41. Bujukan Terakhir (1)

134 30 0
                                    


Kelopak mata terpejam erat. Tubuh diselimuti rasa nyeri. Lalu aroma obat-obatan herbal yang menusuk hidung. Semua ketidaknyamanan ini membuat kelopak mata Wona terbuka secara perlahan. Dia awalnya masih beradaptasi dengan tempatnya saat ini berada. Namun, setelah mengingat apa yang sebelumnya terjadi, kelopak mata Wona langsung terbuka lebar. Dia terbangun sembari melirik ke kanan dan ke kiri.

"Maxiem?"

Meskipun Wona melirik ke kiri dan ke kanan, tetapi dirinya tak menemukan Maxiem. Tepat di ruangannya saat ini, hanya terdapat para pelayan istana yang terkejut dengan bangunnya Wona. Mereka segera menghampiri Wona, dan bertanya, "Nyonya, bagaimana keadaan tubuh Anda saat ini? Apa ada yang terasa sakit?"

Jantung Wona berdenyut, sementara matanya berkaca-kaca. Rasa sakit di tubuhnya menghilang, digantikan dengan perasaan sesak di dadanya. Bukannya membalas pertanyaan sang pelayan Istana, Wona malah bertanya, "Di mana suamiku? Bagaimana keadaannya?!"

"Tuan Gyura dirawat di ruangan yang ada di ujung aula istana---" Belum sempat para pelayan mengakhiri ucapannya, Wona sudah lebih dulu menyibak selimutnya, dan menurunkan kakinya ke lantai. Dia tak memedulikan rasa pegal yang dirasakan di tubuhnya. Karena yang ada di pikiran Wona hanyalah kondisi Maxiem seorang.

"Nyonya, kondisi Anda belum baik. Lebih baik Anda beristirahat dulu," bujuk salah satu pelayan.

Telinga Wona lagi-lagi menuli. Dia segera pergi ke pintu keluar, dan berjalan ke arah ujung aula. Bahkan, ketika para pelayan dari mansion datang dan memintanya kembali beristirahat, Wona masih tetap berjalan ke arah ruangan sang suami.

"Nyonya Jene!"

Dengan langkah gontai, Wona berhasil melewati satu persatu ruangan. Kakinya berhasil menapak di depan ruangan di mana Maxiem sedang dirawat. Lalu ketika matanya melihat ke arah ruangan itu, Wona semakin merasakan pukulan pada dadanya. "Maxiem!"

Di atas tempat tidur, tubuh Maxiem dibalut perban. Kelopak matanya ditutup oleh kain putih, sementara tubuhnya diam di tempat seperti mayat hidup. Jika dadanya tak bergerak naik dan turun secara perlahan, mungkin Wona akan menyangka jika Maxiem telah tiada.

"Maxiem!"

Tak ada satu pun tabib atau pelayan istana yang mampu mencegah Wona menemui Maxiem. Mereka memberi jalan kepada Wona, hingga akhirnya Wona bisa berada di depan ranjang sang suami, sembari duduk di kursi yang ada di sampingnya.

"Maafkan aku. Ini kesalahanku," gumam Wona.

Satu persatu tetes air mata jatuh ke atas ranjang. Wona ingin menggapai jemari tangan Maxiem, dan menguatkan Maxiem di tengah kondisinya yang buruk. Namun, Wona takut menyakiti jemari Maxiem yang masih terluka, jika dia ingin melakukannya. Pada akhirnya, Wona hanya bisa duduk dan menundukkan kepala. Tangannya mengepal kuat, dan air matanya jatuh ke punggung tangannya.

"Bagiku keselamatanmu lebih penting daripada keselamatan kerajaan ini."

Perlahan, satu persatu perkataan Maxiem masuk dan menyelusup ke hati Wona. Wona masih ingat jelas, perkataan Maxiem yang mementingkan keselamatan sang istri dibanding dirinya sendiri. Lalu sekarang? Di saat Wona aman, Maxiem lah yang celaka.

"Maxiem selalu mengutamakan keselamatanku. Tapi aku? Aku malah membuatnya celaka," gumam Wona.

Wona mengusap air mata yang terus jatuh. Namun setelah diusap, air mata lainnya kembali tergenang di matanya. Dia akhirnya melirik ke arah Maxiem, dan kembali merasa bersalah ketika menemukan mata Maxiem tertutup dengan kain berwarna putih.

"Sekarang, pulanglah dengan selamat dan beristirahatlah sepuasmu. Karena besok, setelah aku pulang... aku tak bisa memastikan tidurmu akan tenang di malam hari lagi, Kak Won."

Jangankan beristirahat, Wona bahkan tak bisa menutup kelopak matanya dengan tenang setelah melihat kondisi sang suami. Dia hanya bisa menegarkan dirinya sendiri, dan berniat menjaga sang suami sampai pria itu sadar kembali. Tak ada sedikit pun niat Wona untuk pergi dari tempat duduknya, apalagi ketika dirinya melihat bibir kering Maxiem yang terkunci rapat, tanpa suara.

"Baiklah, aku akan menutup mulutku tanpa kau peringati lagi, Kak Won."

Baru kali ini, Wona tak suka jika Maxiem terus menutup mulutnya. Padahal biasanya Wona selalu memerintahkan Maxiem untuk menutup mulutnya. Namun sekarang? Wona merindukan setiap kata tak penting, yang Maxiem ucapkan sehari-hari. Dia tak keberatan jika Maxiem kembali bersuara dan menggangu indera pendengarannya.

Wona berucap, "Maxiem, cepatlah sadar. Rasanya tak enak, jika aku meminta maaf pada orang yang tengah tak sadarkan diri."

"Aku tak keberatan jika kau kembali berkata asal-asalan. Asalkan kau kembali sehat, dan terus bersamaku lagi. Aku membutuhkanmu," pinta Wona dengan mata berkaca-kaca.

Tak ada jawaban dari bibir kering Maxiem, hingga akhirnya tangisan di mata Wona semakin membanjiri pipinya. Wona tak kuat melihat Maxiem yang tak berdaya dan lemah seperti ini. Namun, seberapa keras Wona meminta, Maxiem tak kunjung sadar. Pria itu masih menutup rapat bibirnya, apalagi matanya yang masih ditutup kain.

"Maxiem... kumohon. Jika kau sudah pulih, aku janji akan mengabulkan semua keinginanmu. Meskipun itu hal aneh sekali pun," bujuk Wona.

Lagi-lagi bujukan Wona gagal, dan Wona akhirnya menutup rapat bibirnya. Wanita itu mendekatkan wajahnya ke arah wajah Gyura, kemudian mendaratkan bibirnya tepat di bibir sang suami. Wona mencoba memberikan dukungannya lewat kehangatan ucapan dan tindakannya. Namun akhirnya, air mata dari matanya tak bisa berhenti menetes dan membasahi perban Gyura.

"Cepatlah sembuh," bisik Wona.

Ketika Wona sudah puas mencium suaminya, seorang pelayan istana datang ke ruangan Maxiem lalu berkata, "Nyonya, pemeriksaan pada Tuan Gyura akan segera dilaksanakan. Anda tidak perlu khawatir, Tuan pasti akan segera sadar."

Wona langsung melirik ke arah pelayan, dan bertanya, "Bagaimana keadaannya? Kenapa dia masih belum sadar? Apa lukanya cukup serius?"

Si Pelayan mendadak tergagap. Wanita itu kebingungan memilih kata untuk diucapkan pada Wona, hingga akhirnya dia mau berucap, "Karena efek dari ledakan, tubuh Tuan memang dipenuhi luka. Namun, karena Tuan masih memiliki gen kutukan yang kuat, dia masih bisa bertahan sampai saat ini. Anda tak perlu khawatir, dia pasti akan segera sembuh."

"Tapi soal matanya... karena asap aneh... mata Tuan sepertinya bermasalah... dan Anda jangan khawatir, para tabib akan segera mengobatinya," jelas Pelayan itu.

Wona menarik dan mengeluarkan napas panjang. "Syukurlah, gen kutukan itu ternyata masih memiliki manfaat untuk suamiku."

"Lalu... Nyonya Gloria? Bagaimana dia? Di mana dia sekarang?" tanya Wona.

•••

SISI ANTAGONIS #Meanie [Ongoing]⚠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang