Aku diam, mematung dan tak mampu berkata sedikit pun. Kini aku melihat kedua mata Walton memerah sekaligus menajam ke arah kami. Rahangnya mengeras dan juga tangan kirinya sudah mengepal. Semua orang yang berada di sini bisa merasakan ketegangan seperti apa yang sedang kurasakan.
Sedetik kemudian, kurasakan genggaman tangan Brooklyn pada tanganku. Kami saling menggenggam. Jujur saja, ini sangat menakutkan sekaligus menyakitkan buatku. Kedua mata Walton pun mengarah pada genggaman tangan Brooklyn di tanganku. Kurasa emosinya sudah mulai memuncak. Seketika dia berjalan menghampiri kami dengan napas terengah-engah. Kemudian aku ditariknya dengan sangat keras. Aku mencoba untuk bertahan pada Brooklyn, tapi anehnya dia melepaskanku. Aku melihatnya dengan pandangan tak percaya. Semula dia menggenggam tanganku kemudian melepasnya begitu saja. Dia menunduk.
Walton menarikku keras menuju mobilnya. Orang-orang yang bersamanya membuka jalan untukku dan Walton, lalu salah satu dari mereka membukakan pintu. Saat pintu dibukakan, aku berhenti. Aku tak ingin ikut bersama pria yang sudah menyakitiku, membunuh ayahku dan mengkhianati keluargaku. Walton menatapku dengan tatapan tajam.
"Aku tak bisa", ucapku sekaligus melepaskan tanganku yang ditariknya paksa.
Lalu aku berbalik dan melihat Brooklyn yang masih menunduk. Aku berlari padanya dan meninggalkan Walton. Saat sudah berada di hadapannya, Brooks menatapku heran. Aku menggenggam wajahnya di kedua tanganku. Tatapannya terlihat merapuh. "Kemarin aku sudah mendorongmu dan bahkan memakimu karena kau menciumku. Kini aku dengan ikhlas ingin mencobanya lagi", ujarku dengan suara pelan terkesan parau.
Sepersekian detik, bibirku telah berada di bibirnya. Kupejamkan kedua mataku karena aku tak sanggup berada di posisi seperti ini sekarang. Air mataku kemudian jatuh ketika kurasakan hal ini sangat menyakitkan. Brooklyn menciumku dengan sangat lembut. Namun, ciumannya terasa sangat dalam. Dengan berat hati, kukalungkan kedua tanganku pada lehernya. Begitu juga dengannya, kedua tangannya dikalungkan di pinggulku. Ini terjadi cukup lama. Hingga kudengar suara pintu mobil terbuka kemudian tertutup. Kurasa Walton dan orang-orangnya telah pergi. Aku pun menghentikan semua kepura-puraan ini.
"Maafkan aku, Brooks", ujarku dengan suara menyesal. Aku menghela napas dengan susah payah kemudian tersungkur lalu menangis.
***
Aku hanya bisa melihat ke arah luar jendela. Tatapanku kosong tapi pikiranku berputar hanya pada Walton saat ini. Aku tahu, dia terluka. Aku ingin dia merasakan bagaimana rasanya dikhianati.Meskipun begitu, kepura-puraan itu juga membuatku sakit, sesak, dan mematikan. Entah apa yang sebenarnya terjadi padaku. Seharusnya aku senang bisa melakukan hal yang seperti itu di hadapan Walton, tapi kenapa malah berbeda. Ini membuatku semakin jengkel pada diriku sendiri.
"Chriss", kata Brooks yang sejak tadi diam. Aku tidak menjawabnya apalagi menoleh.
"Aku tahu yang kau lakukan tadi karena", kata-katanya kupotong.
"Karena aku mencintaimu", jawabku dengan cepat lalu menoleh.
Kemudian kugenggam tangan Brooks yang sejak tadi berada di atas pahanya. Tatapannya heran melihat aksiku. Kedua tangan terasa tak berdaya. Lalu kuelus lembut tangannya kemudian tersenyum. Aku tahu ini adalah senyuman terburukku karena ini adalah sebuah paksaan. Aku ingin pikiranku lepas dari bayang-bayang Walton. Hanya itu saja.
Tapi ini adalah hal yang sangat kusesalkan seumur hidupku. Bercumbu dengan pria yang baru saja kukenal di hadapan suamiku sendiri. Meskipun awalnya kurasa ini adalah tindakan yang pasti membuatnya terluka. Tapi mengapa aku merasa kalau aku terluka juga? Pasti ada yang salah denganku. Terkutuklah aku, umpatku dalam batin.
Brooklyn menarikku dalam dekapannya, aku menurut. Di saat situasi seperti tadi terjadi padaku beberapa waktu lalu, membuatku lemah. Dekapan Brooklyn terasa sangat hangat. Kurasakan air mataku ingin jatuh seketika tapi kutahan. Dengan sangat keras, aku menutup kedua mataku agar air mataku tidak jatuh. Terasa sangat menyakitkan menangis dalam batin. Sesak, seperti tak mampu bernapas. Kurasakan Brooks mengelus rambutku. Cukup lama aku berada dalam dekapannya. Hingga aku tertidur dalam sejuta rasa kelelahan pada batinku.
***
Aku terbangun ketika kurasakan seperti sedang diangkat. Samar-samar kulihat wajah tampan yang sangat kurindukan. Aku tersenyum lalu mengelus wajahnya. Hatiku terasa nyaman namun jantungku berdegup kencang. Dia yang semula hanya melihat lurus ke depan, kemudian melirik padaku. Aku mengedipkan kedua mataku. Tapi aku terkejut, wajah yang kurindukan itu menghilang begitu saja. Dia menatapku heran begitu pun denganku.
"Ada apa?"
"Ohh, tidak. Aku hanya terkejut, kau mengangkatku seperti bridal style."
Aku mendengus pelan karena kusadari tadi aku hanya mengkhayal. Batinku seperti teriris saat mengingatnya kembali. Aku juga mengutuk diriku sendiri karena bagaimana mungkin aku membayangkan wajah Brooklyn berubah menjadi wajah Walton? Padahal aku baru membuatnya terluka. Ini seperti adalah kutukan karena sudah mengkhianati suamiku sendiri. Arti janji pernikahan kami.
Brooklyn melepaskanku saat ingin membuka pintu kamar. Kemudian pintu pun terbuka dan kami masuk. Aku berjalan di belakangnya dengan ragu. "Brooks, aku sungguh meminta maaf", ucapku padanya. Brooklyn pun menoleh dan kemudian mendegus. "Sudahlah. Sekarang aku ingin makan malam keluar", katanya dengan tersenyum. "Aku bisa membuatmu makanan", balasku sambil berjalan ke arah dapur meninggalkannya yang masih berdiri di ruang tamu.
Lalu aku berniat membuat pancake cokelat karena kurasa membuatnya tidak membutuhkan waktu yang lama. Jujur saja, sebenarnya aku sudah sangat lelah. Tapi aku tak bisa begitu saja membiarkannya pergi. Kurasa ini adalah tindakan yang tepat untuk menebus kesalahanku padanya. Setidaknya aku sudah melakukan yang kubisa.
Pada saat aku mengoles selai cokelat, aku teringat ketika berada di Miami bersama Walton. Dia sangat menyukai pancake cokelat buatanku. Ketika melihatnya memakan pancake, terasa menyenangkan. Tanpa kusadari ada gurat senyum tercetak di bibirku. Mengingat semua kenangan itu membuatku sedih. Kata-kata manisnya masih bisa kudengar dalam pendengaran kerinduanku. Ini mungkin terdengar cukup puitis tapi benar. Aku merindukannya tanpa kebohongan apapun.
"Chriss.." ucap Brooklyn yang keluar sambil menggenggam handuk putih.
Aku menoleh.
"Kau membuat pancakenya dipenuhi cokelat", katanya sambil menunjuk pancakeku. Kedua mataku membulat. Aku terkejut ketika melihat cokelat yang seharusnya kubaluri di atas pancake malah kutuang begitu saja. Aku mendengus sekaligus panik. Sekarang piring datar yang kubuat menjadi alas pancake menjadi lautan cokelat.
"Don't be panic. Let me help you", kata Brooklyn lalu menghampiriku. Aku menolaknya karena kupikir aku bisa menangani ini sendiri.
"No problem, Brooks. I can", jawabku. Dengan keraguan, Brooklyn pun mengangguk. Dengan hati-hati kutaruh cokelat cair ke dalam lemari pendingin. Ketika aku ingin mengambil piring lagi, aku terhenti ketika melihat Brooklyn mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk putih yang dibawahnya tadi. Gayanya yang seperti itu mengingatkanku pada Walton lagi. Ini sungguh terasa aneh. Lalu aku meleparkan ingatan itu jauh-jauh kemudian mengambil piring.
Aku pun menaruh pacake cokelat yang dipenuhi cokelat itu ke dalam piring yang baru. Pelan-pelan aku mencoba memisahkan cokelat dari pancake meskipun kutahu itu sangat tidak mungkin. Jika harus mengganti yang baru, itu tak mungkin karena tepung rotinya sudah mulai habis. Aku akan membelinya kembali besok dengan yang baru karena sekarang sudah pukul 01.00 a.m. dini hari.
Setelah memakan banyak waktu, akhirnya pancake itu kupanggang sekali lagi agar cokelatnya tidak terlalu kentara. Brooklyn sudah menyiapkan meja, piring, sendok dan garpu. Aku senang melihatnya begitu cekatan saat membantuku di dapur. Padahal dia terlihat bukan pria yang seperti itu. Benar, semua orang memiliki sifat yang berbeda-beda di balik sifat yang ditunjukkan di awal.
To be continue...
--------------------------------------------------------------------
Vote
Command
Follow
--------------------------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomanceWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...