🌼Chapter 57🌼

593 15 1
                                    

🌷"Kasih sayang ini tidak akan pernah padam, untukmu, akan terus kujaga hingga akhir hayat."🌷

"Ingrid Syina Ellisia"

  "Jaga omonganmu, Bu!" Kedua mata Yina menyorot marah, ibu-ibu   yang umurnya berkisar hampir mendekati kepala lima itu bangkit berdiri sambil berkacak pinggang, melotot tajam ke arah wanita muda yang berdiri dihadapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  "Jaga omonganmu, Bu!" Kedua mata Yina menyorot marah, ibu-ibu   yang umurnya berkisar hampir mendekati kepala lima itu bangkit berdiri sambil berkacak pinggang, melotot tajam ke arah wanita muda yang berdiri dihadapannya. Rupanya ibu-ibu itu ialah nenek dari salah satu murid di sekolah tersebut.

  "Lho kok marah? Kan emang benar apa yang saya bilang, ini itu acara hari Ayah, kenapa yang dibawa malah puisi tentang Ibu? Nyambung nggak? Enggak lah!" tegasnya, tidak peduli dirinya menjadi bahan bisikan dan tontonan semua orang disitu. Mengira akan terjadi perdebatan keras, Bu Rina buru-buru mendekati keduanya untuk melerai.

  "Bu, tolong berhenti, dan kembali duduk ke tempat semula." pintanya seramah mungkin, namun Yina tidak mau kalah, terlihat jelas kalau sekarang ia tidak selemah dulu lagi, yang selalu saja mengalah.

  "Ibu harus minta maaf pada anak saya." ucapnya, menahan kekesalan teramat dalam.

  Ibu itu dibuat makin emosi, ia mencengkram rambut Yina yang awalnya tertata dengan rapi menjadi amburadul dalam sekejap. Lantas saja orang-orang pada heboh dan mendekati, bukannya melerai, mereka hanya menonton dan sebagian penonton wanita pada berteriak tidak jelas, membuat suasana menjadi tak karuan lagi. Kursi-kursi pun juga sudah tidak teratur lagi. Sementara Gino masih diam ditempatnya, tatapannya tak berhenti fokus ke Yina seorang. Ia ingin mendatangi ke depan, namun diurungkan, sebab kalau ia muncul begitu saja, sudah dipastikan kemarahan Yina semakin memuncak.

  "Lepas!" Yina balik mencengkram rambut berwarna keputihan itu dengan kuat, sampai beberapa helai rambut berjatuhan ke bawah lantai.

  "Bu, sudah, Bu! Biar saya jelaskan kenapa Victor membawakan puisi tentang Ibu, itu karena dia sendiri yang pinta, dia ingin memberikan kejutan itu untuk ibunya. Dan Victor juga hanya memiliki ibu, maka dari itu dia ingin meluapkan betapa sayangnya dia sama ibunya, jadi tidak masalah dia baca puisi Ibu di hari Ayah, tidak ada yang melarangnya. Tolong Bu, jangan membuat hati anak sekecil itu sakit, tak ayal Bu Yina marah. Jadi saya mohon, untuk keduanya berhenti! Jangan membuat anak-anak yang lain ketakutan!" Bu Rina berbicara nyaring sampai tenggorokan terasa kering, nafasnya pun menjadi terengah-engah, menatap nyalang kedua orang yang kini sudah berhenti saling merenggut rambut lawannya, sebab ada beberapa yang menghalaunya.

  Sambil dipegang oleh orang-orang agar menahan dirinya, Yina menatap tajam ke arah lawannya yang memberontak ingin mencekik leher Yina. Nampak kedua mata Yina berkaca-kaca.

  "Anak saya itu tidak punya ayah, puas anda hah?!" Air matanya lolos begitu saja, hingga turun membasahi kedua pipi. Ibu itu perlahan berhenti memberontak, dan menatap Yina dengan tatapan yang tidak bisa dikatakan dengan kata-kata.

  Gino yang mendengarnya menjadi sesak, tanpa terasa cairan bening jatuh dari salah satu matanya, dimana dirinya masih setia memandang Yina. Wanita muda itu memberontak minta dilepaskan, setelahnya ia berlari kecil mendekati Victor yang sedari tadi berdiri di atas panggung tanpa bisa melakukan apa-apa. Yina pun dengan cepat menarik pergelangan tangan Victor, supaya pergi dari tempat yang membuat hatinya meradang itu.

  Melihat kepergian Yina, buru-buru Gino ingin mengejar, namun ada seseorang yang menarik tangannya. "Papa mau kemana?" Dilihatnya ke bawah, didapatinya Davin yang memandang dirinya dengan bingung.

  Sebentar Gino melirik ke arah Yina, tetapi ibu beserta anak itu sudah hilang dari pandangannya. Gino berdecak frustasi, mengabaikan Davin yang semakin dibuat bingung.

  Di luar, Yina masih meneteskan air mata. Ia menghapus kasar air mata itu dengan punggung tangannya, lalu berjongkok, memegang kedua pipi putranya yang nampak sendu, sambil menguraikan senyum paksa.

  "Kamu tidak apa 'kan sayang?" Victor menggelengkan kepala sebagai jawaban tidak, namun beda halnya dengan jawaban dari isi hatinya. Tanpa disuruh pun air matanya turun begitu saja, Yina menghapus lembut cairan bening itu dengan kedua jari jempolnya.

  "Sudah, tidak usah pedulikan omongan orang tadi oke?"

  "Victor sedih karena bunda di cengkram tadi, pasti sakit."

   Yina tetap tersenyum, meskipun cairan bening itu meluruh kembali. "Bunda tidak kenapa-kenapa kok, enggak sakit, serius." Yina mengangkat dua jarinya, hingga membentuk huruf V besar.

  "Terus kenapa bunda nangis?"

  "Bunda terharu sama Victor, karena tadi itu puisi yang dibawakan kamu bagus banget, sampai bunda tidak bisa berkata-kata lagi." ucapnya, yang membuat anak itu mengukir senyum senang. Ia pun memeluk Yina erat.

  "Terimakasih bunda, selalu ada untuk Victor. Victor janji kalau udah gede nanti, giliran Victor yang jagain dan membiayai hidup bunda." Apa yang dikatakan Victor barusan, sukses membuat Yina terharu.

  Yina melepaskan pelukan hangat itu, lalu mengecup puncak kepala Victor penuh akan kasih sayang. "Iya, terimakasih kembali." katanya, sembari mencubit pipi Victor pelan.

  "Gimana kalau gitu ke supermarket, mau es krim nggak?" tawarnya. Kedua mata Victor menjadi berbinar-binar, saking sukanya dengan es krim, ia berjingkrak-jingkrak, sehingga berhasil mengolah Yina tertawa.

  "Ayo bunda, cepat!" desaknya, sembari menarik tangan Yina.

  "Iya," balasnya, sembari geleng-geleng kepala kecil, lalu menyebrangi jalan. Dimana posisi supermarket terdekat disitu berada di depan sekolah, namun agak ke kanan lagi. Setelah menyebrang, mereka berdua berlari kecil, dikarenakan Victor sudah tidak sabar mencicipinya.

  Bertepatan dengan masuknya mereka, terlihat Gino baru saja keluar dari gerbang sekolah dengan nafas yang terengah-engah, matanya melirik kesana-kemari, menyisir keadaan. Ia terus mencari keberadaan Yina yang menurutnya belum jauh, tapi tak kunjung ia temukan wanita itu.

  "Sial, dimana mereka?!" Gino menggeram kesal karena terlambat, mau tidak mau, ia harus bersabar. Lelaki itu pun menyebrangi jalan, ingin pergi ke supermarket, lantaran itulah alasannya agar bisa lepas dari Davin untuk mengejar Yina, yaitu dengan alasan ingin keluar sebentar, mau membeli minuman. Tanpa menyangka ia akan bertemu lagi dengan seseorang yang dicarinya tadi.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Not Dream [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang