Aku mendengar suara bentakan seseorang yang kukenal menggema di balik dinding tempatku sekarang berdiri. Aku mengernyit. Seperti sedang marah pada seseorang. Jadi aku mencoba untuk melihat.
Bangunan ini terasa asing buatku. Pelan-pelan kulangkahkan kedua kakiku. Hanya ada suara gesekan angin pada sneakersku terdengar. Ternyata suara itu berasal dari sebuah ruangan.
Pintunya menjulang tinggi. Terlihat menyeramkan sekilas. Deburan angin keras menerpa dinginnya tubuhku. Membuatku sedikit tergelitik dalam kegelisahan.
Kubuka dengan sangat hati-hati pintu tinggi ini. Seperti seorang pria yang kukenal. Sayangnya aku tak bisa melihat wajahnya. Dia duduk di sebuah kursi besar dan membalikkan badannya. Aku geram saat berharap dia berbalik arah padaku.
"Hahahaha..." Dia tertawa? Aku hanya bisa mengerutkan sisi kedua ujung alisku.
"Kau tahu, aku akan membunuh putri kesayanganmu itu, Mr. Matthew Werner!"
Kedua mataku membulat seketika. Ayah? Jadi, kau... Aaaaaahhhhh.., erangku dalam batin. Kedua lututku melemas, pikiranku terhuyung karena memikirkan yang baru saja kudengar.
"Aku harus memberitahu, Ayah. Kalau aku baik-baik saja", ucapku pelan.
Lalu aku berlari, tak peduli orang jahat itu mendengarku lalu akan menangkapku. Berlari sekeras-kerasnya keluar dari bangunan ini. Kemudian aku baru menyadari, bangunan ini berada di lingkungan yang jauh dari orang banyak.
Aku menangis memikirkan ayah. Kedua lututku semakin melemah hingga aku tersungkur. Tak satu pun kendaraan yang lewat. Harus bagaimana aku? Pria jahat itu akan membuat ayah tertekan.
Kemudian, aku mencoba berdiri dan berlari sekuat tenaga. Berharap akan sampai ke mansion dengan cepat. Tapi kau tahu, seluruh tenagaku terkuras akibat emosiku yang sudah kelewat batas. Entah sudah sejauh apa aku berlari, gerbang utama yang kukenal kini sudah dapat kulihat. Cepat-cepat kubuka, lalu kembali berlari menuju pintu masuk.
"Ayah, Ibu."
"Ayah, Ibu."
Aku mencari-cari mereka di setiap ujung lantai bawah. Kosong. Tak satu pun orang yang berada di situ. Air mataku kian mendera. Lalu kedua mataku kemudian tertuju pada lantai kedua mansion. Aku berlari menaiki setiap tangga.
Cepat-cepat aku menuju ruang kerja ayah. Saat sudah di depan pintu, aku membukanya dengan tergesa-gesa. Hatiku mencelos ketika kulihat ayah tidak berdaya duduk di kursi kerjanya. Kedua matanya tertutup. Jantungku melemas, aku tersungkur. Kubenamkan wajahku di dalam tanganku. Menangis, hanya itu yang bisa kulakukan.
"Chriss", kata seseorang yang membuatku terhenti. Dengan perlahan, aku mencoba membuka kedua mataku yang sudah dibanjiri air mataku. Kedua tanganku sudah basah.
Kulihat ayahku duduk memandangku bingung. Aku mengernyit. Tubuhnya sehat, tak kurang suatu apapun. Aku pun menyeka kuat air mataku.
"Daddy.."
Aku berdiri dan berlari memeluknya. Air mataku turun kembali. Kukecup puncak kepala ayah dengan penuh kebahagiaan. Thank you, God, ucapku dalam batin.
"Are you OK, my sweet-heart?" tanyanya.
"Apa kau mendapat panggilan dari seorang pria jahat?" tanyaku balik. Dia menatapku bingung. Lalu tersenyum.
"Pria jahat? What you say?" jawab ayah dengan pertanyaan juga. Aku mendengus.
"Syukurlah. Kau baik-baik saja, Ayah", kataku lalu kembali memeluknya. Hatiku lega. Aku mendengus pelan.
"Kau terlihat lelah, sayang", kata ayah sambil melepaskan pelukanku kemudian menatapku.
"Aku hanya terlalu khawatir padamu, Ayah", jawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married
RomanceWARNING 19++ !! Sebenarnya ini adalah cerita keduaku. Cerita pertama sudah aku unpublished karena kurang peminatnya. Hahaaha. Cerita ini murni dari imaginasiku semata. Jadi kalau pun ada salah-salah kata, aku sebagai author yang masih amatir belum p...