29. Panggilan Malam (2)

353 50 0
                                    

Awan kelabu menyebar di atas langit. Cahaya mentari telah tenggelam, dan daun-daun kering beterbangan di luar mansion. Diam-diam, Wona pergi ke luar mansion untuk mengantar kepergian sang suami ke istana. Wanita itu menunggu di depan taman, tanpa ada seorang pun pelayan yang dimintai menemaninya.

Sejujurnya ada perasaan tak puas, karena Maxiem harus pergi ke istana, padahal baru pulang beberapa jam saja. Wona masih ingin mendengarkan celotehan Maxiem, dan kenyataannya pria itu sudah mendapatkan tugas baru lagi. Hal ini membuat Wona mengeluarkan napas panjang, kemudian duduk di salah satu kursi taman.

"Padahal ada bagusnya jika Maxiem bergerak cepat menamatkan ceritanya, tetapi kenapa aku malah merasa tak enak seperti ini?" gerutu Wona.

Wona mendongak, dan matanya bisa melihat sebagian bulan purnama yang terhalangi oleh awan kelabu. Tanpa sadar jemari tangannya terangkat ke atas, kemudian berusaha menyentuh bulan. Sayangnya, alih-alih menyentuh bulan, Wona malah menutup bayangan bulan untuk terlihat di matanya. Wanita itu perlahan menurunkan sudut bibirnya, sembari bergumam, "Aku tidak boleh merasakan perasaan seperti ini. Ini tidak baik. Aku tak boleh bersikap seperti Jenevith yang egois."

Ketika jemari tangan Wona berniat turun dari genggamannya terhadap bulan yang tak tergenggam, tiba-tiba Wona merasakan tangan Gyura membalut tangannya. Hangatnya telapak tangan besar Gyura terasa nyata di punggung tangan Wona yang lebih kecil. Wanita itu memelototkan mata, dan ketika dia berbalik, mata rubahnya bisa menemukan sosok sang suami yang berdiri di belakang kursinya dengan gigi taring yang terlihat sedikit demi sedikit.

"Maxiem?" Wona segera berdiri dari duduknya. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, mencoba memeriksa apakah ada pengawal ataupun pelayan yang menemani Maxiem. Namun nyatanya, Maxiem berada di belakangnya seorang diri dengan senyuman tak berdosa.

"Kenapa kau malah ke sini? Bukannya kau harus segera pergi ke istana? Di mana para pengawal?" tanya Wona.

Bukannya langsung menjawab, Maxiem malah duduk di kursi yang sebelumnya Wona duduki. Pria itu tersenyum tipis, dan memperhatikan bulan yang mulai tertutupi awan sepenuhnya. Setelah itu, dia melirik ke arah Wona lalu memberitahu, "Para pengawal membutuhkan istirahat setelah bertarung. Mereka sekarang sedang makan, dan aku meninggalkan mereka makan, karena aromamu menjauh dari mansion."

"Lalu setelah aku selidiki, rupanya kau berada di luar. Sedang apa kau di sini?" tanya Maxiem.

Wona mengeluarkan napas panjang, lalu menjawab, "Aku... aku..  aku hanya sedang mencari udara segar. Rasanya menyesakkan jika aku harus terus dikelilingi orang-orang, seperti yang Jenevith inginkan."

"Sesekali aku butuh waktu sendirian," gumam Wona.

Maxiem tersenyum, lalu berkata, "Kau benar-benar ingin sendiri? Oleh karena itu, kau tak mendatangiku juga? Apa kau tak merindukanku?"

Wona menjawab, "Bu... bukan seperti itu! Aku tak mendatangimu karena kau harus istirahat---"

Belum sempat Wona menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Maxiem menyipitkan matanya. Tanpa menunggu Wona menyelesaikan ucapannya, tangan pria itu menarik lengan Wona ke arahnya. Dia berhasil membuat tubuh Wona kehilangan keseimbangan, lalu terjatuh tepat di paha Maxiem.

"Kau terlalu banyak berpikir, Kak Won," bisik Maxiem tepat di samping telinga Wona.

Perlahan, lengan Maxiem melingkari tubuh Wona. Pria itu menghirup aroma manis yang dikeluarkan tubuh sang istri, sementara Wona merasakan jantungnya berdetak kencang. Wanita itu merindukan kehangatan yang berasal dari tubuh sang suami, sampai keduanya tak sadar ketika awan kelabu berkumpul dan berhasil menutup cahaya bulan purnama secara menyeluruh.

"Jika tak ingin pikiranmu terbebani, katakan apa yang ingin kau katakan padaku tanpa banyak berpikir," lanjut Maxiem.

Kedekatan dan kebersamaan keduanya berlawanan dengan peran mereka. Langit semakin menggelap, begitu pula dengan angin yang berembus semakin kencang. Lambat laun, detik pada jam terasa melambat sampai di angka dua belas. Deru napas Maxiem terasa panas di leher Wona, hingga akhirnya Wona merasakan bibir Maxiem mendarat tepat di lehernya.

"Aku merindukanmu," bisik Maxiem.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SISI ANTAGONIS #Meanie [Ongoing]⚠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang