Beberapa bulan telah berlalu, kini baik dari rumah tangga Yina, Debbi juga Desta lagi berkumpul di kediaman Desta. Di malam minggu mereka mengadakan makan malam bersama yang sudah direncanakan di jauh-jauh hari, ada berbagai macam makanan yang mereka buat. Para suami mereka tergoda akan harumnya masakan yang dibuat oleh istrinya, tidak sabar rasanya untuk segera mencicipinya.
Kini Debbi maupun Yina tengah menata makanan serta alat makan ke atas meja kaca panjang. Sementara para anak-anak lagi bermain kejar-kejaran di ruang tamu, sampai suara tawa mereka terdengar sampai ruang makan. Mereka hanya geleng-geleng kepala kecil mendengarnya, sekarang kedua anak laki-laki itu sangatlah akur, bagaikan saudara kandung.
"Eh tunggu sebentar!" tegur Desta, disaat suaminya ingin menyentuh salah satu makanan yang masih mengeluarkan uap panas tersebut.
Pras sontak menghentikan gerakannya, dan menatap sang istri yang lagi memegang spatula sambil berkacak pinggang, melotot tajam kearahnya. "Sabar dulu, orang-orangnya aja belum kumpul semua. Tangan kamu itu ya nakal banget," ucap Desta, membuat yang lain sontak tertawa.
Sementara Pras juga ikut tertawa kecil, sembari menggaruk belakang lehernya sebentar. "Iya-iya maaf, habisnya sudah nggak tahan lagi," jawabnya, masih akan terkekeh pelan. Desta hanya geleng-geleng kepala kecil menanggapi.
"Gino, kamu panggil anak-anak gih," pinta Yina sambil tersenyum ramah kepada sang suami.
Gino membalas senyuman itu, kemudian menganggukkan kepala. Segera ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ruang tamu. Dimana Victor bersama Davin masih asyik bermain, tanpa tahu bahwa makanan sudah siap.
"Des, sebelum dimakan foto dulu," ujar Debbi, seraya menuangkan minuman ke cangkir. Atas ucapan barusan, mengolah suaminya sendiri membuang nafas kasarnya.
"Kebiasaan kamu, asal kalian tahu ya. Aku habis balik kerja mau makan, sudah kelaparan banget nih ceritanya, dia nyuruh aku jangan makan dulu. Katanya mau di foto, tuh coba kalian cek aja di ponselnya, pasti beribu-ribu fotonya cuma makanan."
Mereka yang mendengarnya seketika pada tertawa, tapi tidak bagi Debbi. Kedua pipi wanita itu nampak memerah malu karenanya, segera ia mencubit lengan suaminya sebentar, mengkibatkan laki-laki itu sontak mengusap lengannya yang terasa sedikit perih. "Ih, diem! Malu tau ..." Debbi cepat menutup wajahnya, lantaran pipinya terasa semakin panas, sebab masih ditertawakan oleh para teman-temannya.
"Ya ampun lucu banget sih kalian ini," sahut Desta, diriingi tawa kecil.
"Ayo Des difoto dulu, nanti teman kita marah kalau keinginannya ngak dikabulkan. Bisa-bisa nanti dia nggak bisa tidur karena kepikiran," balas Yina, sembari melirik ke arah Debbi.
"Ih, Yina ..." Debbi semakin dibuat malu, reaksinya yang begitu membuat mereka puas karena sudah menggodanya.
"Oke, tunggu bentar." Bertepatan saat Desta ingin keluar, Gino bersama kedua bocah laki-laki baru saja ingin masuk.
"Tante mau kemana?" tanya Victor.
"Mau ngambil HP dulu bentar, itu tante Debbi maunya minta foto dulu," balas Desta, disertai akan tawa kecil. Sedangkan Debbi menjadi cemberut karenanya, tapi tidak bagi yang lain. Mereka kembali tertawa karenanya.
"Diem Desta, ah kamu mah ...," keluh Debbi.
"Iya-iya maaf, tunggu bentar." Habis berkata demikian, Desta melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang dikunci, setelah memutar kunci sebentar, ia segera masuk ke dalam. Dan menyalakan lampu, sehingga ruangan tersebut menjadi terang benderang.
Wanita itu nampak kebingungan sendiri, sebab benda pipih yang ia cari tidak ditemukannya. "Lho, dimana ya aku naruhnya?" tanyanya, sembari menggaruk kepala sebentar. Berusaha mengingat dimana terakhir kalinya ia meletakkan ponselnya.
"Oh, iya di laci," ucapnya, ketika sudah teringat. Barulah ia buka laci yang letaknya berada disamping kasurnya, dan benar saja, ponselnya tergeletak dingin di dalam situ.
"Ngapain ya jadi aku naruhnya di laci?" tanyanya, bingung sendiri. "ah, tau, ah. Bikin pusing aj---" lanjutnya yang terhenti, ketika tanpa sengaja dirinya melihat ujung kertas yang keluar dari bawah majalahnya.
Dahinya spontan mengernyit, tanpa pikir panjang ia menarik ujung kertas tersebut. Dimana kertas tersebut dalam keadaan yang terlipat. Penasaran isinya apa, ia ingin membuka lipatan kertas itu. Bersamaan ingin terbukanya sudah kertas berwarna putih tersebut, Yina mengetuk pintu kamarnya. Hal itu mengolah Desta menoleh ke belakang.
"Desta, kok lama sekali, apa kamu lupa naruh HP-nya?" tanya Yina dari ambang pintu. Desta pun cepat menggelengkan kepalanya.
"Eh, enggak kok. Ini aku nggak sengaja ketemu kertas terlipat gini," ucapnya, seraya menunjukkan kertas tersebut. Lantas saja Yina masuk ke dalam kamar, berjalan kecil menuju Desta yang wajahnya nampak penasaran.
Yina menatap kertas yang masih berada ditangan Desta, seketika kedua alisnya saling bertaut, sebab kertas itu terasa tidak asing baginya. "Boleh aku pinjam?" tanyanya, Desta pun menyerahkan kertas tersebut.
"Buka Yin," pintanya, yang diangguki oleh Yina. Tanpa basa-basi lagi ia segera membukanya. Baru beberapa kata ia membaca, kedua bola matanya langsung tercengang. Melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Yina, sontak menjadikan Desta semakin penasaran akut.
"Kenapa sama ekspresimu Yina? Emang itu apa isinya?" Disaat Desta ingin melihat isi kertas tersebut, secepat kilat Yina menyembunyikannya ke belakang tubuhnya.
"I-ini suratku yang dulu pernah ku titip ke kamu," ucap Yina, dimana wajahnya terlihat memerah karena malu. Namun pelipis Desta menjadi mengkerut.
"Surat?"
"I-itu surat yang ku pinta kamu untuk memberikannya ke Gino sama Faiz," terangnya. Desta terdiam sesaat, berusaha mengingatnya. Namun tak lama ia berfikir, ia sudah bisa mengingatnya. Ditepuknya dahi, menanggapi kepikunannya.
"Astaga, sumpah Yina aku lupa. Bukan berarti aku tidak mau menyerahkannya ke mereka dulu itu, aku minta maaf," sesalnya.
"Tidak masalah Des, malahan aku sangat senang kamu lupa menyerahkannya. Surat ini surat yang bisa dikatakan kekanakan, saat itu pikiranku masih labil."
"Emangnya isinya apa?" tanya Desta penasaran, tetapi Yina cepat menggelengkan kepala. Tanda tidak mau menunjukkan apa isinya.
"Maaf Des, cukup aku saja yang tahu. Ngomong-ngomong mana lagi yang satunya?"
"Oh, ini." Desta mengangkat majalah yang menutupi kertas yang satunya lagi, kemudian ia menyerahkannya ke Yina. "ya sudah kalau kamu tidak mau memberitahunya, lagipula itu hal yang pribadi," lanjutnya, sembari tersenyum tipis.
"Terimakasih Des," ucapnya, ikut tersenyum.
"Kalian berdua, ayo buruan. Ngapain lama-lama?" Tiba-tiba saja Pras ada di depan pintu, meminta kedua wanita itu agar segera ikut bergabung bersama mereka.
"Ayo, Yina," kata Desta, sembari memegang pergelangan tangan Yina. Yina pun mengangguk, lalu memasukkan kedua kertas yang dipegangnya tadi ke dalam kantong roknya.
Sesampainya di ruang makan, Debbi balik menyerang kedua teman perempuannya dengan mengatakan kalau mereka berleha-leha dulu di kamar. Tapi yang dikatai malah tertawa, membuat Debbi mencibikkan bibirnya sebentar, mereka yang melihatnya pada tertawa juga. Tak lama kemudian mereka mulai makan malam bersama sambil diselingi candaan ringan. Malam itu merupakan malam yang luar biasa bagi mereka, perselisihan yang pernah terjadi kepada mereka bagaikan hilang ditelan bumi. Kini perselisihan itu sudah diganti dengan yang namanya rasa kekeluargaan. Semenjak itu pula hubungan mereka semakin dekat.
THE END
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Ficção AdolescenteStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...