🌷"Dinding-dinding yang dibangun untuk menjauhkan kesedihan ternyata tidak sekuat itu."🌷
"Emangnya mobil lo kenapa?"
Tiga serangkai sekarang lagi berkumpul di basecamp mereka. Di mana lagi kalau bukan di Rofftop.
Memang, Rofftop adalah markas mereka kalau istirahat berlangsung. Di sana terdapat sofa usang yang masih bisa di duduki. Selain mengobrol mereka juga saling merokok. Kecuali Rafi seorang, dirinya sangat tidak suka merokok.
Walaupun beberapa kali sudah di tegur. Nihil, bagi mereka berdua tidak mempan. Alhasil, para dosen-dosen hampir muak dan capek menegur. Tapi bagaimanapun juga, peraturan tetap peraturan, di universitas Jaya Abadi itu tetap dipertahankan.
"Fyuuh, bannya kempes," jawab Gino membalas pertanyaan Rafi. Sesekali di mulutnya mengeluarkan gumpalan asap rokok yang menari-nari di udara.
"Caelah harga aja mahal, tapi sering kempes," celetuk Aldo yang juga mengisap rokok pemberian Gino.
"Terus, motor lo kemana?" Kali ini Rafi bertanya.
"Di sita bokap," jawabnya seadanya. Dan di angguki oleh mereka, karena Rafi maupun Aldo sudah mengerti jika motornya di sita. Itu berarti, Gino habis ketahuan ugal-ugalan di jalan raya.
Gino membuang sisa batang rokoknya asal. Rafi yang melihat batang rokok bekas itu langsung memasang ekspresi datar.
"Kebiasaan lo Gin, kalau kebakaran gimana hayo?!"
Di antara mereka hanya Rafi lah yang agak waras. Ia memang suka kebersihan, cukup dibandingkan kamarnya dengan kamar teman-temannya sudah terlihat jelas dimana perbedaannya.
Sedangkan yang di tegur hanya mengangkat kedua bahunya sebentar. "Bodo amat."
Rafi mendelik kesal, susah sekali baginya memperingati sahabat satunya ini.
"Btw, tadi 'kan gue nelpon lo. Emangnya ngapain aja sih? Jadi lama bener baru sampe ke sini," tanya Aldo angkat suara lagi, mewakili Rafi yang mukanya juga ingin menanyakan hal yang sama.
"Menabrak cewek."
"Hah?" Mereka berdua yang mendengarnya pada membulatkan mulutnya masing-masing, membentuk huruf O besar. Lalu menatap Gino, meminta penjelasan lebih.
"Ck! Maksud gue itu bukan nabrak pakai mobil. Tapi, gue nggak sengaja nabrak badan dia. Walaupun gue ini tergolong anak nakal, tapi nggak tega ninggalin dia. Masa iya, udah nabrak langsung lari aja. Gini-gini pun gue juga memiliki hati nurani," jelas Gino panjang lebar. Aldo yang otaknya lelet dalam berfikir mencoba memahami penuturan sahabatnya tadi.
"Cantik nggak ceweknya?" Aldo bertanya langsung ke the to point, sembari menaik-turunkan kedua alisnya bersamaan.
"Cantik."
Aldo tersenyum sumringah setelahnya. "Siapa namanya?"
Dahi Gino mengernyit, sambil memandangi langit kebiruan. Lantas saja, Rafi maupun Aldo turut mengernyitkan dahi. Seolah bertanya kenapa?
"Gue nggak tau," jawab Gino jujur. Aldo menepuk jidatnya bersamaan dengan Rafi.
"Payah." Aldo mendesah kecewa. Gino cuma bisa menggidikan kedua bahu sebentar.
***
"Lho, Pak. Kok cuma 3.000?"
Di sinilah sekarang Yina berada, yaitu tempatnya mengambil barang buat di jajakan. Dimana kini ia lagi mengambil upah hasil kerja kerasnya hari ini. Pria berjanggut itu menatap sinis ke arah Yina yang memasang wajah penuh harap.
"Ini juga karena kerjaanmu yang tidak becus. Hampir sepenuhnya koran saya tidak bisa di jual lagi. Terus, korannya pun baru laku dua. Malah protes! Kalau nggak mau kerja lagi, ya udah sana!" Pria itu mendorong tubuh Yina hingga terjatuh ke tanah. Tanpa mempedulikan tatapan para bawahannya yang ada disitu juga, untuk mengambil upah mereka. Mereka yang menontonnya hanya bisa diam tak berkutik. Jikalau mereka ikut campur, bisa saja posisi Yina digantikan oleh mereka.
"Pak tolong jangan pecat saya. Saya janji, tidak akan mengulangi hal ini lagi." Yina bersikukuh sambil memegang kaki pria tadi, memohon agar dirinya diberikan kesempatan kedua.
Setelah mendorong, pria itu menendang Yina agar menjauh darinya, tentunya dengan cara yang kasar.
"Halah, saya nggak percaya lagi sama kamu! Cepat pergi dari hadapan saya! Atau saya paksa mau?!" ketusnya marah. Matanya pun melotot sambil berkacak pinggang. Bersiap-siap ingin menendang Yina lagi tanpa perasaan kasian.
Yina berusaha bangkit untuk berdiri. Wajahnya menunduk ke bawah, menahan tangisan yang hampir pecah.
"Iya Pak, saya pergi dulu."
Tak ada balasan lagi, pria tadi langsung membuang muka, lalu duduk kembali agar bisa memberikan upah kepada para bawahannya yang sedang mengantri sejak tadi. Yina menghembuskan nafas berat, ia memilih beranjak pergi seraya memegang perutnya yang lapar. Ia memberhentikan langkah, di mana di sampingnya ada penjual nasgor keliling. Yina meneguk saliva. Lantaran, ingin makan sesuatu, buat mengganjal perut.
Tapi, sebelum itu ia memandang uang 3.000 yang ada di tangannya. Lalu menatap tulisan harga nasi goreng yang sepiring harganya 8.000 plus teh es harga 2.000 rupiah.
"Nggak cukup," pikirnya kecewa. Ia pun kembali berjalan tertatih-tatih.
Tiba-tiba gumpalan awan hitam menutupi cahaya matahari. Yina mendongakkan wajah ke atas. Dalam hitungan detik ia yakin hujan akan turun, membasahi tubuhnya. Tanpa pikir panjang, ia berlari secepat mungkin, mencari tempat untuknya berteduh sementara. Sampai langkahnya terhenti di tempat pemberhentian bus, di situ hanya Yina seorang yang berteduh.
Drasss
Benar saja, hujan turun amat derasnya. Beruntung bagi Yina, bisa berteduh dengan waktu yang pas. Akibat cuma memakai baju kaos tipis, tubuh mungilnya jadi gemetaran karena kedinginan. Ia mengusap-usap kedua tangannya berulang kali, berupaya menghasilkan kehangatan, sambil menatap rintikan hujan yang turun berjatuhan mengenai aspal. Makin lama, hujan kian deras dan makin membuat badannya dingin. Ia pun memeluk tubuhnya sendiri, berharap hujan segera berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Teen FictionStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...