Gue, grandma, dan grandpa memasuki ruang tunggu penumpang sampe gate kita dibuka. Gue memilih untuk duduk di samping jendela supaya gue bisa melihat dengan jelas detik-detik gue pergi dari tanah air dengan nama baik gue yang udah tercoreng ini.
Perjalanan lebih dari 20 jam ini buat gue overthinking tentang semua yang akan gue jalani. Seharusnya gue bahagia, gak sabar untuk memulai hidup baru, tapi ternyata yang gue rasa berbeda. A little bit numb.
Sesampainya di Helsinki Airport, kita disambut oleh Aunty Camilli beserta mantan suaminya, dan juga keluarga kecil Uncle Camilo. Ahh ... I should be happy! Aunty Camilli yang tau segala hal tentang gue dan Arananda, langsung peluk gue dan kita menangis bersama di sini. Hari ini mungkin sampe tujuh hari ke depan, Aunty Camilli akan nginep di rumah grandma dan grandpa buat nemenin gue bercerita.
Gue beli hp dan nomor baru, jadi gak ada yang bisa mengontak gue. Lagipula di hp lama juga gak ada nomor siapa-siapa. Hp gue yang lama, pertama dan kedua, disimpen di koper gue dan dikunci. Dimatiin juga karena berharap gue gak buka-buka hp itu lagi dan mengulang kenangan pahit yang pernah terjadi terutama di Indonesia.
Malam pertama gue di Helsinki, kita makan malam di tengah dinginnya suasana kota, juga dinginnya hidup gue. Padahal kekeluargaan yang tercipta di sini cukup hangat, tapi gak bisa menghangatkan jiwa gue yang kosong.
Malam pertama juga, gue tidur ditemenin sama Aunty Camilli sekaligus deep talk untuk menceritakan segala hal yang terjadi belakangan ini. Bisa-bisanya ya gue seakrab ini sama dia padahal dulu gue sebenci itu sama dia.
"How do you feel right now?"
"Numb. Pathetic."
"You can't contact him at all? How about your relationship?"
"No, I don't know! It just like ... fading away ...."
"Aw, gurl! I know you're stronger than this! And I know you will be happy to live with us here! Don't worry!"
"I'm not worried, I don't feel anything instead."
"You will! If you need my help, I'll be right here for ya. If I come back to Switzerland , you can join me!"
"Thanks for the offer, Aunty."
"Consider me as your mother." Aaahhh! Dulu gue benci banget dan gak pengen banget dia jadi mama tiri gue, but I really need it now. So I cry and hug her tight.
"Baby ..." She hugs me too and comforting me. Then sleep beside me until the morning comes.
Aunty Camilli masih menginap di sini selama seminggu. Mereka berusaha keras membuat gue bahagia dan gak merasa sendirian. Meksipun begitu, tetep aja gue merasakan hal itu. Sendiri, hampa, dan blank out, tapi gue gak mau membuat mereka kecewa atau merasa gagal. Jadi gue pura-pura bahagia selama ini.
Pada awalnya gue bisa tuh tahan berpura-pura bahagia di minggu pertama, lalu lanjut minggu kedua. Pas minggu ketiga menuju minggu keempat, gue mulai kehabisan tenaga dan gak bisa lagi kontrol emosi gue sendiri. Terutama setelah Aunty Camilli akhirnya rujuk sama mantan suaminya dan sibuk dengan keluarga barunya. Gue jadi lebih sering sendirian. Gue kangen papi, kangen Aranda, kangen mami juga, tapi gak ada yang bisa gue lakuin. Semuanya seperti udah lenyap ditelan bumi.
Gak jarang juga gue suka menyakiti diri gue sendiri, tapi gak ada yang tau dan gak ada yang curiga juga. Gue gak cuma cutting, tapi suka sengaja menunda makan dan bilang kalo udah makan biar gue sakit. Gue juga suka melakukan kekerasan ke diri gue sendiri yang dulu pernah gue lakuin ke Aranda. Capek banget rasanya hidup dalam kepura-puraan. Gak tau berapa lama lagi gue bisa bertahan kayak gini. Gue juga tau balik ke Indonesia pun bukan sebuah jalan keluar. Masalah ini gak punya jalan keluar! Apakah gue bisa bertahan lebih lama lagi?

KAMU SEDANG MEMBACA
Crush with Benefits
Romance"Hidup di belakang topeng dan menari di atas panggung." Kiasan yang cocok untuk Estella Beatrice dan Mischa Arananda di saat kehidupan sempurna mereka terbantah dengan preferensi menyimpang yang mereka lakukan untuk melampiaskan beban kehidupan.