🌼Chapter 37🌼

636 14 0
                                    

🌷"Saat-saat paling menyakitkan dalam hidup adalah ketika kita harus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja."🌷

  "Yina, aku berangkat kuliah dulu ya, semoga dagangannya hari ini laris manis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  "Yina, aku berangkat kuliah dulu ya, semoga dagangannya hari ini laris manis." Desta tersenyum cerah di pagi hari ini, dimana dirinya terlihat sedang bergegas memasang sepatu.

  "Aamin, kamu hati-hati di jalan ya." ucap Yina, seraya geleng-geleng kepala kecil melihat Desta yang bangun kesiangan, padahal sudah ia bangunkan tapi gadis itu tak menanggapinya.

  "Oke," Desta mengacungkan jari jempolnya, sembari menaiki motor dan memasang helm ke kepalanya.

  "Eh, kamu sudah makan belum?" tanya Yina memastikan. Desta menyengir kuda mendengarnya, hingga menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi.

  Yina membuang nafas kasar, ia sudah menduga bahwa Desta tak sempat lagi untuk makan pagi. "Mending kamu makan dulu, nanti kelaparan waktu belajar, malah nggak fokus yang ada." sarannya peduli.

  "Ah enggak sempat Yin,"

  "Kalau gitu, nih bawa rotinya, nanti kalau sudah sampai langsung makan, sekalian bawa juga air minumnya. Ntar takutnya kalau nggak bawa air, tuh roti nyangkut di tenggorokan, kan bahaya." Yina mengambil dua roti dan satu botol air mineral dari jualannya, lalu memasukkan ke dalam tas ransel Desta yang berwarna coklat susu.

  "Makasih Yina, lo kayak nyokap gue aja." katanya terharu.

  "Kamu ini ya, hati-hati di jalan, jangan ngebut!" ucap Yina memperingati, pasalnya Desta itu tiap menyetir pasti dengan kecepatan tinggi. Pernah waktu itu Desta membonceng Yina begitu laju, sampai membuat Yina ingin terbang ke belakang. Beruntung bukan dirinya yang terjatuh, melainkan helmnya yang terbang ke belakang dan membuat kaca helmnya pecah jadi belah dua.

  Desta hanya tertawa kecil, melihat ekspresi Yina yang menatapnya tajam ketika teringat kembali saat-saat ia membawa Yina secepat kilat. "Iya-iya, lo hati-hati juga ya." Yina menganggukkan kepalanya sebentar.

  Desta beralih menatap ke arah perut Yina yang sudah kelihatan buncitnya. "Hai jagoan, jaga bundamu ya selagi tante pergi." ucapnya. Yina cuma tersenyum, Desta pun menyalakan motornya.

  "Gue berangkat dulu, dah!" Sebentar Desta melambaikan tangan, Yina juga turut melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian Desta sudah menghilang dari pandangan Yina.

  Yina kembali duduk ke kursi plastik, lalu lanjut memindahkan kembali dagangannya yang masih berada dalam wadah kecil ke dalam wadah besar di atas meja kayu. Memang, saat ini Yina lagi kerja kecil-kecilan berupa membuka warung bubur beserta makanan kecil lainnya seperti roti, snack ringan, minuman-minuman berasa dan sebagainya. Akhir-akhir ini dagangannya laris manis, dan selalu habis jualan buburnya. Banyak orang-orang yang suka akan rasa bubur buatan Yina, sampai ada yang beli hampir tiap hari.

  Yina sendiri tidak merasa kecapean melayani pelanggan yang jumlahnya lumayan banyak tiap harinya, meskipun kini ia sedang berbadan dua. Yina malah semangat berdagang, supaya dapat penghasilan lebih untuk disimpan sebagai tabungannya saat bersalin nanti. Ia juga sangat berterimakasih kepada Desta karena telah memberikan uang modal untuk membuka warung, supaya ia bisa mendapatkan uang. Dan telah memberikannya tempat berteduh dari panasnya terik matahari serta derasnya hujan.

  Masalah lalu yang menimpanya dulu tak dipermasalahkan Yina lagi, ia akan fokus ke masa sekarang. Ia juga berupaya melupakan Gino dan juga Faiz dalam hidupnya, agar dirinya tidak bersedih dan merasa sakit hati lagi. Ia tidak mau membuat anak yang dikandungnya juga merasakan efek yang sama saat ia sedih. Yina juga tak sudi lagi melihat wajah cowok yang sudah menodainya dan tidak mau bertanggung jawab itu, dan juga ia tidak mau melihat wajah seseorang yang meninggalkan dirinya tanpa memberi kabar lagi sampai berbulan-bulan lamanya.

  "Mbak, beli buburnya dua bungkus ya." Seorang perempuan berkisaran umur dua puluh tahunan ke atas itu mengeluarkan dompet dari dalam tas selempangnya.

  "Oh iya mbak, silahkan duduk dulu ya." kata Yina ramah, lalu mempersilahkan pelanggan pertamanya itu agar duduk ke bangku yang sudah disiapkan.

  "Iya mbak,"

  Tak butuh waktu lama, dua bungkus bubur sudah jadi dan dimasukkan Yina ke dalam kantong kresek warna putih. Pelanggan tadi pun langsung berdiri untuk menyambut pesanannya, melihat perut Yina yang besar membuat pandangannya tertuju ke arah situ.

  "Wah, sudah berapa bulan mbak?"

  Sontak saja Yina melihat ke arah perutnya dan kembali menatap pelanggan itu seraya mengembangkan senyum. "Alhamdulillah sudah menjalani lima bulan." katanya, sesekali mengusap perutnya yang buncit.

  "Selamat mbak ya sebentar lagi mau jadi seorang ibu, itu juga tak lama lagi mau keluar. Semoga bersalinnya nanti diberikan kemudahan dan anaknya sehat walafiat, aamiin."

  "Aamin, terimakasih banyak mbak doanya."

  Pelanggan perempuan itu menganggukan kepala serta tersenyum. "Omong-omong ayahnya lagi kerja ya?" pertanyaan barusan berhasil memudarkan senyum di bibir Yina.

  "Suami saya sudah meninggal." Apa yang dikatakan Yina itu membuat si penanya menutup mulutnya.

  "Inalilahi, ya ampun mbak maaf saya nggak tau. Saya nggak berniat membuat mbak sedih." Kontan saja ia merasa tak enak hati karena sudah menanyakan tentang keberadaan ayah dari anaknya itu.

  Yina terpaksa berbohong, daripada berkata jujur malah yang ada ia akan lebih banyak diberikan pertanyaan. Lagipula Gino tidak menganggap anak yang dikandungnya itu adalah darah dagingnya. Mengingat perlakuan Gino dulu yang menyalahkan dirinya dan tak mau bertanggung jawab itu membuat hatinya jadi panas kembali.

  "Tidak apa, wajar saja tidak tahu." ucap Yina, berusaha agar tetap tersenyum.

  "Saya jadi benar-benar nggak enak hati, sekali lagi saya minta maaf sebesar-besarnya."

  "Iya mbak, santai saja, lagian itu sudah lama kok."

  "Ya sudah mbak, makasih ya. Kalau gitu saya pergi dulu." pamitnya yang diangguki oleh Yina kecil. Setelah kepergiannya, kedua mata Yina jadi berkaca-kaca, hatinya jadi sakit lagi. Tak mau air matanya runtuh, buru-buru Yina mengibaskan mata dengan tangannya. Dan mengedipkan mata berulang kali secara cepat, lalu menarik nafas panjang dan dikeluarkan secara perlahan.

  "Sudah Yina, lupakan!" gumamnya pada diri sendiri.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Not Dream [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang