🌷"Terkadang, kesendirian adalah harga yang harus di bayar untuk hidup dalam kebenaran."🌷
Sesampainya dikediaman Gino, Yina berlari cepat pergi ke kamar, ia menutup pintu dengan diliputi hati yang terasa sakit seperti ditusuk-tusuk beribu jarum tajam. Sekarang Yina duduk di pojok kamar sambil memegang kedua lututnya getir. Cucuran cairan bening tersebut tetap mengalir deras, meluruh ke kedua pipinya. Beberapa kali ia memukul-mukul dadanya, upaya menghilangkan sesak di dada, namun percuma saja. Yina semakin merasa tidak mempunyai siapa-siapa lagi, orang-orang terdekatnya satu persatu pergi meninggalkan dirinya. Betapa berat beban Yina diusianya yang masih terlalu muda, menghadapi kehidupan keras sendirian.
"Ya Tuhan aku tidak kuat," rintihnya sembari menatap langit-langit kamar dengan pandangan mata yang buram.
Yina mengambil gelang pemberian Faiz tersebut dari dalam laci. Sungguh, ia sangat membutuhkan pelukan hangat darinya lagi seperti dulu untuk saat ini juga. Pipinya mulai memanas karena kelamaan menangis meratapi akan nasibnya. Tanpa diduga-duga, gelang yang di pegang Yina di rebut kasar oleh Sofie. Entah kapan ia masuk ke dalam kamar Yina. Tentu saja hal itu membuat Yina tersentak kaget.
"Tante tolong kembalikan," pintanya terisak-isak. Ia mencoba bangkit dan ingin merebut kembali barangnya. Namun Sofie tidak membiarkan itu terjadi, sengaja ia mengangkat tinggi-tinggi gelang yang di rampas barusan. Di kedua sudut bibirnya membentuk sebuah seringaian lebar.
"Oh, ini rupanya benda yang kau sayangi? Hmmm, ini sih lebih baik di buang saja yakan? Apaan coba yang perlu disayang dari gelang jelek begini mana bau busuk lagi." Sofie merasa jijik sendiri, bahkan ia memegang gelang itu hanya dengan dua jari.
"Jangan tante jangan di buang!" Yina berusaha mengambil gelangnya lagi, tetapi dengan cepat Sofie mendorong Yina hingga kepalanya terbentur mengenai tembok. Beruntung kepalanya tidak mengeluarkan darah.
Tanpa mempedulikan ringisan Yina, malahan Sofie makin gencar membuat gadis itu agar menangis kencang. Ia sangat suka dengan pemandangan sekarang. Baginya ini adalah sebuah pertunjukkan yang harus diperpanjang lagi.
"Ini pantasnya di buang ke sini." Tanpa pikir panjang, Sofie melempar kasar gelang itu ke dalam kolam lewat jendela kamar yang terbuka lebar. Memang, posisi kamar Yina bersebelahan tepat dengan kolam renang yang sudah tidak terpakai lagi, namun masih berisikan air. Bukan air bersih, melainkan air kotor yang didalamnya banyak lumut serta daun-daun bahkan ranting pohon ada didalamnya juga. Melihat dengan mata kepalanya sendiri, Yina jadi membeku di tempat, air matanya kian mengalir lebih cepat. Ia menatap Sofie tak percaya, sedangkan wanita itu menyungingkan senyum sambil menyilangkan tangan ke atas bidang dada tanpa merasa bersalah sedikitpun atas perbuatannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Teen FictionStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...