~chapter 1 : A Shameful Little Incident

41.7K 758 5
                                    

"Ingat, kau tidur di bawah. Sedangkan aku di atas kasur", tegasku kepadanya dengan menunjuk ke arah fluffy white carpet yang ada di bawah kasur. 

"Mengapa harus begitu?" tanyanya lalu menaikkan sebelah alisnya untuk menyelidik.

"Ohh, God. You know, aku sudah mengatakannya dari awal padamu. Kalau kita tidak akan pernah satu ranjang, bukan?" ucapku sembari melepaskan sepatu pernikahanku dan meletakkannya di box yang kusiapkan agar kelak aku bisa memakainya lagi pada pernikahanku yang sebenarnya, maksudku dengan pria yang benar-benar kucintai.

Aku mencoba mengingat ketika Hellyn membelinya di toko pernikahan. Aku tahu, kebahagiaannya yang begitu besar membutakannya dari suatu kenyataan. Dimana aku menikah dengan pria yang sama sekali tidak kucintai. Bahkan di umurku yang masih terbilang muda, 19 tahun. Ini semua karena janji konyol Daddy dengan Ludwig, pria yang sebaya dengan Daddy yang kini menjadi ayah keduaku. 

"Hey.. Ayolah Chris, mana mungkin aku tidur di bawah. Lagi pula aku tak akan menyentuhmu", tolaknya sembari membuka jasnya dan menggantungkannya ke atas kursi. Aku tersadar dari lamunanku dan segera berdiri. 

"Apa katamu? Kau bisa saja menyentuhku saat aku terlelap. Kau pikir aku bodoh?" tegasku lagi. 

"Kau di bawah dan aku di kasur", perintahku. 

Aku lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri karena kurasa seluruh badanku lengket membuatku merasa tak nyaman. Untunglah pesta pernikahan sialanku itu sudah berakhir. Entah kenapa aku bisa terjebak di situasi yang membuatku terpuruk. Aku akan menjalani hari-hari yang buruk setiap hari bersama pria yang sama sekali tidak kucintai. 

Aku mencoba menarik resleting yang berada di bagian belakangku. Ohh.. Shit. Kenapa ini susah sekali? Ohh, come on, batinku mengerang. Aku tak mungkin meminta tolong ke pria brengsek itu. Ini sama saja aku melakukan hal paling konyol. Terkutuklah aku yang memilih gaun sialan ini. 

"Walton, apa kau masih di situ?" panggilku. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya aku menarik resleting belakangku sehingga aku mencoba meminta tolong kepadanya. Pasti dia akan berpikir kalau aku akan menggodanya. Arrrgghh.. terkutuklah kau, Chrisella Werner, erangku lagi. 

"Ada apa, Chris?" tanyanya.

"Masuklah", jawabku dengan sedikit harap-harap cemas.

"Apa?" tanyanya lagi. Mungkin dia merasa kebingungan karena tentu saja ini adalah hal yang memalukan. 

"Kubilang masuklah Walton", bentakku. Aku tak kuasa menahan guratan emosiku karena ini membuatku menjadi seorang penjilat besar.

Kulihat pintu mulai terbuka membuat jantungku berdegup kencang. Aku melihatnya yang kini memakai boxer hitam dan kaos putih tengah berdiri di hadapanku. Entah kapan ia mengganti pakaiannya, mungkin di saat aku mencoba membuka resleting sialan ini yang cukup memakan banyak waktu. Namun, spontan aku menutup kedua mataku. Aku tak terbiasa melihat seorang pria memakai boxer di depanku. What the hell, apakah ia akan berpikir aku akan bercinta dengannya semalaman? Ohh, shit, batinku mengernyit. 

"Kau tidak perlu seperti itu. Kau akan terbiasa melihatku begini setiap malam. Cobalah untuk membiasakan dirimu mulai saat ini", katanya membuatku membuka kedua mataku. 

Ohh, yang benar saja? Si brengsek ini berkata aku harus terbiasa? Batinku berteriak.

"Ada apa?" tanyanya lalu menyemburkan seringaian nakal yang paling menjijikkan. Seperti aku seorang jalang dibuatnya. 

"Apakah kau.." ucapnya lambat sembari melihat ke arahku dari bawah hingga atas. 

"Bisakah kau membantuku menarik resleting ini?" jawabku cepat-cepat. Tanganku bergetar karena sedang manahan rasa malu. 

Walton berjalan perlahan-lahan ke arahku. Situasi ini menjadi sangat awkward. Aku bergetar, takut, dan kini jantungku berdegup sangat kencang. Kini ia berada di belakangku. Kurasakan tangannya menarik resletingku secara perlahan. Aku diam membisu karena situasi ini membuatku tidak berpikir secara rasional. 

"Kau sangat cantik memakai gaun ini, Chris. Apa aku bisa menyentuhmu sedikit?" ucapnya dengan suara parau. Membuatku mematung dan tidak bisa berkata-kata. Pikiranku seakan berhenti. Kudengar bunyi terakhir yang keluar dari resletingku. Kurasakan sesuatu yang hangat dan kasar menyentuh punggungku. Membuat rambut-rambut halus kecil yang ada di punggungku menegang karena sentuhannya. 

Entah dengan alasan apa, aku menutup kedua mataku. Aku menikmati setiap sentuhannya yang masih berada di punggungku.Kurasakan kedua tangannya menelusuri bagian depanku dan kini ia menarikku ke dalam dekapannya. Aku masih terdiam dan mencoba mulai menikmatinya. Dengan alasan apa, aku juga tidak tahu pasti. Lalu ia meremas kedua payudaraku dengan lembut dan perlahan membuat aku mengerang kecil. Kemudian ia menambah kecepatannya namun masih dalam kelembutan yang sama. Sampai kurasakan sesuatu dibawahnya mulai bergerak ke arah bokongku. Mataku terbelalak. 

Tidak, ini tidak boleh terjadi. Jangan sampai kami bercinta hanya karena sekarang kami  menjadi pasangan suami istri, batinku tersadar. Tapi aku tak sanggup untuk membentaknya karena mengingat janji suci yang kuucapkan di depan altar tadi pagi. Aku masih menghormati arti dari kata suami istri yang kudengar dari Frederick, pastor yang memberkati kami, meskipun aku sama sekali tidak mencintainya.

Aku memegang kedua tangan Walton yang masih berada di bagian dadaku. "Hentikan, Walton. Terima kasih atas bantuanmu", kataku dengan parau karena masih dalam keadaan gugup. Kurasakan kedua tangannya berhenti untuk beberapa saat. "Keluarlah, Mr. Othman", kataku pelan dan menutup kedua mataku alih-alih menghilangkan kejadian yang baru saja terjadi dari pikiranku. 

Aku menurunkan kedua tanganku dan mengepal kuat di kedua sisi gaunku. Maafkan aku, Wal. Aku tak bisa bercinta denganmu. Aku hanya ingin bercinta dengan pria yang kucintai. Maafkan aku, batinku menyesal. Aku masih bisa merasakan sesuatu yang berada di bawahnya masih menegang. Walton kemudian melepasku dan menarik tangannya kembali keluar dari dalam gaunku. Situasi ini menjadi lebih rumit dari perkiraanku. Kudengar langkah kakinya yang sedang berjalan ke depanku dan kemudian berhenti. Aku menjadi merasa bersalah dibuatnya. 

"Mandilah, Mrs. Othman", katanya dengan nada pelan namun tak melihat ke arahku. Lalu ia pergi meninggalkanku dengan menutup kembali pintu kamar mandi. Aku mencelos ketika aku mendengarnya menambahkan nama belakangnya untuk memanggilku tapi kali ini aku tidak bisa berkata-kata sekaligus merasa bersalah terhadapnya. 


To be continue..


Vote                                   Comment                                      Follow


Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang