🌷"Hidup adalah anugerah yang berharga. Hargailah setiap momen dan jangan sia-siakan kesempatan untuk membuatnya berarti."🌷
Bel sudah berbunyi di segala penjuru sekolah, anak-anak pada berhamburan di lapangan sekolah, beberapa orang tua sudah menunggu di depan gerbang dan beberapa murid lagi duduk di halte, menunggu bis tayo datang menjemput mereka. Victor baru saja keluar dari kelasnya dengan raut wajah sendu, ia memegang erat tali tasnya sambil menundukkan kepala ke bawah, menatap langkah demi langkah kakinya sendiri. Davin yang berada di belakang Victor mempercepat laju jalannya sehingga ia dapat mengiringi langkah kaki Victor. Melihat ada kaki orang lain disampingnya, Victor lantas menghentikan jalannya, lalu mengangkat kepala dan mendapati Davin yang lagi menatap dirinya sinis.
"Karena Davin ketua kelasnya, jadi Victor harus ngikut apa yang Davin perintahkan. Besok Victor harus ada di barisan belakang, Davin di barisan depan, ngerti nggak?"
Victor tak merespon, ia lebih memilih melanjutkan jalannya. Davin pun jadi sebal tak dihiraukan, ia berlari kecil untuk menarik tas Victor, sehingga menyebabkan Victor jadi tertarik ke belakang, hampir saja terjatuh. Dengan kesal Davin berdiri di hadapan Victor sambil berkacak pinggang.
"Victor harus nurut, nggak ingat apa yang di bilang Bu guru kalau Davin yang harus mengatur tempat kalian berdiri?!" ketusnya. Memang, Bu Rina sengaja meminta Davin yang notabe-nya sebagai ketua kelas untuk menyusun tata letak anak-anak berdiri saat berada di atas panggung, menyanyikan sebuah lagu. Hal itu dilakukan untuk menguji bagaimana cara Davin mengatur anak buahnya.
"Iya." jawab Victor singkat. Davin tersenyum puas.
"Nah gitu dong!" ucapnya senang, kemudian berlalu pergi begitu saja. Victor menatap punggung belakang Davin begitu tajam, dimana kedua tangannya mengepal kuat.
"Kalau Victor udah dewasa, Victor akan memukul Davin sampai masuk rumah sakit!" gumamnya teramat kesal, mengingat dirinya kala itu masuk rumah sakit gara-gara Davin. Dan yang makin membuat Victor bertambah benci, Davin sama sekali tidak meminta maaf kepada dirinya. Kejadian itu tidak akan pernah dilupakan oleh Victor.
Para murid-murid sudah pada pulang, hanya ada sedikit yang masih menunggu orang tuanya. Victor duduk di halte, menunggu sang bunda datang. Ia mengayunkan kedua kakinya, upaya menghilangkan rasa jenuh. Perlahan-lahan murid-murid yang tersisa sudah pada di jemput, hingga menyisakan Victor seorang diri di halte tersebut. Beberapa kali ia turun dari duduknya, agar melihat ke kanan-kiri jalan, lalu duduk kembali.
"Bunda kemana sih? Kok lama banget baru sampe." gerutunya, mengabaikan mobil yang berhenti tepat dihadapannya.
"Hei, kenapa cemberut gitu mukanya?"
Victor mendongakkan kepala, dapat dilihatnya ada seorang laki-laki berjas abu-abu di dalam mobil lewat kaca yang terbuka setengah lagi menegur dirinya. Victor langsung berdiri, ia jadi merasa ketakutan, terlebih lagi hanya ia seorang diri. Takutnya laki-laki asing itu akan menculiknya, maka dari itu Victor bersiap-siap ingin kabur. Melihat ekspresi takut anak kecil itu, cepat si lelaki mengangkat suara.
"Tidak usah takut, om janji tidak akan ngapain kamu. Oh ya, tunggu, om ada sesuatu untukmu." ucapnya sambil tersenyum ramah. Victor masih nampak ragu-ragu, tapi penasaran benda apa yang ingin diperlihatkan ke dirinya.
Laki-laki itu keluar dari mobilnya sambil membawakan sebuah kotak entah apa isinya. Pria itu lalu menjongkokkan diri di depan Victor, sembari masih tetap mengembangkan senyum. "Nah, kebetulan om beli dua mainan untuk anak temannya om. Ini yang satunya buat kamu aja, biar nggak cemberut lagi." Ia menyerahkan kotak berisikan mainan robot tersebut, Victor tak langsung menerimanya. Ia menatap orang asing itu begitu lekat.
"Ayo ambil aja, ini om kasihnya gratis kok." katanya meyakinkan.
Victor menatap mainan robot tersebut penuh keinginan, ia sebenarnya sangat menginginkan robot keluaran terbaru tersebut. Kembali ia memandang pria itu.
"Memangnya tidak apa-apa?" tanyanya dengan nada suara yang kecil. Lelaki itu menganggukkan kepala tanpa ragu, terus meraih tangan Victor dan meletakkannya ke atas kotak mainan tersebut.
"Apa om khlas?" pertanyaan Victor barusan sukses membuat laki-laki itu tertawa kecil.
"Tentu, kalau om nggak ikhlas nggak mungkin 'kan ngasih ini ke kamu?" Victor tersenyum malu, lantas ia menggigit bibir bawahnya dan menundukkan kepala ke bawah.
Laki-laki itu jadi semakin merasa gemas, dikarenakan anak laki-laki itu memiliki perilaku yang sopan, ia berfikir bahwa orang tuanya tidak gagal dalam mendidik anak. Dan pasti sangat bangga mempunyai anak seperti Victor.
"Terimakasih ya om." katanya pelan, seraya memeluk kotak mainan tersebut.
"Sama-sama," Pria itu begitu seksama memperhatikan wajah Victor, senyumnya pun perlahan memudae tatkala ia merasa tak asing dengan wajah itu.
"Wajah anak ini seperti pernah kulihat, tapi dimana?" batinnya, bertanya pada diri sendiri.
"Nama om siapa?" Kontan saja laki-laki itu terlepas dari lamunannya, lalu menatap Victor dengan senyum yang kian melebar.
"Nama om Faiz, kalau kamu?" tanyanya balik.
"Victor," jawabnya.
"Victor? Nama yang bagus, nama lengkapnya siapa?" Victor tak menjawabnya, Faiz pun jadi merasa canggung sendiri.
"Ekhem, ngomong-ngomong kenapa masih belum pulang?" Faiz pun lantas mengubah topik pembicaraan.
"Nunggu bunda,"
"Owh, sebentar lagi juga akan sampai kok. Boleh nggak om disini, nemenin kamu nungguin bunda datang?" katanya menawarkan diri.
Victor cuma menganggukkan kepala, lalu anak kecil beserta pria dewasa itu duduk lagi di kursi tunggu halte.
"Oh iya, kenapa tadi mukanya cemberut gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Ficção AdolescenteStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...