🌷"Kehidupan adalah seperti labirin yang tak terduga. Kadang-kadang tersesat, tapi yang penting adalah menemukan jalan kembali ke diri sendiri."🌷
"Lho, Yina kamu mau kemana?" Alis Yoga terangkat sebelah, dimana tangan kanannya sedang memegang secangkir kopi panas, terlihat asap yang menari-nari diatasnya. Atas pertanyaan barusan, berhasil menghentikan gerakan Yina yang ingin memegang sebuah knop pintu, kemudian ia memalingkan tubuh dan memandang pemilik tuan rumah tersebut.
"Saya harus pergi Om," katanya sambil tersenyum lirih.
Yoga pun meletakkan cangkir kopinya ke atas meja kecil, lalu menghampiri Yina. "Memangnya kenapa mau pergi? Baru saja datang malah pergi lagi. Apa ada sesuatu?" tanyanya sekaligus, merasa keheranan.
Pertanyaan itu membuat cucuran keringat dingin membanjiri pelipis serta kedua telapak tangan Yina, pasalnya ia bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin baginya untuk berkata jujur tentang apa alasannya memilih
pergi."Anu itu, saya emmm ..."
"Aku yang nyuruh dia pergi pa." Sebelum Yina meneruskan kalimatnya, Gino lebih dulu memotong dengan cepat. Tiba-tiba saja ia ada di situ, lagi duduk santai di atas sofa ruang tamu sambil menyilangkan kedua tangan ke atas bidang dada. Lantas saja Yoga memandang putranya itu dengan tatapan sinis.
"Apa maksudmu Gino? Kamu mengusirnya? Ada apa dengan dirimu ini, tidak biasanya bertingkah aneh seperti ini, mana hati nuranimu? Apa sudah di penuhi oleh buaian Debbi?" Pertanyaan berturut-turut dari sang ayah itu menarik rasa kekesalan Gino seorang.
"Papa jangan bawa-bawa Debbi!" ketusnya tak suka apabila Debbi dikatakan yang tidak-tidak.
"Dan kamu Yina, tetaplah di sini." Yoga menepuk pundak Yina pelan, seraya tetsenyum simpul.
"Enggak usah Om, saya ..."
Lagi-lagi perkataan Yina putus akibat sambaran Gino begitu cepat. "Sudahlah Pa, biarin aja dia pergi."
Mendengar hal itu, Yina cuma tersenyum lesu. Bagaimanapun juga, ia tetap senyum walaupun keadaan hatinya tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Senyum palsunya di sambut dengan sunggingan bibir dari Gino.
"Ini bukan rumah kamu doang Gino, ini juga rumah papa. Pokoknya apa yang dikatakan oleh papa harus di turuti." Nada pengucapan Yoga cukup halus. Namun gaya bicaranya bisa saja membuat sulutan emosi Gino berapi.
Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat itu membuat Gino memutar kedua bola matanya malas. "Terserah," jawabnya terdengar ogah-ogahan.
"Dan mulai besok kamu akan berangkat kuliah bersama Gino."
Yina melongo tak percaya mendengarnya. Kuliah? Bagaimana bisa, bukankah ia tidak pernah kuliah? Pertanyaan demi pertanyaan terbenak di pikiran Yina kali ini. Sedangkan Gino membeku seketika, Sofie yang kebetulan baru saja menuruni tangga langsung melototkan kedua matanya.
"Apa? Kuliah? Jangan bilang kamu biayain anak kampung ini buat kuliah? Nggak, pokoknya nggak boleh titik!" Sofie menghadap suaminya dengan tampang teramat kesal.
"Iya Pa, ogah banget aku satu motor sama dia, cuih!" Membayangkannya saja begitu najis dan menjijikan bagi Gino.
"Om, saya mau pergi saja," pamit Yina, tak tahan akan keadaan yang meremehkannya sekarang.
"Jangan, tetaplah di sini, ini kesempatan emas buatmu, tolong jangan kecewakan Om," bujuk Yoga bertampang memohon.
Saat Sofie mau mengeluarkan pendapat. Dengan cepat Yoga mendahuluinya.
"Tidak ada yang boleh ngelarang! Pokoknya apapun kehendak dari ku harus di turuti. Dan tidak boleh satupun dari kalian yang menyakitinya!"
Semuanya diam tertunduk. Kalau sudah begini apa boleh buat, mau tidak mau Sofie mengijinkan Yina untuk tetap tinggal di dalam rumahnya, walaupun sebenarnya ia tidak sudi menerima kehadiran Yina di keluarganya.'Lihat saja nanti, akan ku buat kau menderita selalu anak muda,' maki Sofie dalam hati, matanya menatap Yina penuh kebencian teramat dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Teen FictionStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...