🌼Chapter 46🌼

515 12 0
                                    

🌷"Kebahagiaan tidak dapat diukur dari banyaknya harta yang dimiliki, tetapi dari banyaknya cinta yang bisa diberikan dan diterima."🌷

  Gino merasa sangat terpuruk, ia sudah yakin bahwa Victor adalah anak dari darah dagingnya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  Gino merasa sangat terpuruk, ia sudah yakin bahwa Victor adalah anak dari darah dagingnya sendiri. Tidak bisa di sangkal lagi, sudah jelas bahwa Victor anaknya, cukup dilihat dari wajahnya yang mirip dengannya sewaktu kecil serta memiliki tanda yang sama di telinga, bahkan juga memiliki alergi yang sama. Mereka berdua seperti tidak ada bedanya, bedanya hanya dari jarak umur. 

  Gino memegang dadanya yang tiba-tiba sakit, ia pun berusaha untuk menetralkan diri dengan cara mengatur pernafasan. "Kenapa sakit ini kambuh lagi?" tanyanya pada diri sendiri. Memang, dulu waktu kecil dirinya mengidap sakit kardiomiopati. Tapi sekarang rasa sakit itu datang lagi. Gino merasa sesak nafas, sehingga kesulitan untuk menghirup udara. 

  Ia memukul-mukul dadanya dikarenakan dirinya tak mampu menghirup oksigen. Gino berusaha bangkit berdiri untuk meminta pertolongan, ingin berteriak saja ia tidak mampu, jalan pun juga beberapa kali ingin terjatuh. Sedikit lagi tangannya berhasil menggapai ganggang pintu, namun sayangnya pandangannya perlahan-lahan berubah jadi warna kehitaman. Tak berselang lama, Gino ambruk seketika, ia langsung tak sadarkan diri tanpa ada seseorang yang melihatnya. 

  Di lain sisi, Debbi sudah bersiap ingin pergi, namun perasannya mendadak jadi tak enak. Ia membuka setengah kaca jendela mobilnya, melirik ke atas, dimana dirinya melihat ke arah ruangan Gino yang jendelanya terbuka lebar. "Tidak bisa dibiarkan, aku harus menanyainya, memangnya ada apa coba sampai dia segitu shock-nya waktu kusebut nama Victor. Apa jangan-jangan Victor itu anaknya?" Debbi menerka sendiri, tanpa basa-basi ia keluar kembali untuk naik ke atas lagi, meminta jawabannya. 

  ***

  "Desta, aku titip Victor sebentar ya, aku mau beli makanan dulu, kamu mau titip?" Yina mengambil tas kecilnya dari atas meja, berniat ingin pergi keluar, sebab Victor sudah terlelap tidur sehabis dirinya diperiksa beberapa saat yang lalu. 

  "Oh, iya deh aku titip nasi kuning aja, udah lama banget nggak makan itu." Desta sedikit tertawa, lantaran dirinya amat merindukan makanan yang biasanya di jual di warteg, pinggir jalan. 

  "Oke, aku juga mau beli itu. Minumannya apa?" tanya Yina lagi, saat sudah berada tepat di depan pintu. 

  Desta mengetuk-ngetuk dagunya sebentar, sedang memikirkan. "Hm, apa ya? Ah ya sudahlah, Le Mineral aja, yang dingin tapi." jawabnya pada akhirnya. 

  Yina pun mengacungkan jari jempolnya tanda setuju, kemudian ia beranjak pergi. Di depan rumah sakit bunyi sirine mobil ambulan terdengar nyaring, petugas segera turun dari ambulan untuk membantu mengeluarkan pasiennya dari dalam, para perawat laki-laki pun cepat-cepat bertindak mendatangi. Terlihat Debbi keluar dari ambulan tersebut, disusul dengan Gino yang terbaring lemah di atas brankar, di bantu dengan para petugas tersebut, terlihat jelas bibir laki-laki itu sangatlah pucat, bagaikan tidak ada darah yang mengalir dalam tubuhnya. Mereka cepat-cepat mendorong brankar tersebut, supaya Gino cepat mendapatkan pertolongan. 

  Bertepatan dengan masuknya Gino, Yina seketika menghentikan langkah kakinya, saat ia kelupaan sesuatu. Yina mengecek dalam tasnya, dan ternyata ponselnya tidak ditemukan di dalam situ, ia pun menepuk jidatnya pelan. "Pake ketinggalan segala." gumamnya, tanpa pikir panjang ia putar balik untuk mengambil ponselnya yang ketinggalan di atas meja. Saat Yina berbalik badan, Gino beserta Debbi dan yang lainnya lewat di belakang dirinya persis. 

  Di lain tempat, seorang laki-laki baru turun dari pesawat, sambil memegang koper, kedua matanya melihat ke sekeliling. Kemudian ia merentangkan kedua tangannya, dan menghirup udara sembari memejamkan mata sebentar. "Sudah lama tidak ke sini." monolognya, seraya tersenyum kecil, kemudian ia menarik kopernya lagi. 

  "FAIZ SINI!" 

  Merasa namanya di panggil, seseorang itu menatap teman laki-lakinya yang sudah menunggu kedatangannya. Seseorang yang tidak lain Faiz itu tersenyum lebar, lalu berjalan ke arah temannya. "Sudah lama nungu?" tanyanya. 

  "Enggak juga, kenapa baru aja balik ke Jakarta? Udah bertahun-tahun juga, gue kira lo nggak bakal kemari lagi, eh waktu lo ngechat gue, kaget banget anjir tiba-tiba ngasih tahu kalau sudah mau sampai. Nih gue aja belum sempat mandi." dumel laki-laki itu. Faiz jadi terkekeh pelan dibuatnya. 

  "Pantes gue nyium bau busuk." sindirnya yang langsung mendapatkan cubitan di lengan kirinya. 

  "Ngeselin lo anjir." 

  Lagi, Faiz tertawa. "Ngomong-ngomong yok balik, capek banget gue asli. Rasanya pinggang gue ngilu banget, faktor usia ini." ucapnya diselingi candaan kecil, temannya itu pun juga ikut tertawa kecil. Ia merangkul pundak Faiz, terus mereka berdua beranjak pergi sembari mengobrol, saling bertukar cerita. 

  ***

  "Nasi kuningnya dua ya mas." Yina mengangkat kedua jarinya sehingga membentuk huruf V besar kepada si penjual nasi di warteg. Ibu-ibu yang memakai daster warna kuning hitam bergaris-garis itu memalingkan wajahnya ke arah Yina seraya tersenyum. 

  "Baik mbak, silahkan duduk dulu." ucapnya mempersilahkan, Yina pun duduk di tempat yang kosong, selama menunggu pesanannya jadi, ia pun memainkan ponselnya agar tidak merasa jenuh. 

  Sedangkan Faiz bersama temannya, Dito, lagi berada di dalam mobil, menuju rumah Faiz yang dulu. Rumahnya yang dulu selama ia pergi di huni oleh Dito, itu pun juga tak setiap hari Dito mendiami rumah itu. Bukan hanya dirinya saja yang di pinta Faiz untuk mendiami rumahnya sementara, melainkan teman dekatnya yang lain, yang ia sudah percayai, dikarenakan semua anggota keluarganya sudah pindak ke kota asalnya. Sekarang Faiz kembali lagi ke Jakarta, sebab ada seseorang yang harus ia temui. Tadi pun sebenarnya kedua teman dekatnya yang lain ingin juga menjemput Faiz di bandara, namun karena mendadak mereka tidak bisa, kecuali Dito yang hari ini sedang libur kerja, jadi hanya ia sendiri yang menjemput. Jadi kedua temannya itu pun akan menyusul nanti setelah balik kerja. 

  Saat ingin melewati warteg, Dito melirik Faiz yang duduk disebelahnya sedang asyik akan ponselnya. "Eh, mau mampir ke warteg dulu nggak, beli makanan?" tawarnya, 

  "Nggak usah, gue ada nih bawa makanan banyak, ntar kita makan bareng-bareng. Gue juga habis ini mau tidur, ngantuk banget udah." ucapnya, seraya mematikan ponsel dan menaruh benda pipih itu ke dalam kantong jaketnya. Ia pun menyenderkan kepalanya ke kursi mobil, terus memejamkan kedua matanya seraya menyilangkan kedua tangan ke atas bidang dadanya. 

  "Padahal ada cewek cantik tadi." ucap Dito yang ditanggapi Faiz akan tawa kecil, dimana matanya masih terpejam. 

  "Lo itu dari dulu nggak berubah, dasar mata keranjang." Dito hanya tertawa menanggapi, ia pun mempercepat laju mobilnya agar cepat sampai. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Not Dream [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang