🌷"Di balik senyuman, terdapat kenyataan pahit yang tidak bisa dirasakan oleh siapapun."🌷
Terlihat di pinggir jalan, seorang gadis dengan rambut kepang satu tengah menahan rasa haus yang menyerang tenggorokan. Sesekali punggung tangannya menyeka keringat yang terus bercucuran di pelipis, bak pipa bocor. Digunakannya handuk kecil yang mengalungi lehernya itu untuk menyapu keringat.
Sendal jepit yang ia kenakan untuk melindungi telapak kaki dari panasnya aspal itu nampak putus sebelah. Terpaksa, ia harus melepas kedua sendalnya. Dan menjinjing sendal tersebut. Kerikil bebatuan menusuk telapak kakinya yang telanjang. Akan tetapi, hal itu tidak membuatnya putus asa untuk mengais rezeki.
Hari sudah menunjukkan tepat pukul 12 siang, cahaya matahari juga semakin terik. Naiknya makin ke atas, dan berhenti di tengah-tengah langit kebiruan. Bahkan burung-burung pun nampak enggan keluar dari sarangnya, seolah-olah hewan kecil bersayap itu juga merasa gerah dan memilih untuk berlindung di kediamannya.
Kepala Yina terasa memanas, karena mulai dari pagi sampai saat ini tubuhnya berjemur di bawah terik matahari. Tanpa pelindung apapun, yang bisa melindungi kepalanya dari terik matahari yang makin menyengat, jauh dalam lubuk hatinya ingin istirahat sejenak. Namun sayang sekali, koran yang di jual baru laku dua saja.
"Korannya pak?" tawar gadis bernama lengkap Ingrid Syina Ellisia itu dengan halus. Ketika lampu merah menyala, memang sudah kebiasaannya untuk menawarkan barang dagangan.
Pria di dalam mobil sport hitam itu menggeleng, tanda bahwa menolak. Yina tersenyum paksa menanggapi, kemudian beralih lagi ke pria satunya yang sebagai penumpang ojek.
"Mau beli koran, Kak? Berita-beritanya pun juga masih hangat-hangat. Harganya cuma lima ribu kok, murah lho." Tak putus asa, ia pun menawarkan ke orang berbeda lagi, sembari memperlihatkan koran di tangannya.
"Maaf Dek, saya nggak beli," tolaknya, disertai akan senyum kecil. Yina menghembuskan nafas kecil, lalu dirinya tersenyum dan mengangguk untuk kesekian kalinya.
"Maaf mengganggu Kak, kalau begitu saya permisi dulu," pamitnya ramah dan dibalas berupa anggukan kecil oleh pria tadi.
Lampu hijau kembali menyala. Dengan cepat, gadis penjaja koran itu berpindah posisi ke pinggir jalan. Dimana jalannya terlihat terpincang-pincang, dikarenakan telapak kakinya terasa sangat sakit.
"Huh, aku nggak boleh menyerah." Yina memberhentikan langkah, Kemudian menarik nafas dalam-dalam, lalu di keluarkan secara perlahan.
"Semangat Yina!" semangatnya ke diri sendiri sambil mengepalkan tangan seperti sedang melakukan kepalan kemerdekaan.
Tap
Tap
Tap
'Bruk!
Yina tersungkur ke tanah. Sebab ada seseorang yang menabraknya. Koran-koran itu berhamburan begitu saja, bahkan ada yang di tiup angin.
"Sorry ... gue nggak sengaja, lo nggak papa 'kan?"
Cowok yang memakai hoodie abu-abu itu memegang tangan Yina untuk membantunya berdiri. Seusai memungut koran yang berjatuhan akibat dirinya.
"I-iya, nggak papa kok," ucapnya agak terbata-bata. Sebab sekarang ia berhadapan langsung dengan cowok berparas sangat tampan baginya itu lagi menatapnya. Ya, menatapnya tanpa berkedip.
"Ya Tuhan, dia benar-benar tampan." Ia membatin takjub. Tanpa disadari kedua pipi gadis itu merona merah, bak udang rebus.
"Hello, lo nggak papa?"
Cowok belum diketahui namanya itu beberapa kali mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan wajah Yina. Sontak saja kesadaran si gadis kembali normal. Dan dirinya merasa malu.
"Oh iya, aku nggak papa," jawabnya malu-malu, sembari menyelipkan rambut ke telinga. Bibirnya yang kering menarik senyum kikuk.
Alis cowok itu terangkat sebelah, seraya meneliti penampilan Yina dari atas sampai bawah. Seakan-akan lagi meintrugasi.
"Ke-kenapa?" Dengan gugup Yina bertanya, saat ia menyadari cowok tadi menatapnya begitu intens. Seperti tengah menyelidiki sesuatu.
"Oh, nggak papa kok."
Drrrtttt
Bunyi telpon berdering nyaring di dalam celana jeans cowok tersebut. Sesegera mungkin ia mengambil gawai tersebut dan menggeser tombol hijau. Hingga terdengar suara seseorang diseberang sana.
"Bro, lo di mana sih? Ini presentasi kita mau di mulai. Cepetan WOI!" ketus seorang cowok dari sebrang telpon, dapat memekakkan gendang telinga.
"Gila lo! Sudah tau suara nyaring kayak toa masih aja teriak-teriak. Lama-lama kuping gue BUDEG!" omelnya, sambil geleng-geleng kepala.
"Iya, sorry. Cepetan elah, berkarat juga gue nungguin. Kek berkarat nunggu kedatangan doi."
"Ya, ya, cerewet!"
'Tuut!
Sambungan telpon terputus. Cowok tersebut mengulurkan tangannya sambil mengulum senyum. Setelah berdehem sebentar.
"Gue Gino, kalau lo namanya siapa?" Cowok bernama Gino itu mengulurkan tangan kanan. Menunggu-nunggu balasan yang diajak bicara, dirinya tidak sungkan untuk berkenalan
Disaat Yina ingin membalas jabatan itu, harus tertunda otomatis. Sebab bunyi telpon cowok itu berbunyi untuk yang kedua kalinya.
Drrttt
Lantas saja Gino menurunkan jabatannya, lalu kembali mengangkat telpon. Terlihat jelas raut wajahnya kesal.
"Apaan lagi sih bangke?!"
"Lo tuh yang ngapain bangke?! Bu Iis nih koar-koar dari tadi manggil nama kita!"
"Ck! Iya, otw!"
"Pala lo otw!"
"Bacot!"
'Tuut!
Setelah mematikan telpon secara sepihak, Gino memasukkan ponselnya kembali ke dalam kantong celana. Kemudian menatap gadis yang masih berada dihadapannya.
"Gue duluan!" pamitnya dan di angguki Yina kecil. Ia meratapi punggung Gino yang mulai menghilang, hingga senyum manisnya terbit.
"Gino ya namanya," gumamnya, yang dimana pipinya makin memerah.
Sekedar pemberitahuan, cerita ini akan membuat kalian kesal sendiri. Kita lihat saja nanti, pasti banyak yg gereget sama tokoh-tokoh disini, rasanya pengen nyantet online wkwk. Kalau tidak mau baca yg bikin emosi, kusarankan tidak usah baca. Ntar malah aku yg kalian marahi :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Dream [End]✓
Подростковая литератураStory 6 Ingrid Syina Ellisia harus menanggung beban yang amat berat di dalam hidupnya. Ia harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan sang ayah yang ada di kampung. Terpaksa Yina setiap hari harus berjualan koran, demi sesuap nasi. Sedang...