🌼Chapter 56🌼

571 19 0
                                    

🌷"Tidak ada seorang pun yang boleh menyakiti perasaan malaikat kecilku. Selagi itu ada, aku tidak bisa tinggal diam, aku lah yang akan maju lebih depan menghadapinya.🌷

"Ingrid Syina Ellisia"

  "Aturanmu sudah bagus Nak, cuma ibu memperbaiki lagi agar lebih baik ya? Nah, seharusnya yang lebih tinggi itu berada di belakang, kalau yang rendah tempatnya harus di depan biar tidak terhalang yang ada di depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aturanmu sudah bagus Nak, cuma ibu memperbaiki lagi agar lebih baik ya? Nah, seharusnya yang lebih tinggi itu berada di belakang, kalau yang rendah tempatnya harus di depan biar tidak terhalang yang ada di depan. Ini Victor, harus di depan, dan kamu Davin di barisan kedua ya, karena lebih tinggi kamu ketimbang Victor. Nggak papa 'kan, Nak?" Bu Rina sedikit memperbaiki letak posisi para anak muridnya. Davin mencibir malas, kesal rasanya Victor harus berdiri lebih depan. Padahal tadi ia sudah mengatur Victor agar berdiri paling belakang dan berada di paling pojok. Pengen marah rasanya ia, tapi apa boleh buat, acaranya sebentar lagi akan mulai. Tidak ada waktu untuk protes.

Sambutan-sambutan sudah kelar, pembawa acara membacakan acara selanjutnya, yaitu pertunjukan anak-anak kelas III A, menyanyikan lagu 'Sayang Semuanya' yang diciptakan oleh Bu Kasur atau Bu Sandiah itu. Para orang tua murid yang akan tampil tersebut pada membuka kamera ponselnya, bersiap ingin merekam momen ini sebagai kenang-kenangan. Yina juga tak mau kalah, ia buru-buru menyalakan kamera video, kameranya sudah siap sebelum anaknya beserta teman-teman sekelasnya naik panggung.

Sementara Gino, pria itu juga melakukan hal yang sama seperti orang tua murid lainnya. Dimana posisinya duduk berada di barisan ketiga, sedangkan posisi Yina di barisan kesatu.

Tak lama kemudian, yang ditunggu-tunggu sudah mulai. Alunan lagu penggiring terdengar nyaring di segala penjuru ruangan, suara nyanyian anak-anak tersebut beradu dengan musik yang dimainkan. Masing-masing tangan mereka saling berpegangan dengan teman di sebelahnya, dan mereka bergerak ke kanan-kiri secara serentak. Senyuman manis terpatri di kedua sudut bibir mungil mereka, namun beda halnya dengan Davin, anak itu semenjak posisinya di ganti, tidak ada senyuman yang mengembang di bibir, melainkan raut kusut dan masam yang ia tunjukan.

Satu satu aku sayang ibu...

Dua dua juga sayang ayah...

Tiga tiga sayang adik kakak...

Satu dua tiga sayang semuanya...

Rupanya Gino sadar akan hal itu, pelipisnya mengkerut jadinya, melihat putranya sama sekali tidak menunjukkan gurat kebahagiaan, dibandingkan teman-temannya yang lain. Sedangkan Victor merasa amat senang, terlebih lagi ia di tempatnya berdiri berhadapan langsung dengan sang bunda yang tengah merekam dirinya. Matanya pun tak beralih ke arah mata kamera ponsel milik sang bunda, senyum cerah setia menghiasi bibir. Yina sesekali memberikan gerakan saranghaeyo lewat kedua jarinya, khusus ke Victor seorang.

Tak lama kemudian, penampilan mereka sudah selesai. Davin yang masih merasa kesal langsung pergi tanpa berfoto bersama lebih dulu, Bu Rina tak sadar salah satu muridnya pergi, karena sibuk mengatur posisi murid-muridnya. Saat itulah baru ia sadar, Davin tidak ada, buru-buru ia mencarinya. Gino pun bangkit dari duduknya, berniat ingin menyusul putranya, namun tidak jadi, sebab Bu Rina lebih dulu menemukannya. Terlihat beberapa kali Davin menggertak tak mau, tapi pada ujung-ujungnya ia ikut juga, meski raut wajahnya masih saja cemberut.

Selesai berfoto, mereka pada berpulangan ke belakang panggung, menyisakan Victor seorang diri, karena selanjutnya adalah giliran dirinya untuk membawakan puisi berjudul Ibu.

"Acara selanjutnya adalah membawakan Puisi berjudul Ibu, yang dibawakan oleh Aksarna Victor Bimantara dari kelas III A, untuk ananda Victor, dipersilahkan." Pembawa acara perempuan tersebut yang berada di ujung, depan panggung perlahan memundurkan diri. Cahaya lampu pun mengarah ke Victor, dimana keadaan sekitar menjadi gelap.

Victor melihat ke depan, jantungnya semakin berdegup lebih kencang, gugup menjadi bahan pandang orang-orang membuat tubuhnya gemetar, bahkan kedua telapaknya menjadi dingin. Meski bukan pertama kalinya ia tampil di atas panggung, namun tetap saja ia masih gugup. Yina yang merasakan kegugupan putranya, menatapnya penuh harap. Victor menelan saliva-nya begitu susah, sembari menatap ke arah sang bunda.

Yina mengangguk kecil sambil tersenyum, seolah mengatakan bahwa ia mampu mengatasinya. Tidak mau mengecewakan bundanya, Victor harus bisa menampilkannya sebaik mungkin, sebentar ia menarik nafas panjang, lalu dikeluarkan secara perlahan. Ia pun mulai membacakan bait puisi yang sudah tertulis di selembar kertas di tangannya.

"Ibu, sosok tiada tergantikan,
Kasih sayangnya tiada pernah pudar. Setiap langkah hidupku ia selalu ada, Menuntun dengan cinta, menghadapi duka. Wajahnya penuh dengan senyum dan canda, Hati hangatnya bagai pelukanku selalu terasa. Ibu, engkau pahlawan dalam hidupku, Takkan pernah kumampu membayar balas budi. Dalam pelukanmu, aku merasa aman, Terlindungi dari badai dan cobaan. Dalam nasihatmu, aku temukan petunjuk, Menuntun langkahku, tuk melangkah lebih jauh. Ibu, doa-doa terbaikku tukmu, Semoga bahagia selalu, dalam setiap langkahmu. Terima kasih, Ibu, atas segala pengorbananmu, Takkan pernah lekang oleh waktu, kasih kita abadi." Berkat keyakinannya, ia berhasil membawakan sebuah puisi yang berhasil membuat Yina meneteskan air mata terharu. Semua penonton pun serentak bertepuk tangan, sementara Gino semenjak Victor menginjakkan kaki ke atas panggung, ia tidak henti menatap ke arah Victor terus. Tanpa disuruh pun ia tersenyum, merasa bangga melihat Victor yang percaya diri dihadapan banyak orang, dan menampilkan penampilan yang luar biasa.

"Ini 'kan hari Ayah, kenapa bawain Puisi Ibu? Nggak nyambung banget deh." Seketika senyum yang mengembang di bibir Victor memudar, tergantikan perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tatkala mendengar suara ibu-ibu yang berhasil menghapus kebahagiaannya dalam sekejap.

Penonton yang lain spontan menoleh ke arah sumber suara, Yina yang mendengarnya pun menjadi ikutan sesak, terlebih lagi Victor, anak itu menjadi sedih dalam sekejap. Tidak mau anaknya dibikin sedih begitu, Yina bangkit dari duduknya, dan berjalan kecil ke arah ibu-ibu yang menampilkan raut songong itu. Gino yang melihat Yina spontan ikutan berdiri, dimana kedua matanya terbelalak kaget, seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Not Dream [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang