"Pertama. Aku salah sudah meninggalkanmu tadi saat tiba di Penn. Kau tahu, aku tak bisa menemukan alasan apa yang akan kukatakan pada orang-orang yang akan menanyakan kenapa aku dan kau bersama datang", ujarku.
"Kedua. Aku sungguh menyesal, aku selalu mengabaikanmu dan akan selalu mengabaikanmu. Walton, kau tahu aku mencintai Nichole. Aku dengannya sudah menjalani hubungan cukup lama. Aku tak bisa membohongi perasaanku padamu lebih lama lagi", jelasku.
Entah mengapa air mataku ingin jatuh sekarang. Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Aku merasa seperti wanita jalang, menyelingkuhi suamiku sendiri. Rasa bersalahku berlipat ganda seketika saat dia tak menjawabku. Baginya aku sangat menjijikkan.
"Walton, jawab aku. Kau jangan diam saja. Katakan sesuatu", ucapku sambil menunduk karena aku tak ingin dia melihatku menitikkan air mata.
"..."
Nihil, dia masih tak mengatakan apapun. Aku pun menatapnya yang mematung. Tak peduli apakah dia akan merasa bahwa aku wanita lemah bahkan wanita jalang sekali pun.
"Kau bahkan bertemu seseorang di hotel larut malam. Apa kau pikir hanya aku di situasi ini yang salah? Hah? Jawab aku!"
Aku menggertakkan tubuhnya. Dia masih melihat ke depan tanpa memandangku sekali pun aku menggertakkan tubuhnya. Kusentuh kedua pipinya lalu dengan paksa, aku membuatnya untuk menatapku. Matanya terlihat sayu, gelap, dan menghitam. Seketika hatiku meringis saat menatap kedua matanya.
"Apa aku harus melihatmu dan menjawabmu padahal kau sendiri yang mengatakan kau dan aku bukan siapa-siapa saat berada di luar?"
Sekejap aku mematung. Kedua matanya seperti hendak mengeluarkan air mata. Aku tahu, dia menahannya cukup keras. Hatiku mencelos saat melihatnya. Kurasakan rahangnya mengeras. Tapi entah mengapa, kedua tanganku seperti tidak ingin lepas dari pipinya saat ini.
"Kau tahu, Chriss. Aku mencemaskanmu saat kau tidak pulang ke mansion. Bahkan kau tidak tahu aku terjaga sepanjang malam", katanya yang masih menatapku.
"Chriss.. Aku tak meminta banyak padamu, kau tahu itu. Aku hanya ingin saat aku pulang, kau berada di mansion. Meskipun aku tak bisa menghilangkan rasa lelahku bersamamu, biarlah wajahmu yang bisa kulihat", lanjutnya.
Aku melepaskan genggaman tanganku dari kedua pipinya. Batinku mencelos saat mendengar ucapannya itu. Dia benar-benar mengharapkanku untuk mencintainya. Apa kau mencintaiku, Walton?
"Tapi.. aku tak bisa", jawabku sambil membuang pandanganku darinya.
"Maka dari itu aku tak bisa berbuat banyak untukmu. Apa kau ingin kita hanya sampai di sini saja, Chriss?"
Ya..
"Tidak."
Aku sadar dengan apa yang kuucapkan barusan. Pikiran dan hatiku tidak sejalan kali ini. Padahal aku sedikit lagi akan terlepas dari semua ini.
"Maksudku, tidak untuk saat ini. Aku juga tak mungkin membuat Ludwig kecewa denganku dan ayahku, Walton", ujarku.
***
Aku dan Walton masuk ke dalam mobil. Pierro sudah membukakan pintu untuk kami. Ibu dan ayahku berdiri di depan pintu sekarang. Akhirnya mobil pun berjalan dari pelataran rumah ayah.
Sepanjang perjalanan seperti biasa aku dan Walton tak mengeluarkan sepatah kata pun. Tapi aku tersadar dengan pembicaraan kami beberapa saat yang lalu. Kami akan tetap menjalani hubungan suami-istri ini sampai tiga tahun ke depan, dengan kata lain lulus dari Penn.
Memang masih cukup lama. Tapi aku ingin melakukan yang terbaik untuknya. Klise? Ya, aku juga merasa seperti itu. Aku hanya tak ingin dia menganggapku sebagai wanita yang menjijikkan lagi. Aku sudah cukup menjijikkan saat bermain dengan Nichole dibelakangnya. Soal Nichole, aku akan membicarakan ini juga dengannya. Kuharap dia bisa menungguku tiga tahun lagi.
"Aku ingin tidur", godaku.
Terdengar aneh memang. Aku hanya ingin mengakraban diriku dengannya sebagai sahabat meskipun kami sebagai suami-istri.
"Aaa..paa?" Aku tersenyum saat Walton terlihat terkejut. Rupanya dia tampak gugup.
"Perjalanan sekitar 2 jam lagi. Aku merasa mengantuk sekarang. Hoaammss..", kataku sambil berpura-pura menguap.
"Jangan bodoh, tunggu saja", ujarnya sambil membuang pandangannya dariku ke jendela.
Mulutku mengerucut seketika. Bertindak seperti ini membuat Walton terlihat lucu. Walton sekali-kali melirikku. Kulihat ke kaca spion, ternyata Pierro, pria tua yang sedang mengemudikan mobil tersenyum. Aku mengedipkan mataku sebelah padanya. Dia tersenyum lebar jadinya.
"Ayolah. Berpindahlah ke belakang. Kurasa seluruh tubuhku remuk. Mataku ingin terpejam sekarang. Jadilah suami yang baik, Walton!" kataku sambil menyeringai sesekali saat dia tak melihatku.
Alhasil, kini aku dan Walton berpindah ke belakang. Aku tidur di kedua pahanya. Entah mengapa, jantungku sangat berdegup kencang. Namun di sisi lain, aku merasa nyaman pada posisi ini.
"Walton, aku akan menjadi istri yang baik untukmu di tiga tahun ke depan. Aku tak akan mengecewakanmu", ujarku pelan.
Aku tak tahu, apakah Walton mendengarnya atau tidak. Karena kedua mataku lebih memilih untuk menutup daripada melihat mimik mukanya saat ini.
***
"Walton, kau memakai setelan jas dan celana. Kau mau ke kantor? Hari ini ada kelas, kau tahu itu", ujarku sambil memotong steak.
"Aku akan pergi ke Miami sekarang untuk lima hari ke depan, Chriss", katanya yang membuatku terkejut.
"Apa? Miami? Besok weekend", seruku. Bagaimana mungkin dia meninggalkanku sendiri di mansion?
"Ludwig menyuruhku mengurus proyek barunya. Dia sekarang ada di Sidney. Jadi aku harus menanganinya", katanya.
Aku pun mengiyakan penjelasan Walton. Ditinggalkan karena ada perjalanan bisnis sudah menjadi suatu kebiasaan untukku. Ayah dan ibuku hampir tidak ada saat aku berada di rumah. Itu yang membuatku menjadi wanita yang suka dengan kehidupan malam tanpa mereka ketahui. Aku juga mengenal Nicholas Hobbs dari sebuah klub.
"Chriss, kau mengenal pria yang bersamamu saat kelas profesor Ferry kemarin? Tampaknya kalian dekat", tanya Walton tiba-tiba.
"Darren. Tidak, aku baru mengenalnya di hari itu juga. Kau mengenal Carron?" tanyaku.
Walton mengiyakan. Ya, dia tahu Carron adalah sahabat dekatku satu-satunya. Walton pasti mengenal Carron karena dia selalu melihat Carron menangis lalu merengek saat berada di kelasku. Jadi hampir seluruh manusia yang ada di kelas mengenalnya si wanita-filsafat-nert.
"Mereka berdua adalah saudara sedarah. Tapi yah, tingkah mereka cukup berbeda. Darren baik dan ramah", jelasku sambil tersenyum saat mengingat kelucuan-kelucuan yang dia buat.
"Begitu", balas Walton.
"Dia juga orang yang humoris. Kau tahu, aku selalu tertawa di dekatnya. Bahkan topik pembicaraan kami selalu ada", lanjutku.
"Kelihatannya kau terlalu bersemangat untuk membicarakan tentang pria itu, Chriss", kata Walton yang membuatku berhenti dari potongan steak terahirku.
"Santai saja. Aku pergi dulu", katanya lagi sembari meneguk susu putihnya.
Aku menelan ludahku dengan berat. Nampaknya aku melakukan kesalahan lagi. Padahal aku mengatakan yang sebenarnya. Dia yang menanyakanku soal Darren. Tapi aku hanya bisa ragu dengan Walton sekarang. Dia menghilang sesaat pintu ditutup kembali oleh Bertha.
To be continue ...
-----------------------------------------------------------
Vote
Command
Follow-----------------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomanceWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...