🌷"Air mata akan keluar lewat perasaan, bukan dari pikiran."🌷
Baru saja Yina memasuki kostan-nya. Segera ia merebahkan diri di atas tikar yang lumayan usang sambil memandangi langit-langit rumah. Kantong obat pemberian tadi di letakkannya di atas perut.
"Kapan ya aku bisa bahagia? Aku capek, aku lelah. Aku ingin bahagia seperti orang lain," gumamnya sendiri.Air mata sudah tidak dapat dibendung lagi. Cucuran air bening itu meluncur begitu saja di kedua pipinya. Mengingat kondisi sang ayah di kampung semakin membuat pikirannya makin kalut. Apalagi sang ayah harus rutin melakukan cuci darah, tentu saja itu memerlukan biaya yang mahal.
Buru-buru ia menghapus air matanya kasar, kemudian duduk dan mengambil sesuatu di dalam laci.
"Baru 1 juta," monolognya, sembari mendesah kecewa. Memang, Yina memiliki tabungan sendiri. Walaupun receh tetap saja ia rajin menabung buat biaya ayahnya berobat dan untuk dirinya bertahan hidup. Itupun ia sudah lama sekali menabung, pernah sampai rela tidak makan demi duit kerjanya di tabung untuk biaya obat sang ayah.
Tok tok tok
"Yina buka pintunya!"
Suara perempuan yang tak asing baginya itu mengedor-ngedor pintu depan begitu keras. Kontan saja, Yina meletakkan kembali dompet kecil tersebut ke dalam laci dan menguncinya kembali. Setelah itu, ia berlari kecil menuju ambang pintu.
'Cklek!
Di hadapannya kini berdirilah ibu kost yang berkacak pinggang serta melotot tajam ke arahnya. Dimana di tangan kanannya ada kipas, serta memakai daster warna pink bercorak bunga tulip. Serta rambut yang digulung seperti sanggul.
"A-ada apa ya?" tanya Yina terbata-bata. Sebenarnya ia tahu alasan ibu kost itu mampir ke tempatnya.
"Ada apa, ada apa! Ini sudah tiga bulan kamu nunggak bayar kost. Mana uangnya!" Ibu kost tersebut menengadahkan tangannya, seraya memasang wajah angkuh.
"Sa-saya belum punya uang Bu, tolong kasih saya waktu," pinta Yina memohon, disertai akan kedua telapak yang mendingin.
"Halah, gitu aja terus, kapan ini bayarnya?! Kalau nggak bisa bayar mending nggak usah ngekost!" desaknya dengan intonasi makin menaik, hal itu sukses membuat hati gadis itu menyengat akan omongan pedas tersebut.
"Sekali ini ini saja Bu, kasih saya waktu." Yina terus memohon, seraya memegang kedua tangan ibu kost itu.
Sekilas ibu kost itu melirik tangannya yang di pegang oleh Yina. Kemudian ia menepisnya secara kasar, tak peduli dengan kondisi dari Yina.
"Baiklah, saya kasih waktu dalam dua bulan mulai sekarang. Jika masih tidak bisa bayar silahkan angkat kaki dari sini!" finalnya, masih bernada ketus. Tanpa berlama-lama ia pun beranjak pergi meninggalkan Yina yang beban pikirannya makin bertambah.
Sebetulnya Yina mempunyai uang simpanan. Tetapi uang tersebut harus digunakan untuk keperluan ayahnya agar sembuh seperti sedia kala. Ia cuma bisa menghela nafas berat. Bingung, bagaimana mencari uang untuk membayarnya. Sedangkan pekerjaan saja ia tidak punya. Di saat dirinya ingin berbalik badan, tiba-tiba saja rasa nyeri di kepalanya datang begitu saja. Sontak ia pun langsung memegang pintu. Pandangannya seketika itu juga jadi buram, seakan-akan cahaya di dalam rumah makin lama makin redup.
'Huft!
Benar saja, dalam hitungan detik tubuh Yina hampir ambruk, jikalau bukan karena Faiz sudah di pastikan ia akan terjatuh ke dasar lantai. Bisa-bisa dahinya sudah mengeluarkan darah, karena menghantam kerasnya keramik.
Faiz merupakan sahabat Yina dari kecil sampai sekarang. Ia adalah anak juragan dari pengusaha batu bara di Kalimantan Selatan. Untuk saat ini Faiz tinggal di Jakarta bersama ibu dan adik perempuannya. Sedangkan ayahnya masih berada di kalsel, mereka pun sudah menganggap Yina sebagai keluarganya sendiri.
"Yina!" Faiz mengguncang tubuh Yina yang mana wajahnya nampak pucat. Guncangan barusan tidak ada pergerakan, segera ia mengangkat Yina agar masuk ke dalam rumah dan membawanya ke dalam kamar.
Setelah membaringkan tubuh gadis lesu itu, cepat-cepat ia mencari minyak kayu putih. Kebetulan, barang yang di cari terletak di atas meja kayu. Secepat mungkin ia mengambilnya dan membukanya, lalu menuangkan isi minyak kayu putih itu ke telapak tangannya kemudian mengelusnya di hidung Yina. Berupaya agar gadis tersebut bisa sadar lagi.
"Yina sadarlah," katanya cemas campur takut.
"Eungh ..."
Perlahan namun pasti, kedua kelopak mata Yina mulai terbuka. Samar-samar ia bisa melihat wajah sahabatnya yang makin jelas terlihat.
"Faiz?" Untuk memastikan orang didepannya kini memang benar kenalannya atau bukan, ia beberapa kali mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Ternyata orang yang dilihatnya sekarang benar-benar nyata, bukan hanya ilusi ataupun mimpi saja.
"Iya, ini gue Faiz, lo kenapa Yin? Kenapa bisa jadi gini, terus ini kepala lo kenapa jadi ada perban? Ini juga siku lo jadi lecet gini karena apa?"
Baru juga sadar dari pingsan, ia sudah disambut Faiz dengan beribu pertanyaan yang beruntun. Tercetak jelas raut wajah cowok itu terbesit rasa kekhawatiran teramat dalam.
"Aku habis kecelakaan."
"Hah? Kapan? Dimana? Siapa yang nabrak lo?"
Lagi-lagi, pertanyaan beruntung dilontarkan kembali. Bagaimanapun juga ia harus menceritakan semua masalah yang menimpanya secara detail. Agar sahabat laki-lakinya itu tidak merasa cemas lagi terhadapnya.
"Ternyata Gino yang songong itu?!"
Setelah Yina bercerita, eskpresi wajah Faiz berubah jadi kesal dalam sekejap. Melihatnya, Yina memasang mimik heran. Dalam pikirannya, bagaimana bisa Faiz mengenal Gino.
"Kamu kenal?" tanya Yina langsung ke inti. Tanpa menatapnya, Faiz melemparkan tatapan berapi ke sembarang arah. Dimana kedua tangannya mengepal kuat.
"Gue bukan hanya benci sama dia, tapi gue juga benci sama orangtuanya!" jawab Faiz penuh penekanan. Nampak jelas raut wajahnya terbenam emosi mendalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Teen FictionStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...