🌷"Hidup selalu punya pilihan. Hal itulah yang membuatku selalu bimbang."🌷
Aku menatap di mana Gino berdiri di ambang pintu. Kulihat kedua tangannya mengepal kuat. Ia berjalan mendekatiku, dan dapat kurasakan aura dirinya yang membuat irama jantungku berdebar-debar. Pelototan tajam serta gertakan giginya seolah ingin menghabisiku sekarang juga.
Aku memundurkan duduk hingga tertumpu di senderan kasur. Semakin dekat ia berjalan, semakin was-was pula perasaanku.
"Puas lo? Puas sudah bikin orang tua gue berantem hebat seperti tadi? Itu 'kan yang lo mau?!" ketusnya dengan tatapan mata yang berapi-api.
Jujur saja Gino yang sekarang ini bukanlah seperti Gino waktu pertama kali kami bertemu. Saat ini ia seperti dirasuki oleh sosok lain.
"Aku nggak bermaksud begitu Gin," jawabku gugup, lantaran kedua bola matanya menatap mataku begitu intens. Ia tersenyum sungging seraya memegang daguku kasar, sehingga mau tidak mau kami saling bertatap langsung dengan jarak yang dekat.
"Oh ya? Dengar ya, gue itu enek liat muka sok polos lo itu. Jadi jangan harap gue itu peduli sama lo, dengar nggak?!" bentaknya, langsung menancap di hatiku. Lalu ia melepas kasar tangannya dari daguku.
Mataku mulai berkaca-kaca dibuatnya. Aku tau, aku ini anak kampung yang jauh dari kata modern. Tapi setidaknya jangan menindasku dengan perkataan seperti itu. Sebegitu hinanya orang rendahan sepertiku?
Aku cuma mengangguk, mataku tak sanggup lagi menahan bendungan air mata ini, lantas kutundukkan kepala.
"Coba liat gue, nggak sopan banget sih. Mentang-mentang di belain bokap gue, lo malah bertindak seperti ratu di rumah orang, ingat ini RUMAH gue!" ucapnya yang menekankan kata rumahnya. Ya, aku akan pergi sesegera mungkin kalau bisa besok pagi akan pergi.
Dengan keberanian penuh, aku mendongakkan wajah. Dan menjumpai dirinya yang masih setia menatapku setajam silet.
"Ia aku besok akan pergi."
"Kenapa tidak sekarang?!"
Lagi-lagi haiku semakin dibuatnya sesak. Aku tidak boleh menangis, bagaimanapun juga aku harus tetap tersenyum kecut ke arahnya. "Baiklah jika itu membuatmu senang. Tapi bolehkah aku minta satu hal darimu?" Mungkin permintaanku kali ini terbilang kurang ajar, namun aku sangat merindukan hal ini.
"Apa? Lo ingin uang? Nih!"
Gino merogoh kantong celananya, beberapa uang seratus ribuan ia lempar ke wajahku. Seolah-olah aku ini seorang wanita matre.
"Bukan ini," lirihku. Walaupun ini sangat menyakitkan tapi tak apa, yang penting sekarang aku bisa melihat kembali wajahnya.
"Mau lo apa sih? Oh apa kurang? Tenang aja, nih Atm buat lo. Sana lo pergi!"
Sebuah kartu yang diambilnya dari dalam dompet segera ia sodorkan kepadaku. Aku mengambil kartu tersebut dan kulihat ia tertawa meremehkan, yang kutau itu ialah tawa buatan.
"Dasar cewek matre, sana cepat pergi!" Gino menarik pergelanganku kasar. Ia mendorongku sampai badanku terbentur dengan pintu kamar. Bukannya menolong, malahan dianya lagi-lagi tertawa remeh.
"Apa lo baik-baik saja cewek udik?"
Mengapa dia tega bicara seperti itu? Batinku serasa di iris oleh perkataan tajam darinya. Dengan keadaan setengah baik, aku kembali mendekati Gino. Kuraih tangannya dan kukembalikan kartu yang barusan ia beri tadi.
Aku menatapnya dengan lekat dan dahinya mengernyit atas tindakanku. "Aku tidak butuh uang dan kartu Atm. Yang aku mau, aku ingin memelukmu sebentar." Sungguh, aku ingin menampar wajah ini sekarang juga. Aku tanpa sadar mengatakan kalimat memalukan itu.
Entah kenapa juga, tiba-tiba saja aku berbicara lancar begini. Apa ini efek atas kerinduanku terhadapnya? Dasar memalukan diri sendiri kamu Yina! Sudah tidak ada gunanya juga aku merutuki diri ini, lagian semuanya sudah terlanjur dikatakan. Sekarang sudahlah, kalau aku di bilang perempuan yang tidak punya biadab yang penting aku dapat merasakan pelukan hangat dari orang yang pertama kali membuat detak jantungku berdetak lebih kencang dua kali lipat dibuatnya. Aku tau ini termasuk lebay, tapi bagaimanapun juga aku jujur apa adanya. Aku benar-benar menyukai Gino.
"Buat apa? Gue tidak sudi meluk lo, gue udah punya pacar ngerti nggak?!" tolaknya kasar seraya menonyor jidatku menggunakan jari telunjuk serta jari tengahnya sekaligus.
Bendungan air mataku turun berjatuhan begitu saja. Sesegera mungkin aku menghapusnya sebelum ia menyadari hal itu. "Untuk sekali ini saja, habis itu aku akan pergi."
Terdengar jelas hembusan nafas kasar darinya. "Okey, tapi janji lo nggak akan mendekati gue lagi, gimana setuju?"
Aku mengiyakan pertanyaannya, dengan rasa senang aku langsung memeluknya. Yang kurasakan saat ini ialah, hangat. Ingin rasanya aku berlama-lama dalam pelukan ini. Tak terasa, tangisanku tumpah dalam diam, aku makin mempererat pelukan ini untuk terakhir kalinya.
"Sudah jangan lama-lama, sekarang terserah lo mau pergi kemana, ke kolong jembatan juga terserah." Gino mendorongku kasar, padahal aku masih betah tenggelam dalam pelukannya. Andai saja ia mencintaku seperti aku mencintainya. Memang, semua ini salahku yang telanjur menyukai seseorang yang sudah dipastikan tidak akan bisa saling bersama.
Sebelum benar-benar pergi, aku tersenyum simpul ke arahnya dan ia mengalihkan pandangannya. Segitu burukkah aku di matanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Teen FictionStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...