"Aku hanya ingin tahu, apa saudara laki-lakimu ini sama sepertimu, Muizy?" ujarku sambil melirik ke arah Darren dengan senyuman jahilku.
Kulihat kedua mata Darren memutar. Kelihatannya dia mulai tampak kesal. Apalagi saat Carron-the muizen mengiyakan perkataanku. Dia terlihat marah sekaligus malu. Kupikir itu pertanda buruk. Dirinya dan saudaranya itu memiliki kebiasaan jorok.
"Apa kalian akan selalu menjelek-jelekkanku meskipun aku berada di depan kalian sekarang?" erangnya sambil membulatkan kedua matanya. Haha.. Dia tampak seakan-akan frustasi sekarang.
"Berhentilah Carry, Chriss! I give up now", katanya sambil mengangkat kedua tangannya ke atas seperti menyerah pada polisi.
Bukannya diam, kami malah semakin tertawa. Darren pun berdiri. Aku dan Carron saling bertatapan sambil mengerutkan dahi kami. "Kau mau ke mana?" tanya Carron. "Aku akan keluar sebentar. Aku lelah dengan wanita-wanita psyco seperti kalian", balas Darren kemudian berjalan keluar pintu.
Saat hendak kelar, Darren kemudian berbalik dan berkata, "Aku akan bersamamu ke Penn, Chriss. Wait me!"
Aku melihat Darren keluar. Batinku mencelos tiba-tiba. Sebenarnya aku bukannya tidak suka jika Carron sekarang bersamaku apalagi aku sudah lama tak bertemu dengannya, tapi kali ini beda. Seperti aku tak ingin Darren pergi dari tempat ini.
"Kalian sudah lama saling mengenal?" tanya Carron.
"Tidak. Aku baru saja mengenal saudaramu itu, Muizy. Kau tahu, saudaramu itu pindah jurusan", jelasku.
"Ahh.. Itu sudah biasa", tukas Carron sambil menyeringai.
"Apa maksudmu?" tanyaku sambil menaikkan kedua tanganku ke setengah bahuku.
"Dia itu sudah 3 kali pindah jurusan dan ini ke-4 kalinya. Andreas dan Sarah sudah hampir gila karena ulahnya", jawab Carron.
Seketika bulu kudukku merinding. Bagaimana mungkin orang seramah dan sebaik Darren seperti itu? Ternyata benar. Cover tak menjamin isinya. Aku mendengus.
"Karena dia sudah ada di fakultasmu, tolong kau membantunya", pinta Carron. Ada raut kesedihan di wajahnya. Aku akan membantumu untuk mengubah sifat saudaramu itu, sahabatku.
***
"Besok kau tidak ada kelas 'kan? Aku akan ke rumahmu, Chriss."
Bagaimana ini? Aku harus membuat alasan apa? Sebenarnya ada banyak sekali yang ingin kuceritakan padanya termasuk keadaanku saat ini. Tapi aku belum siap.
"Kita ke KOP saja, Carry", kataku dengan ragu.
"OK."
Dengan itu, aku lega. Carron memang orang yang tidak banyak protes selain protes saat pernyataannya tentang dunia atau hal-hal aneh yang dibuatnya yang tidak diterima orang lain. Aku beruntung punya sahabat seperti dirinya.
"Bye. See you."
"Bye."
Aku pun masuk ke dalam mobil Darren. Kami masih punya satu kelas lagi sedangkan kelas Carron hanya sampai sebelum jam makan siang. Jadi kami berpisah.
"Apa kalian masih tetap membicarakanku?" tanya Darren tiba-tiba.
"Ah tidak. Hanya saja Carron mengatakan kau orang yang bertanggung jawab, Darre", candaku.
"Hahaaha.. Jangan mengarang, Chriss", ujarnya.
***
"Kau duluan saja. Aku harus memarkirkan mobil ini. Tapi kau harus menempatkan kursiku di sebelahmu ya, Chriss", kata Darren yang membuka setengah kaca. Dia masih harus memarkirkan mobilnya di area parking lot yang cukup jauh dari pintu masuk Penn University. Dia menyuruhku agar masuk duluan.
Aku berjalan memasuki koridor. Saat aku melewati lab bahasa, aku bertemu dengan Walton. Dia membawa hanya notes dan pen tanpa ada backpack yang tadi pagi dibawanya. "Apa dia selesai ini akan ada urusan?" tanyaku pelan yang entah dengan siapa. Aku berlari mengejarnya karena aku masih ingin meminta maaf karena pagi tadi aku berlaku kurang sopan.
"Walton.. waltonn."
Aku berteriak-teriak namun nihil. Walton tak menggubrisku. Apakah dia semarah itu padaku? Bagaimana aku akan meminta maaf padanya kalau begitu? Batinku mencelos
"Waltonn.. Berhenti!" ucapku lumayan naik 1 oktaf dari teriakanku sebelumnya. Walton pun berhenti sejenak. Namun dia terlihat sedang mengambil ponselnya dari dalam saku.
Aku mengerutkan keningku. Lalu aku berjalan menghampirinya. Saat aku sudah setengah jarak lagi dengannya, ponselku berdering dari dalam saku backpackku. Aku mengambilnya. Rupanya pesan dari Walton. Sesudah pesan itu sampai, Walton kemudian berjalan ke arah lorong kelas.
From : Walton
Kalau ada urusan, di rumah saja, Chriss.
Hatiku seketika terasa seperti tersayat. Di mata semua orang, aku terlihat seperti orang paling menyedihkan di dunia ini. Walton pergi tanpa mendengar ucapanku lebih dulu. Aku terlihat seperti si pengemis-belas kasihan.
Tak ingin larut, aku berjalan. Tapi aku tetap membaca isi pesan darinya di ponselku. Sampai di depan pintu kelas, aku menarik nafas panjang-panjang kemudian masuk.
Beberapa orang sudah ada dalam kelas. Kursi depan dan tengah rata-rata sudah terisi. Tapi ada satu kursi kosong yang ada pada baris kedua sudut. Aku pergi ke kursi itu. Sebentar kulirik Walton yang sedang sibuk dengan ponselnya. Dia duduk di kursi paling belakang.
"Chriss.." Suara Darren mengejutkanku.
"Sepertinya kau tidak ingat kalau aku ingin duduk di sampingmu."
Memang benar. Aku tak memikirkan kursi untuknya. Apalagi tadi Walton mengecewakanku. Sekarang pikiranku sedang dipenuhi tentang kekesalanku padanya sampai-sampai aku melupakan ucapan Darren tadi.
Entah bodoh atau hanya ingin sekedar duduk di sebelahku, Darren meminta agar orang yang di sebelahku untuk pindah. Aku memutar kedua bola mataku saat dia meminta pada orang tersebut.
"Apa kau tak dengar aku memintamu untuk pindah?" kata Darren pelan hampir mendesis sambil menarik baju orang tersebut.
"Aku sudah memintanya baik-baik. Sekarang minggirlah!!"
Ternyata benar. Bahkan orang sebaik dan seramah Darren jika sudah terlalu emosi bisa terlihat sangat mengerikan. Aku jadi bergidik ngeri dibuatnya. Untungnya orang itu mau pindah ke belakang. Darren pun duduk di sebelahku.
"Psssttt..." goda Darren tiba-tiba padaku sambil mengedipkan mata kanannya.
Sontak aku tersenyum tapi masih ngeri dengan kelakuannya tadi. Diam-diam aku melirik Walton lagi. Nampaknya Walton benar-benar tak mempedulikanku. Dia sama sekali tidak ingin mengetahui yang sedang terjadi. Apalagi aku dan dia kini terikat hubungan suami-istri, namun dia terlihat tak ingin peduli pada apa yang terjadi.
"Morning", sapa profesor yang tiba-tiba masuk.
Semua orang sibuk untuk mempersiapkan diri. Entah mengapa rasanya berat sekali untuk ikut kelas sore ini. Belum lagi aku tak digubris 2 kali oleh Walton, pagi tadi dan baru saja. Aku hanya bisa mendengus.
"Mr. Othman, kemarilah sebentar", kata profesor dari depan kelas sembari berjalan keluar.
Seketika Walton mengikuti jalan Profesor Ferry untuk keluar. Anehnya dia tampak seperti sedang cemas dengan ponselnya. Apalagi dari tadi dia tak menggubrisku padahal aku hanya ingin meminta maaf. Memang aku sudah berlaku tidak sopan karena sudah meninggalkannya saat di area drop off. Tapi aku hanya tak ingin jika orang-orang tahu dengan statusku dan dia.
To be continue...
-----------------------------------------------------------
Vote Command Follow
-----------------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomanceWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...