🌷"Kebahagiaan bukan tujuan yang harus dicapai, tetapi cara hidup yang harus diadopsi."🌷
Di kediaman Gino, laki-laki itu sedang duduk di tepi kasur seorang diri. Memori siang tadi terlintas dalam benaknya, dalam pikiran bertanya-tanya kenapa bisa anak yang ia jumpai itu sama persis dengan dirinya, memiliki alergi yang sama bisa dikatakan wajar, tapi wajahnya tidak ada kata beda. Bahkan Gino juga sempat melihat ada tahi lalat di telinga anak laki-laki itu, sama halnya dengan dirinya. Gino menatap ke arah cermin panjang dihadapannya yang memantulkan bayangannya, ia memegang kuping yang terdapat tahi lalat itu, yang letaknya juga sama dengan Victor, yaitu sebelah kiri.
"Kok bisa kebetulan sama gitu ya?" tanyanya pada diri sendiri. Gino makin penasaran siapakah kiranya Victor itu, tiba-tiba saja ia teringat akan masa lalu. Masa dimana ia pernah meniduri seorang perempuan yang masih perawan di rumahnya yang dulu, Gino nampak berfikir keras sampai ia dapat mengingat kala Yina memberitahukan soal kehamilannya, Gino menjadi tercengang setelahnya.
"Apa jangan-jangan Victor itu ..."
'Cklek!
"Sayang, ayo makan."
Gino langsung berhenti menerka, ia menoleh ke belakang dimana Debbi atau istri sahnya itu lagi berjalan kecil ke arahnya, dan duduk tepat di sebelah Gino, ia pun bergelayut manja di pergelangan tangan suaminya. "Kamu kenapa? Kok mukanya kayak lagi banyak pikiran aja." ucapnya, ketika mendapati ekspresi tak biasa itu.
Gino cuma tersenyum kecil, lalu menggelangkan kepala. Untuk sekarang ia tidak mau memberitahu soal pertemuannya dengan bocah laki-laki yang memiliki paras yang mirip dengan dirinya saat kecil dulu. "Cuma kelelahan aja, ntar habis makan juga akan bertenaga lagi." katanya, tak mau membuat sang istri curiga. Beruntung Debbi percaya akan ucapannya itu.
"Nanti habis makan kamu langsung istirahat aja, nggak usah nyambung kerjanya dulu. Nanti yang ada kamu malah sakit, siapa yang akan khawatir? Aku juga 'kan?" Gino mengusap lembut rambut Debbi, ia merasa senang tatkala diperhatikan seperti itu.
"Terimakasih sudah perhatian, omong-omong apa Davin sama mama sudah di ruang makan?" Debbi mengangguk mengiyakan.
"Ayo kita makan bareng."
Pasangan pasutri itu pun beranjak pergi, menuju ke ruang makan. Sesampainya disana, sudah ada sang ibu beserta putranya hampir seumuran dengan Victor. Nampak Davin bercerita lebar tentang sekolah tadi pagi kepada neneknya, Sofie. Sementara Yoga, atau ayahnya Gino itu sudah lama meninggal dikarenakan kecelakaan pesawat saat ingin pulang ke negara asal. Pesawat itu mengalami kerusakan mesin, sehingga mengakibatkan nyawa penumpang serta awak kru melayang.
"Benarkah? Seharusnya kamu balas saja dia."
"Apa yang dibalas?" tanya Gino segera setelah mendengarnya, kemudian mendudukan diri ke kursi. Sedangkan Debbi tak langsung duduk, seperti biasa ia lebih dulu memasukkan nasi ke dalam piring sang anak, suami beserta mertuanya itu.
"Ini Davin tadi cerita ke mama, kalau teman sekelasnya itu mendorongnya, yaudah 'kan mama suruh balik dorong aja juga. Kasian cucu mama jadi terluka gara-gara anak kampungan itu." Sofie terlihat kesal, tak terima cucu kesayangannya dibuat terluka.
"Memangnya dimana yang terluka?" tanya Gino ke arah putranya itu.
Anak laki-laki itu pun sedikit mengangkat kaki, dan memperlihatkan lututnya yang diperban. "Gara-gara Victor tuh, Davin jadi begini!" ketusnya dengan raut wajah menggerutu.
Gino menghela nafas panjang sebentar. "Kenapa jadi kamu sempat didorong olehnya? Tidak mungkin 'kan tiba-tiba dia dorong kamu kalau tidak ada masalahnya."
"Davin cuma pengen liat jawaban Pr-nya aja kok, soalnya Davin lupa ngerjain malam tadi. Tapi dianya malah nyolot, padahal Davin mintanya baik-baik. Terus Davin nggak terima, masa sama teman sekelas pelit banget gitu, nggak mau ngasih. Yaudah, Davin rebut paksa aja bukunya, eh dianya malah dorong Davin." adunya yang membuat Gino memijit batang hidungnya.
"Padahal apa susahnya coba dikasih lihat, itu anak kampungan emang blagu." sambar Debbi ikut bergabung ke topik pembahasan. Gino mengalihkan pandang ke arah istrinya itu dengan dahi yang mengkerut, heran.
"Kenapa kamu ngatain dia anak kampungan?" Sebelum menjawabnya, terlihat jelas Debbi menghembuskan nafas kasarnya.
"Asal kamu tahu ya, dia itu bukan dari kalangan atas seperti kita, dia bisa sekolah di tempat yang sama dengan Davin karena dibiayain sama om-nya. Aku tahu karena waktu rapat itu om-nya duduk di sebelahku, jadi aku nanya apakah dia itu anaknya atau bukan, ternyata bukan. Terus aku tanya lagi dimana orang tuanya, katanya ibunya lagi kerja, sedangkan ayahnya udah meninggal. Aku tanya lagi dong ibunya kerja apa, katanya kerja di toko, 'kan otomatis nggak mungkin rasanya hanya kerja di toko mampu nyekolahin anaknya di tingkat atas, karena melihat aku yang kebingungan, dia tertawa lalu bilang kalau dia yang membiayai sampai lulus. Jadi nggak heran lagi 'kan kenapa aku bilang dia anak kampungan?" penjelasan dari Debbi barusan membuat Gino geleng-geleng kepala kecil, lantaran sifat istrinya itu sampai sekarang tidak pernah berubah, Pantas saja anaknya itu jadi anak yang keras kepala dan kurang ajar, perlu Gino akui itu.
"Pantas saja Davin jadi seperti ini, memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Seharusnya kamu itu kasih dia pelajaran yang baik, dan jangan malah mengajari dia dengan perkataan yang tidak baik. Kamu ngatain anak orang anak kampungan, jika orang tuanya mengetahui hal ini hatinya pasti sangat sakit. Bisa saja 'kan kalimat merendahkan seseorang yang kamu katakan barusan ditiru oleh Davin. Dan kamu juga Davin, tak heran dia mendorong kamu begitu, karena itu salah kamu sendiri. Seharusnya kamu tidak boleh memaksa seseorang jika orang itu tidak mau, dan juga biasakan kalau ada Pr pulangnya langsung dikerjakan, supaya tidak kelupaan lagi." terangnya yang diakhiri akan peringatan.
Davin jadi cemberut kesal, sebab sang ayah bukannya berada di pihaknya, malah menyalahkannya. Davin pun jadi tak berselera makan, tanpa bicara lagi ia langsung beranjak pergi, mengabaikan panggilang sang ibu serta neneknya. Sofie pun jadi terpancing emosi jadinya.
"Kamu ini ya Gino, lihat 'kan dia jadi nggak mau makan, kalau dia sakit gimana? Bukannya belain anak sendiri, malah belain anak orang lain, gini jadinya mending mama nggak usah makan juga." Diliputi perasaan kesal, Sofie ikut beranjak pergi, hingga menyisakan Gino beserta Debbi berdua di ruangan itu.
"Kamu lihat sendiri 'kan, itulah akibatnya terlalu memanjakan Davin dan tidak mengajarinya yang baik-baik saat aku tidak ada di rumah." Selepas berkata demikian, Gino bangkit dari kursinya, lalu meningalkan Debbi seorang diri. Terlihat Debbi berdecak, sambil melempar sendok ke dasar keramik, lalu meremas kepalanya. Ia jadi frustasi sendiri, karena disini ia seperti biang keroknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Teen FictionStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...