🌷"Kadang, hati yang terluka lebih menyakitkan daripada luka fisik yang terlihat."🌷
"Ya ampun Gino apa yang terjadi denganmu?!" Sofie maupun Debbi sama-sama terkejut ketika melihat Gino sedang membersihkan luka di dahinya. Wanita paruh baya itu buru-buru meletakkan kantong belanjaannya ke atas meja kaca persegi, ia lalu duduk di samping putranya dan mengecek luka yang sudah dikasih hansaplast plester. Beruntung lukanya tidaklah besar.
"Ah, hanya luka kecil, bukan masalah besar kok." jawabnya, sembari mengindahkan tangan sang ibu dari wajahnya. Ia merasa malu karena dirinya diperlakukan seperti anak kecil dihadapan kekasihnya.
"Emang kenapa kamu jadi sempat terluka gini?" Sofie bertanya dengan gurat wajah panik campur penasaran. Berbeda halnya dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Debbi, gadis itu terlihat biasa-biasa saja dan nampak ogah-ogahan, namun tidak sempat dilihat Gino. Waktu matanya saling bertatap dengan Debbi, ia lekas merubah raut wajahnya jadi ikutan cemas.
"Iya sayang, apa yang terjadi sama lo? Serius deh, kaget banget gue tadi liat lo mendesis perih gitu, gue 'kan jadi khawatir." Debbi langsung bersikap manja, ia ikutan duduk di samping Gino, hingga cowok itu berada di tengah-tengah di anatra para wanita. Debbi mengalungkan pergelangan tangannya ke lengan Gino, lalu menaruh dagu ke bahu kiri cowok itu disertai akan bibir yang manyun.
Gino tersenyum melihat sikap perhatian dan kecemasan kekasihnya terhadap dirinya. "Gue tadi nggak sengaja kepeleset di depan dan ya, dahi gue terkena batu. Tapi tenang saja, gue baik-baik aja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Terimakasih ya sudah peduli." Tangannya membelai lembut rambut gadis itu, mengabaikan keberadaan ibunya yang masih duduk disebelah dirinya.
Sofie tidak marah akan hal itu, malahan ia merasa sangat senang sebab hubungan pasangan muda-mudi itu makin hari makin romantis. Sofie jadi tidak sabar menjadikan Debbi sebagai menantunya, karena baginya Debbi itu adalah gadis yang perfect, tidak mudah mencari seorang perempuan seperti Debbi. "Ekhem, mama masih disini lho Gino." Sengaja ia berdehem, upaya menyadarkan pasangan kekasih itu bahwa dirinya masih ada disitu bersama mereka. Gino maupun Debbi jadi tertawa dibuatnya, Sofie pun juga demikian, ia ikutan tertawa juga.
Di lain sisi, Bi Lusi sudah selesai menyiapkan sarapan. Terlihat beberapa menu makanan di atas meja makan yang tertata rapi disertai buah-buahan sebagai pencuci mulut. Seperti biasa, Bi Lusi menyisakan lauk sedikit untuk dirinya dan juga Yina, sebelum memanggil atasannya kemari, Bi Lusi membawa dua buah piring berisikan lauk-pauk ke dalam ruangan pembantu. Bi Lusi pikir Yina berada di dalam situ, namun tak dapat dilihatnya batang hidungnya. Awalnya ia mengira kalau gadis itu sedang pergi sebentar, jadi ia meletakkan dua piring tadi ke lantai tanpa mencari Yina. Setelahnya ia kembali lagi ke ruangan itu untuk menaruh cangkir beserta teko berisikan air putih biasa.
Selesai sudah, Bi Lusi pun memanggil Sofie, Gino dan juga Debbi untuk makan. Mereka bertiga pun langsung menuju ke ruang makan. Baru saja Sofie mendudukkan diri ke atas kursi, kepalanya menoleh kesana-kemari seperti sedang mencari seseorang. Sontak saja pergerakan dari Sofie membuat Debbi jadi heran, lantas saja ia melontarkan pertanyaan.
"Tante nyari apa? Sedari tadi aku liatin seperti lagi nyari sesuatu."
Gino yang sudah mengerti apa yang dicari oleh ibunya itu langsung bungkam mulut, ia harus bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa. Tidak mungkin baginya berkata sejujurnya kalau Yina sudah kabur karena ulahnya. Lagipula Gino tidak peduli sama gadis itu, jujur saja ia masih merasa jengkel tatkala Yina menuduhnya sudah menghamili dirinya. Padahal bisa saja 'kan Yina itu hamil anak orang, dan menjebak dirinya karena ingin kekayaan, makanya Gino dituding seperti itu. Tanpa diketahui oleh yang lain, cowok itu mengepalkan kedua tangannya kuat di bawah meja.
"Itu lho, dimana cewek kampungan itu? Tumben banget nggak keliatan." balas Sofie sembari mengambil potongan ayam goreng di piring.
"Ouh kirain nyari apa, palingan juga keluar bentar." sahut Debbi acuh tak acuh.
Sofie pun mengangkat kedua bahunya sebentar dengan ekspresi cuek. "Sudahlah biarin aja, mau dia ada juga nggak ada gunanya, lebih baik juga nggak usah lagi datang ke sini, nyusahin orang aja. Heran banget tante, om Yoga segitu sukanya sama cewek kampungan itu, apa yang menarik darinya coba?" Sofie geleng-geleng kepala, menganggap suaminya itu bodoh karena telah menampung seseorang yang kalangannya berada sangat jauh di kalangan mereka. Seorang seperti Yina itu sudah dianggapnya seperti orang gelandangan.
Gino cuma diam, tak mau ikut campur. Takut-takut, jika ikutan angkat suara ia akan bicara keceplosan. Jadi lebih baik baginya untuk tutup mulut mencari aman. Disaat ia ingin mengambil garpu, tiba-tiba saja ia merasa pusing dan mual. Secara mendadak wajah Gino berubah jadi pucat, hali itu mengolah Debbi yang duduk didepannya langsung sadar.
"Sayang, kok muka lo pucat banget gitu. Lo sakit ya?"
Sofie lekas menatap Gino, dan benar saja seperti yang dikatakan Debbi barusan. Gino terlihat sepeerti orang sakit, bibirnya pun juga seperti tidak ada darah yang mengalir. Sofie jadi tidak berkeinginan makan lagi melihat anaknya tiba-tiba seperti itu, lekas ia menghampiri Gino yang sedang memegang kepalanya.
"Duh Gino, kenapa lagi kamu?" tanya Sofie cemas.
Gino mengangkat kepala guna melihat ibunya, namun itu tak lama, karena isi perutnya sudah ingin keluar. Buru-buru Gino berlari ke arah kamar mandi dan langsung muntah di wastafel, Sofie segera menyusulnya, lalu mengusap-usap punggung belakang anaknya itu. Debbi juga turut menyusul, karena ia penasaran ada apa.
"Debbi, tolong ambilkan minyak putih di laci ruang depan dekat guci." pinta Sofie setelah Debbi berada di kamar mandi.
Tanpa suara, Debbi menganggukan kepala lalu berlari kecil ke arah ruang tamu sambil bergumam. "Huh menyusahkan, kalau bukan karena bokap ogah banget gue terus akting kayak gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Novela JuvenilStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...