🌷"Bahagiamu adalah bahagiaku juga. Tapi kamu kepadaku adalah sebaliknya."🌷
"Silahkan duduk."
Luka yang di alami Yina memang tidak cukup parah, tapi ia kini masih dalam mode syok. Sudah beberapa kali dirinya di tabrak oleh kesekian kalinya. Kali ini orang yang menabrak tadi ternyata adalah ayah Gino. Ia meminta Yina agar mau tinggal di rumahnya untuk sementara selagi Yina belum mempunyai rumah sendiri.
Memang, Yina sudah menceritakan tentangnya tatkala lelaki paruh baya itu menanyakan tentang dirinya setelah mereka keluar dari rumah sakit hari itu juga. Beruntung, Yina tidak mengalami luka yang serius, sehingga ia diperbolehkan untuk pulang tanpa harus rawat inap. Awalnya lelaki itu meminta Yina supaya dirawat dulu di rumah sakit sampai benar-benar pulih, namun Yina menolaknya karena ia merasa tidak enak hati dan juga sangat benci mencium bau obat-obatan rumah sakit yang sangat menyengat dibandingkan rumah sakit yang pernah ia datangi.
Sebenarnya Prayoga Raikhan Siregar selaku ayah kandung Gino itu ingin membelikan Yina rumah baru. Namun, di tolaknya secara halus. Alhasil dirinya kini harus berhadapan langsung dengan Sofie, Debbi dan tentunya ada Gino juga, mereka bertiga masih anteng duduk di kursi tamu, tatapan sinis dan tajam berlabuh ke Yina seorang. Yoga yang mengetahui gelagat Yina agak risih tersebut lantas memecahkan keheningan.
"Mulai sekarang, Yina akan tinggal di rumah kita."
Uhuk uhuk uhuk
Sofie tiba-tiba saja tersedak kopi yang barusan di minum setelah mendengar tuturan suaminya beberapa detik lalu. Ia menatap sang suami dengan kedua bola mata yang membulat total.
"Sayang, kamu bercanda 'kan?" tanya Sofie tak percaya bahwa Yoga mengambil keputusan sepihak tanpa memberitahu dirinya lebih dulu.
Yoga menggeleng cepat sambil tersenyum. "Aku tidak bercanda sayang, lagipula Yina tidak punya tempat tinggal, kasian lho," jawabnya, seraya melirik Yina yang wajahnya sedang menunduk ke bawah.
'Bruk!
"Apa kamu gila? Dia ini cuma anak kampung, bisa saja 'kan dia itu baik di depan, jahat di luar! Kamu itu jangan mudah percaya dong. Pokoknya sampai kapanpun aku tidak mau nerima dia tinggal di rumah sini titik!" amarah Sofie langsung meluap-luap. Dirinya sangat tidak rela jika Yina berdiam di rumahnya walaupun sebentar. Baginya Yina itu adalah hama yang harus disingkirkan. Terlihat jelas wajah Sofie memerah padam, serta urat-urat leher pada timbul. Betapa mengerikannya itu menurut Yina, sampai ia tidak berani menatap Sofie langsung.
"Kamu kenapa jadi begini sih? Jangan menilai orang dari tampilannya saja. Aku yakin Yina ini gadis yang baik bukan seperti Debbi yang kamu bangga-banggakan. Padahal, dia itulah wanita ular, baik di depan, jahat di belakang!" ketus Yoga secara terang-terangan, tak luput ia menatap Debbi begitu sinis. Memang, Yoga tidak pernah menyukai Debbi karena ia sendiri tahu bahwa Debbi memanfaatkan Gino untuk mengambil alih perusahaannya, hal itu di ketahui ketika Yoga tak sengaja mendengar percakapan Debbi dengan ayahnya dulu.
"Papa jangan banding-bandingin Debbi sama dia!" Kali ini yang membalasnya bukanlah Sofie, melainkan Gino seorang. Ia betul-betul tidak suka dengan ucapan ayahnya barusan.
Spontan saja Yina mendongakkan wajah, matanya bertatap pandang dengan bola mata Gino. Tatapan tersebut seperti tatapan seorang pembunuh. Dengan segera Yina menundukkan kepalanya ke bawah lagi, sambil meremas ujung bajunya.
"Gino!" Yoga membentak, dimana kedua tangannya sudah mengepal kuat.
"STOPP! Kamu jangan sesekali membentak Gino!" Setelah berkata demikian dengan nada ketus pastinya, Sofie melenggang pergi diikuti rasa kekesalan yang seakan membakar hatinya.
Debbi pun juga sama, ia memilih bungkam untuk kali ini. Namun ia memicingkan matanya ke arah Yina begitu murka. 'Lihat saja, lo nggak akan pernah bahagia Yina!' batinnya mengumpat kata serapah khusus Yina seorang. Habis itu ia juga beranjak pergi, menyusul Sofie yang sudah berjalan lebih dulu.
***
"Silahkan masuk Non," suruh Bi Lusi, yang merupakan asisten rumah tangga dari keluarga Yoga. Bi Lusi menunjukkan kamar khusus untuk Yina, tentunya kamar yang bisa di bilang mewah, bahkan ukurannya pun sebanding dengan keseluruhan luas isi kost-annya dulu.
Yina terpana kagum melihatnya. Tidak menyangka bahwa Gino sangat beruntung karena terlahir dari keluarga yang jauh dari kata berkecukupan. Sungguh, baru pertama kali ini Yina melihat secara langsung kamar yang elegan, dulu ia cuma bisa melihatnya lewat TV.
"Tapi ini bukannya berlebihan ya Bi?" tanyanya, sedangkan matanya terus kagum dengan dekorasi kamar barunya.
"Hahaha, Non bisa aja. Silahkan Non istirahat dulu."
Yina menoleh ke samping di mana bi Lusi lagi berdiri. "Emm ... kalau bisa bibi jangan panggil aku Non. Panggil saja Yina," pintanya halus.
"Iya, Yina." Bi Lusi tersenyum hangat. Ia sungguh menyukai Yina meski baru pertama kali bertemu, menurutnya saat berduaan dengan Yina hawanya terasa adem ketimbang dirinya berduaan dengan Debbi.
Setelah kepergian bi Lusi, Yina menutup kamarnya lalu duduk di atas kasur yang sangat empuk. Sesekali ia mengusap-usap sprei yang lembut itu, lalu meloncat-loncat di atas kasur seperti bocah kegirangan pada umumnya. Pantas saja, orang-orang kaya malas untuk bangkit dari kasur, ternyata inilah penyebabnya. Yina langsung merebahkan diri dengan kedua tangan yang membentang, menatap lukisan bintang-bintang serta bulan di plafon kamar, sungguh indah sekali.
'Bruk!
Ketenangan Yina dalam sekejap berubah jadi kekagetan. Pasalnya seseorang membanting pintu kamarnya begitu kencang, sehingga Yina mengelus-elus dadanya beberapa kali, lalu merubah posisi jadi duduk.
"Gino," gumamnya, tatkala seseorang yang membuat Yina terperanjat kaget tadi ternyata Gino seorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Ficção AdolescenteStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...