantunya untuk berdiri. Sedangkan Victor sama sekali tidak merasa bersalah, baginya Davin memang pantas mendapatkan pukulan itu.
Bu Rina pun menatap Victor meminta penjelasan. "Kamu Victor 'kan?" tanyanya, memang, Bu Rina adalah guru baru, jadi ia belum terlalu hapal dengan nama-nama murid di kelas tersebut. Victor menganggukan kepalanya sebentar, tanpa mengalihkan pandang ke arah Davin yang balik menatap dirinya begitu tajam.
"Victor kenapa mukul Davin? Itu nggak boleh sayang, kamu harus minta maaf sekarang." pinta Bu Rina. Victor lantas memandang guru muda itu.
"Seharusnya Davin yang minta maaf, bukan Victor."
"Memangnya Davin ngelakuin apa ke kamu?"
"Davin nggak ngapa-ngapain kok, Victor tiba-tiba aja mukul. Hukum aja dia Bu!" sahut Davin cepat.
"Davin ngejekin Victor karena Victor nggak punya ayah!" Mendengar apa yang dikatakan Victor, membuat Bu Rina merasa bersalah, seharusnya ia tidak menyuruh anak-anak untuk menggambar ayahnya, karena bisa saja ada yang sudah kehilangan sosok sang ayah.
Bu Rina pun menangkup kedua pipi Victor, ketika mata anak itu berkaca-kaca, Bu Rina menjadi tak tega melihatnya. Segera ia memeluk Victor, lantas saja bocah itu menangis. Sementara Davin tak mengeluarkan suara lagi, ia pun beranjak pergi begitu saja, Bu Rina ingin mengejarnya, tapi Victor masih membutuhkan dirinya. Pada ujungnya, Bu Rina menenangkan Victor yang masih menangis itu dengan cara mengusap-usap punggungnya berulang kali, lalu membelai rambut anak itu.
"Maafin ibu ya, ibu nggak tahu. Victor ibu mau nanya, Victor tinggal bareng sama siapa?" tanyanya halus, setelah tangis Victor mereda.
"Sama bunda." jawabnya, Bu Rina kian melebarkan senyum.
"Nah, besok datangnya sama bunda oke? Dan untuk gambarnya, Victor gambar Victor sendiri bareng bunda, bisa?" Tanpa berucap, Victor cuma menganggukan kepala tanda setuju.
"Baiklah, kalau gitu ayo gambar, sudah nggak usah sedih lagi ya." Bu Rina membantu menghapuskan air mata Victor yang mengenai pipinya itu dengan jari jempolnya. Lagi, Victor mengangguk, kemudian ia kembali ke mejanya sendiri dan mengambil buku gambar dari dalam tasnya. Bu Rina mengubah posisinya jadi berdiri, setelah memastikan Victor sudah tenang, segera ia menyusul Davin, takutnya ada terjadi sesuatu pada anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
TeenfikceStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...