🍒71

363 40 24
                                    




Sudah hampir seminggu Jeno terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, tubuhnya tak bergerak sedikit pun, hanya suara mesin monitor yang menjadi tanda bahwa ia masih ada. Di ruangan itu, rasa cemas dan kesedihan menggantung seperti kabut tebal, membungkus siapa pun yang berada di dalamnya. Dua wanita paruh baya duduk di dekatnya, mata mereka bengkak karena terlalu sering menangis.

Taeyong, dengan tangan gemetar, menggenggam jemari putranya yang dingin. Wajahnya penuh harap sekaligus luka yang mendalam. Di sisinya, Jungkook duduk di sofa bersama Yeonjun, berusaha keras menahan diri agar tidak terlihat rapuh, meski dadanya sesak.

“Jen...” suara Taeyong terdengar parau, hampir tak berbentuk. “Bangun, Nak. Jangan hukum Bubu seperti ini. Bangun...” Air matanya akhirnya tumpah, jatuh satu per satu membasahi tangan Jeno yang tak memberi respons. “Adek sama Jeno janjian mau hukum Bubu, ya, Nak? Hiks... Jangan gini, Nak...”

Tangisnya pecah seutuhnya, membuat suasana yang sudah sunyi terasa lebih mencekam. Tubuhnya gemetar, seolah ambruk oleh beban yang terlalu berat. Jungkook akhirnya bangkit, menghampiri wanita itu dan merengkuhnya ke dalam pelukannya.

“Eonni...” Jungkook berbisik, suaranya bergetar, tapi ia berusaha terdengar kuat. “Jangan salahkan dirimu sendiri. Ini takdir. Adek dan Jeno... mereka akan baik-baik saja. Kita harus percaya. Suami-suami kita akan menjaga adek. Tugas kita sekarang adalah menguatkan Jeno di sini. Jadi, Eonni... tolong, kuatlah. Demi mereka.”

Namun, kata-kata itu tidak cukup. Bahkan Jungkook tahu, ia pun hancur di dalam.
Meski Jungkook berusaha terlihat tegar, hatinya sendiri dilanda kecemasan yang tak terkatakan.

Di sudut ruangan, Yeonjun hanya bisa menatap mereka dengan air mata yang terus mengalir. Perasaan bersalah dan takut memenuhi hatinya. Sejak hamil, ia lebih sering menangis, bahkan untuk hal-hal kecil. Tapi kali ini, bukan hormon yang menyebabkannya. Itu adalah ketakutan kehilangan orang yang ia anggap sebagai adiknya sendiri.

Namun tiba-tiba...

“Biiiiiiip!”

Suara panjang dari monitor memecah ruangan. Garis lurus memenuhi layar. Waktu seolah berhenti.

“Jen... Jeno... Enggak, Jen! Enggak!” Taeyong berteriak histeris, mengguncang tubuh putranya yang tetap diam. Tangisnya kembali pecah, kali ini seperti seorang ibu yang benar-benar putus asa.

“Aku panggil dokter!” seru Yeonjun tergesa-gesa. Ia berlari keluar ruangan setelah tombol darurat yang ditekan Jungkook tidak segera mendatangkan siapa pun.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dengan kasar. Mingyu masuk, wajahnya penuh kecemasan. “Kookie, bawa Taeyong keluar!” perintahnya.

Jungkook mengangguk dan dengan lembut menarik Taeyong yang memberontak dari sisi Jeno.

“Enggak, Kookie... Enggak! Anak aku baik-baik aja, kan? Hiks... Jangan bawa aku pergi! Aku harus di sini! Aku harus bersama Jeno!” teriak Taeyong, suaranya serak. Tangannya meraih-raih tubuh putranya yang semakin jauh dari pandangannya.

Namun Jungkook tetap memeluknya erat, mencoba menenangkan wanita itu meskipun hatinya sendiri berantakan. “Eonni, tolong... aku mohon. Percayakan Jeno pada mingyu. Dia kuat. Dia akan bertahan...” Bisiknya lemah, meski ia sendiri tak yakin dengan ucapannya.

Di luar ruangan, Yeonjun dengan cepat menghubungi suaminya yang saat itu sedang membahas kasus ini bersama ayahnya bahkan keluarga jung turut serta di sana. Tidak butuh waktu lama, Jaehyun dan Taehyung datang dengan langkah tergesa, wajah mereka penuh kecemasan.

“Jae... Jae...” Taeyong berlari ke arah Jaehyun begitu melihat suaminya. Ia langsung jatuh dalam pelukannya, tubuhnya gemetar hebat. “Jeno... Jeno, hiks... Anakku...”

Jung BeomgyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang