94 Aku tidak mau!

5.6K 937 65
                                    

Xavier berdiri di dekat jendela, melihat sinar mentari pagi hari yang mulai terlihat. Sudah dua hari berlalu sejak kedatangan rombongan Farenzo, begitu juga perginya kelompok itu ke wilayah hutan mati.

Tidak ada kabar dan tanda-tanda kepulangan mereka dari hutan mati.

Xavier menutup matanya. Setetes cairan bening mengalir membasahi pipi. 'Farenzo, kakak mohon ... tetaplah hidup,' batin Xavier berharap.

Tok tok tok.

Xavier segera menghapus air matanya. Lalu memasang ekspresi wajah datar. "Masuk," ujarnya.

Zeil membuka pintu, kemudian masuk ke dalam ruangan. "Kak Xavier."

"Ada apa?" tanya Xavier. Dia melihat sosok Zeil yang terlihat ragu-ragu dan menghindari kontak mata dengannya. "Katakan," ucap Xavier menekan.

Zeil mengepalkan tangannya dengan erat, lalu mendecakkan lidahnya. "Kau belum makan selama dua hari-" Zeil menggigit bibirnya.

"A-aku tidak mengatakan ini karena khawatir pada mu, tapi kau harus makan," seru Zeil panik.

Zeil melihat wajah Xavier yang masih terlihat datar. Dia pun mengeluarkan batuk palsu, "Ekhem."

"Aku tahu kau mengkhawatirkan Farenzo, tapi-" Zeil menjeda ucapannya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Aku yakin Farenzo akan baik-baik saja," ucap Zeil dengan suara lemah.

Zeil memang merasa kesal saat dirinya di kalahkan oleh Farenzo dalam duel pedang, hal itu membuat dirinya di kurung selama dua bulan.

Zeil juga tidak senang saat melihat kedatangan Farenzo. Perjuangan dirinya selama di kurung dua bulan terbuang sia-sia, saat melihat Farenzo yang kembali ke wilayah setelah berhasil keluar dengan susah payah.

Farenzo adalah adiknya yang bodoh, benar-benar bodoh, dan sangat bodoh.

Meski begitu, Zeil tidak ingin adiknya terluka. Dia juga merasa khawatir karena belum melihat tanda-tanda kepulangan kelompok Farenzo dari hutan mati.

Dan Zeil juga tidak suka cara kakaknya yang menghukum dirinya sendiri dengan tidak makan sejak kepergian kelompok Farenzo ke hutan.

"Kak Xavier-"

"Aku tidak mengkhawatirkan Farenzo," ujar Xavier datar. Dia mengalihkan pandangannya melihat ke arah gerbang kediaman. "Dan aku juga tidak lapar," lanjutnya.

'Bohong,' batin Zeil.

Zeil mengepalkan kedua tangannya. Rahangnya mengeras, dan memberikan tatapan tajam ke arah Xavier. "Kak Xavier-"

"Ugh."

Zeil mengambil langkah maju, lalu menangkap tubuh Xavier yang terhuyung ke depan. "Kak Xavier!" seru Zeil khawatir.

Xavier mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Dia menggigit bibirnya menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya yang kembali terasa setelah beberapa hari yang lalu.

Sayangnya, rasa sakit itu harus muncul di saat Zeil sedang bersamanya. Seharusnya dia langsung mengirim Zeil keluar dari ruangan segera, agar tidak melihat kondisinya saat ini.

"Uhukk uhukk."

Zeil melebarkan matanya melihat Xavier yang baru saja memuntahkan seteguk darah. "Da-darah," ujar Zeil terbata-bata.

'Sial,' umpat Xavier. Ini adalah sesuatu yang tidak ingin dia tunjukkan pada adik-adiknya. "Zeil, keluar dari ruangan ini sekarang, aku baik-baik saja," ucap Xavier datar.

Xavier mencoba melepaskan diri dari pelukan adiknya, tapi kondisinya saat ini membuat tenaganya melemah sehingga dirinya gagal melakukan hal itu.

"Zeil, lepaskan pelukanmu dan keluar dari ruangan ini," ucap Xavier dengan suara sedikit keras.

Suddenly Became A ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang