🌷"Menjalani hidup bukan hanya menciptakan diri sendiri, tapi bagaimana menciptakan kebersamaan. Namun, menciptakannya tidak semudah yang dikira."🌷
Perlahan namun pasti, Yina membuka matanya. Untuk pertama kali yang dilihatnya sekarang ialah Bi Lusi atau asisten rumah tangga dari keluarga Yoga. Saat ini wanita berkepala empat itu tengah mengobati luka yang ada di pelipis serta kepala Yina. Melihat kesadaran Yina, Bi Lusi langsung mengajaknya bicara diikuti akan mimik wajah yang cemas.
"Yina apa kamu baik-baik saja?"
Sebelum menjawab pertanyaan barusan, terlebih dulu Yina merubah posisi jadi duduk. Yang dirasakannya ialah sakit kepala yang terasa berdenyut-denyut, sontak saja ia memegang kepala sambil menahan ringisan.
"Ya ampun, sebaiknya kamu istirahat dulu ya." Bi Lusi segera membantu Yina agar kembali berbaring.
"Nggak apa kok Bi, ini sudah mendingan. Oh ya Bi."
Bi Lusi mengernyitkan dahinya, sebagai pengganti kata tanda tanya.
"Siapa yang menolong aku?"
Bi Lusi membelai rambut Yina lembut sambil mengembangkan senyum hangat. "Tuan Yoga yang nolongin kamu, beruntung sekali tuan datang tepat waktu, kalau tidak kamu pasti sudah tidak bisa selamat. Bibi benar-benar minta maaf Yina, seharusnya Bibi lah yang menolongmu, maaf at---" Ucapan Bi Lusi terhenti seketika, sebab jari telunjuk Yina terpatri di bibirnya.
"Bibi nggak salah, ini juga karena keteledoranku sendiri."
Bi Lusi menghela nafas pelan, lalu bertanya. "Ada apa sebenarnya Yina, mengapa kamu sampai berada di kolam itu?" tuturan Bi Lusi sukses membuat Yina gelagapan, ia tidak ingin memberitahukan hal yang sebenarnya terjadi. Mau tidak mau ia harus menutupi kelakuan keji dari Sofie terhadapnya.
Sialnya waktu itu Sofie lebih dulu melihat ada bayangan seseorang yang mendekati kolam, sontak saja ia langsung melarikan diri supaya tidak ketahuan oleh siapapun itu. Bersamaan dengan dirinya sudah beranjak pergi, Yoga menceburkan diri untuk menyelamatkan Yina yang nyawanya antara hidup dan mati. Sama sekali Yoga tidak melihat keberadaan istrinya yang merupakan dalang dari penyebab Yina harus berada di dalam kolam itu.
"Oh itu, hm, sebenarnya aku lihat ada anak kucing yang berlari dekat kolam Bi. Terus, aku terpeleset," jelasnya berbohong. Bi Lusi pun jadi geleng-geleng kepala kecil dibuatnya.
"Lain kali hati-hati ya, tapi tunggu, kepalamu kenapa jadi berdarah?"
"Nggak sengaja terkena ranting tadi." Supaya tidak kelihatan jelas kalau dirinya tengah berbohong, sengaja Yina terkekeh pelan seraraya menggaruk dagunya yang tak gatal.
"Ya ampun Yina ada-ada saja, sini bibi obatin lagi, tadi belum selesai." Jari jemari Bi Lusi memulai kembali pengobatan yang tertunda tadi. Yina merasa sangat senang, karena sifat Bi Lusi sangat mirip dengan Almarhum ibunya. Kini Yina mendadak seperti orang linglung, nampak jelas tatapan matanya yang kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Teen FictionStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...