~ chapter 71 : A Chance

2.2K 71 3
                                    

"Bye, Mr. Hamilton. See yaa", kataku pada Darren yang hendak masuk ke dalam mobilnya. Darren melihatku dan tersenyum, kemudian melambaikan tangannya sebelum dia benar-benar menyalakan mobil.

Aku pun berjalan menuju salah satu pusat perbelanjaan. Target. Itu adalah tempat favorit untukku mengatur semua outfit yang kupakai setiap harinya. Sepertinya semua perempuan menyukai Target karena apapun yang kau inginkan, ada di sana. Bukan hanya baju, tapi semua. Se mu a! Hahaha.. Hmmm, anyways aku bukan salah satu sales promotion Target ya. Jangan salah kaprah.

Entah mengapa cuaca hari ini begitu dingin. Padahal presenter perkiraan cuaca mengatakan kalau suhu untuk hari ini 32°C tapi mengapa ini seperti 10°C? Kau tahu, secangkir kopi panas yang kubawa tidak berhasil menghangatkanku. Aku menyesal karena menolak tawaran Darren untuk mengantarkanku. Kupikir suhu di luar masih sama seperti sebelum aku masuk ke cafe. Aku sungguh menyesal.

Setelah sampai di dalam, aku menggigil setengah mati. Sama sekali aku tidak membawa coat hitamku hanya kaos putih dan celana jeans biru yang menutupi kulitku. Lantas aku meminum semua kopi yang ada di dalam cangkir plastik yang kubeli tadi saat di cafe.

Aku berjalan ke tempat pembuangan sampah dan memasukkan cangkir plastik itu ke dalamnya dan kemudian melihat ada bara api yang sudah dikerumunin beberapa orang. Aku berlari dan berdiri di antara kerumunan itu sambil mengangkat kedua tanganku menghadap bara api. Aku menutup kedua mataku dan tersenyum karena bahagia. Ini semacam terlepas dari penderitaan. Hahaaha..

Setelah kurasa badanku sudah kembali hangat, aku pergi dan berjalan-jalan menyusuri outlet-outlet yang biasa aku kunjungi. Tujuan utamaku adalah membeli coat. Meskipun di rumah aku sudah memilikinya beberapa, tapi aku membutuhkannya nanti sepulang dari tempat ini. Aku tidak ingin mati karena kedinginan. Itu adalah sebuah kekonyolan.

Aku memilih beberapa baju dan celana pendek untuk kupakai sehari-sehari, tidak lupa sneakers hitam bergaris putih yang sedang banyak dipakai orang saat ini. Aku tidak ingin kalah tampil baik dari orang lain. Dan setelah semua itu kudapatkan, aku pergi ke kasir dan membayarkannya. Aku mendengus karena ternyata barang bawaanku banyak. Untuk itu aku menitipkan barang-barang itu di meja kasir dan berlari mengambil trolley agar aku bisa menampung semuanya.

Setelah kutemukan trolley, aku kembali ke dalam dan mengambil barang-barangku kemudian keluar. "Thank you", ucapku pada wanita berambut pirang berseragam pink yang berdiri dibalik meja kasir. Dia mengangguk. Tak lupa aku memberikan dia tips karena sudah menolongku menjaga barang-barang itu.

Saat semuanya kurasa sudah cukup, aku segera menghubungi Pierro agar datang menjemputku. Aku pun berjalan menuju keluar tapi tiba-tiba aku melihat sepasang lingeria yang menarik pandanganku. Sebentar aku melihatnya dari kejauhan yang sudah dipajang di sebuah kaca besar. Kemudian aku menghampirinya. Seketika khayalan nakal merajam pikiranku. Aku tersenyum saat membayangkan Walton kembali dan kami merayakan kepulangannya. Begitu manis.

"Excuse me, Miss. Trolleymu menghalangi pelanggan masuk", tegur pria berkepala plontos yang memakai seragam biru tua dan berkulit gelap.

Segera khayalan nakal itupun cepat-cepat kuusir dari pikiranku kemudian aku mengangguk senyum pada pria itu lalu masuk ke dalam. Dengan cepat, aku memanggil pelayan toko untuk mengambilkanku lingeria yang kuinginkan. Setelah itu aku membayarnya. Saat sudah ditanganku, aku tersenyum tergelitik membayangkan hal-hal manis saat Walton kembali. Aku rindu suaranya saat memanggilku dan nafasnya yang berat.

Tiba-tiba bunyi ponselku berdering di saku belakang. Sekali lagi itu berhasil menghilangkan khayalan-khayalanku tentang Walton. Aku menggerutu dan melihat ke layar ada nama Pierro tertera di sana. Aku pun mengangkatnya. "Ya, aku akan ke depan", kataku sesaat sudah menerima panggilannya tanpa mendengarnya bicara.

Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang